Penulis : Harry Yulianto (Akademisi STIE YPUP Makassar)
Daily Nusantara, Opini – Di era globalisasi dan revolusi industri 4.0, perguruan tinggi dituntut untuk menjadi lebih adaptif dalam menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja dan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu pendekatan yang semakin banyak diadopsi oleh berbagai institusi pendidikan adalah Outcome-Based Education (OBE), sebuah sistem pendidikan yang berorientasi pada pencapaian kompetensi lulusan berdasarkan capaian pembelajaran yang telah ditetapkan. Implementasi OBE diharapkan dapat menciptakan lulusan yang tidak hanya memiliki pemahaman teoretis yang kuat tetapi juga keterampilan yang sesuai dengan tuntutan industri dan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, penerapan OBE di berbagai kampus masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam menyeimbangkan antara fleksibilitas kurikulum dan standarisasi kompetensi.
Permasalahan utama dalam implementasi OBE di perguruan tinggi yakni bagaimana institusi dapat tetap menjaga standar kompetensi lulusan yang seragam tanpa mengorbankan fleksibilitas dalam pembelajaran. OBE menekankan bahwa mahasiswa harus mencapai learning outcomes tertentu, namun pada sistem pendidikan yang adaptif, fleksibilitas juga menjadi faktor penting agar mahasiswa dapat mengeksplorasi minat dan potensinya. Beberapa institusi kesulitan dalam menyelaraskan kurikulum berbasis OBE dengan kebijakan nasional maupun kebutuhan spesifik industri yang terus berkembang, seperti disampaikan oleh Biggs dan Tang (2011) dalam Teaching for quality learning at university: What the student does. Hal tersebut dapat menimbulkan dilema, di mana kampus dihadapkan pada tantangan untuk menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan individual mahasiswa tanpa mengorbankan standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Kesenjangan yang terjadi dalam penerapan OBE yaitu adanya perbedaan interpretasi dan implementasi kurikulum di berbagai perguruan tinggi. Beberapa universitas yang telah menerapkan sistem OBE secara optimal mampu menghasilkan lulusan yang siap terjun ke dunia kerja, sementara institusi lain masih bergelut dengan penyesuaian kurikulum dan metode evaluasi berbasis capaian pembelajaran. Menurut Spady (1994) dalam Outcome-based education: Critical issues and answers, OBE seharusnya memberikan ruang bagi institusi untuk menyesuaikan metode pembelajaran dengan kebutuhan mahasiswa tanpa kehilangan arah utama dalam pencapaian kompetensi. Namun, dalam realitasnya, masih banyak perguruan tinggi yang mengalami kesulitan dalam menyusun kurikulum yang benar-benar responsif terhadap perubahan zaman tanpa mengorbankan kualitas lulusan.
Relevansi Kurikulum OBE
Kurikulum OBE merupakan pendekatan pendidikan yang berfokus pada hasil atau kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa setelah menyelesaikan studi mereka. Pada konteks globalisasi dan revolusi industri 4.0, sistem ini semakin relevan karena menekankan keterampilan praktis, adaptabilitas, dan inovasi yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja yang dinamis (Biggs & Tang, 2011). OBE memungkinkan institusi pendidikan untuk merancang kurikulum yang lebih fleksibel, menyesuaikan dengan kebutuhan industri serta perkembangan teknologi, seperti kecerdasan buatan, big data, data science, maupun Internet of Things (IoT) yang semakin masuk ke berbagai sektor. Pendekatan ini juga mendukung pengembangan keterampilan abad ke-21, termasuk berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas (4C skills), yang menjadi modal utama bagi lulusan dalam menghadapi ketidakpastian pasar kerja global.
Di berbagai negara maju, implementasi OBE telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan kesiapan lulusan untuk memasuki dunia industry. Menurut Boud dan Falchikov (2006) dalam Aligning assessment with long-term learning, di Australia, kurikulum OBE diterapkan secara luas di perguruan tinggi teknik dan kedokteran, dengan evaluasi berbasis capaian pembelajaran (learning outcomes) yang telah distandarisasi oleh Australian Qualifications Framework (AQF). Sementara itu, di Amerika Serikat, beberapa universitas telah mengadaptasi sistem ini dalam bentuk Competency-Based Education (CBE), yang memberikan fleksibilitas bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studi sesuai dengan kecepatan dan pemahaman mereka terhadap materi. Selain itu, Singapura telah berhasil menerapkan OBE dengan menyelaraskan kurikulum universitas dengan kebutuhan pasar tenaga kerja melalui kerja sama erat antara akademisi dan industri, sehingga lulusan lebih mudah terserap di dunia kerja.
