Penulis: Harry Yulianto (Akademisi STIE YPUP Makassar)

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Integritas dan Kompetensi: Menjawab Tuntutan Profesionalisme Akademisi

Daily Nusanatra, Opini – Di era globalisasi, kompetensi akademisi, baik dosen maupun mahasiswa, menghadapi ekspektasi yang semakin tinggi. Tantangan global seperti perkembangan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, serta persaingan internasional yang menuntut akademisi untuk tidak hanya unggul dalam keilmuan, tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis, adaptif, dan inovatif. Teknologi, khususnya Artificial Intelligence (AI), telah mengubah lanskap pendidikan, sehingga memaksa akademisi untuk memperbarui keterampilan dan mengintegrasikan teknologi ke dalam proses pembelajaran dan penelitian. Menurut Marginson (2016) dalam The dream is over: The crisis of Clark Kerr’s California idea of higher education, globalisasi pendidikan tinggi telah menciptakan pasar akademik global, di mana kinerja dan kompetensi akademisi diukur tidak hanya berdasarkan output lokal, tetapi juga standar internasional.

Tantangan etika dan integritas akademik semakin menjadi sorotan publik. Kasus plagiarisme, manipulasi data, dan penurunan kualitas penelitian sebagai akibat tekanan untuk menghasilkan publikasi dengan cepat menunjukkan bahwa integritas tidak dapat dipisahkan dari kompetensi. Akademisi, terutama dosen, diharapkan mampu memberikan teladan dalam menjaga standar etika, sedangkan mahasiswa didorong untuk mengembangkan integritas akademik sejak dini. Pendapat Bassett (2011) dalam The future of international higher education, menyatakan bahwa integritas akademik merupakan fondasi dari pendidikan tinggi yang berkualitas, karena hal ini membangun kepercayaan dan kredibilitas institusi pendidikan.

Ketidakpastian global seperti perubahan iklim, konflik geopolitik, dan pandemi juga memengaruhi harapan terhadap kompetensi akademisi. Akademisi diharapkan memiliki kemampuan lintas disiplin untuk menjawab permasalahan kompleks yang bersifat global. Keahlian teknis saja tidak cukup; namun dibutuhkan kemampuan kolaborasi, komunikasi lintas budaya, dan pemikiran inovatif. Knight (2008) dalam Higher education in turmoil: The changing world of internationalization menyebutkan bahwa internasionalisasi pendidikan tinggi memainkan peran penting dalam memperluas wawasan akademisi, sehingga mendorong mereka untuk menghadapi tantangan global dengan perspektif yang lebih inklusif dan multidimensional.

Integritas sebagai pilar utama profesionalisme akademisi

Integritas sebagai pilar utama profesionalisme akademisi, baik bagi dosen maupun mahasiswa, yang tidak hanya terkait dengan pendidikan tinggi atau gelar akademik, tetapi mencakup nilai-nilai moral yang menjadi fondasi perilaku akademik. Integritas akademik mencerminkan komitmen terhadap kejujuran, tanggung jawab, dan etika dalam proses belajar-mengajar, penelitian, serta hubungan sosial. Menurut Bassett (2011) dalam The future of international higher education, integritas sebagai fondasi pendidikan tinggi yang memungkinkan perguruan tinggi mempertahankan reputasi dan kepercayaan masyarakat. Tanpa integritas, gelar akademik atau pendidikan tinggi hanya menjadi simbol tanpa substansi keilmuan yang bermakna.

Bagi dosen, integritas terwujud dalam sikap profesional yang mencakup transparansi dalam pengajaran, kejujuran dalam penelitian, serta penghormatan terhadap hak kekayaan intelektual. Seperti dalam penelitian, dosen dituntut untuk menghindari manipulasi data, plagiarisme, atau praktik tidak etis lainnya yang dapat merusak kepercayaan publik. Selain itu, dosen juga bertanggung jawab untuk menjadi teladan bagi mahasiswa dalam menerapkan prinsip-prinsip integritas. Sumber daya pendidikan seperti academic integrity policies dan pelatihan etika di perguruan tinggi dapat membantu meningkatkan kesadaran dosen terhadap pentingnya integritas, sebagaimana diungkapkan oleh Whitley dan Keith-Spiegel (2002) dalam Academic dishonesty: An educator’s guide.

Bagi mahasiswa, integritas akademik mencerminkan komitmen untuk menghormati proses belajar yang jujur, seperti menghindari plagiarisme, menyontek, atau menggunakan cara curang lainnya dalam menyelesaikan tugas. Integritas sangat penting karena akan membentuk karakter mahasiswa yang bertanggung jawab dan mandiri, bukan hanya di bidang akademik tetapi juga dalam kehidupan profesional mereka di masa depan. Sebagaimana dikemukakan oleh Fishman (2014) dalam The fundamental values of academic integrity, integritas akademik tidak hanya mendukung pengembangan individu, tetapi juga menjaga kualitas dan kredibilitas institusi pendidikan secara keseluruhan.