Namun, penerapan OBE di negara berkembang, masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya yakni kesenjangan antara desain kurikulum berbasis OBE dengan kesiapan tenaga pengajar dan sistem evaluasi yang masih cenderung berorientasi pada aspek teoritis dibandingkan keterampilan praktis, sebagaimana diungkapkan oleh Suryadi (2020) pada Implementasi Outcome-Based Education dalam pendidikan tinggi di Indonesia: Peluang dan tantangan. Banyak perguruan tinggi masih mengandalkan metode pembelajaran konvensional, sementara sistem OBE menuntut perancangan kurikulum yang lebih berbasis proyek, studi kasus, dan evaluasi berbasis portofolio. Selain itu, standarisasi kompetensi pada OBE sering kali sulit diterapkan secara seragam karena beragamnya kualitas dan sumber daya yang dimiliki oleh perguruan tinggi di Indonesia. Tidak semua kampus memiliki infrastruktur dan fasilitas yang mendukung pembelajaran berbasis proyek atau praktik industri yang intensif, sehingga lulusan belum sepenuhnya siap menghadapi persaingan di era digital.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri dalam mengoptimalkan implementasi OBE. Kebijakan pendidikan tinggi harus lebih fleksibel dalam mendukung transformasi kurikulum yang berbasis learning outcomes tanpa mengorbankan standar kompetensi nasional. Selain itu, pelatihan bagi dosen dalam merancang dan mengimplementasikan metode pembelajaran berbasis OBE harus ditingkatkan agar terjadi keselarasan antara teori dan praktik. Dengan pendekatan yang lebih adaptif dan berbasis kolaborasi, kurikulum OBE dapat menjadi solusi untuk menciptakan lulusan yang tidak hanya memiliki keunggulan akademik tetapi juga kompetensi yang sesuai dengan dinamika industri global.
Kampus Adaptif dalam Implementasi OBE
Kampus adaptif merupakan institusi pendidikan tinggi yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, kebutuhan industri, serta perubahan sosial dan teknologi. Pada konteks OBE, kampus adaptif memiliki fleksibilitas dalam merancang kurikulum yang memungkinkan mahasiswa mengembangkan keterampilan dan kompetensi sesuai dengan minat serta kebutuhan dunia kerja. Fleksibilitas kurikulum berbasis OBE memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memilih mata kuliah atau modul pembelajaran yang relevan dengan jalur karier mereka. Hal ini sejalan dengan konsep learner-centered education, di mana mahasiswa memiliki peran aktif dalam proses pembelajarannya sendiri (Biggs & Tang, 2011). Kurikulum yang fleksibel dalam OBE memungkinkan mahasiswa untuk lebih siap menghadapi tantangan global dengan pembelajaran yang lebih kontekstual dan aplikatif.
Fleksibilitas kurikulum pada OBE diwujudkan melalui pendekatan pembelajaran berbasis proyek, problem-based learning, serta sistem penilaian berbasis portofolio. Berbagai perguruan tinggi yang telah menerapkan OBE mengintegrasikan program magang, sertifikasi kompetensi, dan kolaborasi dengan perusahaan sebagai bagian dari pengalaman akademik mahasiswa. Menurut Boud dan Falchikov (2006) dalam Aligning assessment with long-term learning, di beberapa universitas di Eropa dan Australia, mahasiswa memiliki kebebasan untuk menyusun rencana studi berbasis capaian pembelajaran yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu. Pendekatan ini memungkinkan mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan multidisiplin serta kemampuan adaptasi yang lebih tinggi. Fleksibilitas ini sangat penting dalam menciptakan lulusan yang inovatif dan responsif terhadap perubahan industri.
Di sisi lain, standar kompetensi dalam OBE tetap menjadi elemen utama yang harus dijaga agar kualitas lulusan tetap terjamin. Standarisasi kompetensi dalam OBE mengacu pada pencapaian hasil belajar yang telah ditentukan berdasarkan learning outcomes yang relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat. Spady (1994) menekankan bahwa keberhasilan OBE bergantung pada perumusan capaian pembelajaran yang jelas, sistem evaluasi yang berbasis kinerja, serta keselarasan antara kurikulum dan kebutuhan pasar kerja. Standarisasi ini penting agar fleksibilitas kurikulum tidak mengorbankan mutu lulusan. Institusi pendidikan tinggi perlu memastikan bahwa meskipun mahasiswa memiliki kebebasan dalam memilih jalur pembelajaran mereka, tetap ada standar minimal yang harus dipenuhi agar mereka dapat bersaing di tingkat global.
Untuk menciptakan keseimbangan antara fleksibilitas dan standarisasi kompetensi, perguruan tinggi harus memiliki mekanisme evaluasi yang komprehensif. Sistem asesmen pada OBE harus berbasis bukti pencapaian kompetensi, seperti melalui proyek akhir, tugas berbasis kasus, serta evaluasi keterampilan praktis. Selain itu, kerja sama antara perguruan tinggi dan dunia industri perlu diperkuat untuk memastikan bahwa standar kompetensi yang diterapkan benar-benar mencerminkan kebutuhan pasar kerja. Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih adaptif dan berbasis bukti portofolio, kampus dapat memastikan bahwa lulusan tidak hanya memiliki kebebasan dalam belajar, tetapi juga memiliki keterampilan yang teruji dan sesuai dengan standar kompetensi global.
Seperti yang dikatakan oleh Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Pendidikan yang berbasis hasil bukan sekadar instrumen akademik, tetapi juga kekuatan transformasional yang dapat mengubah individu, industri, dan masyarakat. Implementasi OBE di perguruan tinggi bukan hanya sekadar perubahan kurikulum, melainkan sebuah langkah menuju masa depan yang lebih kompetitif, kolaboratif, dan relevan dengan kebutuhan zaman. Siapkah kita bertransformasi menuju kampus yang lebih adaptif dan kompetitif?