Integritas juga melampaui batasan akademik dan aspek sosial. Dalam interaksi dengan kolega atau masyarakat, baik dosen maupun mahasiswa harus menunjukkan sikap saling menghormati, keterbukaan, dan empati. Pada konteks globalisasi, di mana kolaborasi lintas budaya semakin intens, integritas memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan dan hubungan yang produktif. Goleman (1998) dalam Working with emotional intelligence menyebutkan bahwa integritas sebagai bagian dari kecerdasan emosional, sangat relevan untuk menciptakan kerja sama yang harmonis dalam tim lintas disiplin dan budaya.

Namun, tekanan pada dunia akademik, seperti tuntutan publikasi cepat atau persaingan memperoleh dana penelitian, sering kali menjadi tantangan bagi akademisi untuk mempertahankan integritas. Dosen perlu memiliki keberanian untuk menolak terhadap kompromi tindakan akademik yang tidak beretika. Demikian pula, mahasiswa perlu dilatih untuk melihat proses pembelajaran sebagai sarana pengembangan diri yang autentik, bukan sekadar memperoleh nilai atau gelar. Membangun budaya integritas di perguruan tinggi memerlukan dukungan dari seluruh ekosistem akademik, termasuk kebijakan yang jelas, sistem pengawasan, dan pendidikan nilai-nilai etika.

Integritas sebagai esensi dari profesionalisme akademisi, di mana nilai integritas akan memastikan bahwa kontribusi akademisi tidak hanya diakui berdasarkan hasil, tetapi juga berdasarkan proses yang beradab dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan menjadikan integritas sebagai pilar utama, perguruan tinggi dapat menghasilkan generasi akademisi yang tidak hanya kompeten secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter moral yang kuat untuk membawa dampak positif bagi masyarakat.

Kompetensi sebagai jawaban profesionalisme akademisi

Kompetensi profesional akademisi, baik dosen maupun mahasiswa, tidak hanya dipahami dalam konteks teori saja, tetapi juga harus mencakup penerapan praktik dan penguasaan keterampilan. Kompetensi yang dimaksud melibatkan kemampuan multidimensi yang meliputi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan sikap (attitude) yang saling terkait untuk mendukung pelaksanaan tugas secara profesional. Menurut Spencer dan Spencer (1993) dalam Competence at work: Models for superior performance, kompetensi adalah karakteristik mendasar seseorang yang berkaitan langsung dengan performa unggul di tempat kerja, termasuk pendidikan tinggi. Pada konteks ini, kompetensi akademisi menjadi fondasi dalam menghadapi tantangan dan ekspektasi di lingkungan perguruan tinggi.

Dosen, sebagai aktor utama dalam dunia pendidikan tinggi, diharapkan tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan di bidangnya, tetapi juga mampu menerapkannya dalam proses pembelajaran. Salah satu bentuk praktik kompetensi yakni kemampuan untuk mengintegrasikan teknologi digital dalam pengajaran, seperti penggunaan platform pembelajaran daring, alat analitik, maupun metode Problem-Based Learning. Hal ini sejalan dengan konsep Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) yang dikembangkan oleh Mishra dan Koehler (2006), menekankan bahwa dosen harus memahami hubungan antara konten, pedagogi, dan teknologi untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif.

Di sisi lain, mahasiswa sebagai bagian dari komunitas akademik juga diharapkan mengembangkan kompetensi yang aplikatif, terutama dalam keterampilan berpikir kritis, problem-solving, dan kolaborasi. Melalui metode Problem-Based Learning, mahasiswa perlu dilatih untuk mengatasi permasalahan nyata di lapangan. Praktik ini mengajarkan mahasiswa untuk tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu merancang solusi yang relevan secara praktis. Savery (2006) dalam Overview of problem-based learning: Definitions and distinctions menekankan bahwa Problem-Based Learning dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk berpikir mandiri dan bekerja sama dalam tim lintas disiplin.

Kompetensi juga mencakup kemampuan berkomunikasi, baik verbal maupun non-verbal. Dosen harus mampu menyampaikan materi dengan cara yang menarik, relevan, dan mudah dipahami oleh mahasiswa. Selain itu, keterampilan komunikasi lintas budaya menjadi penting karena globalisasi membuka peluang untuk interaksi dengan mahasiswa atau kolega dari berbagai latar belakang. Mahasiswa juga harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik untuk menyampaikan ide dalam diskusi akademik atau dalam forum internasional. Hal ini relevan dengan gagasan komunikasi efektif yang dikemukakan oleh Goleman (1998) sebagai bagian dari kecerdasan emosional, yang sangat penting dalam membangun hubungan profesionalisme akademisi.

Selain penguasaan teknis, kompetensi profesional juga mencakup sikap etis. Akademisi dituntut untuk memiliki integritas dalam penelitian, pengajaran, dan interaksi sosial. Dosen harus menjadi teladan dalam menjaga kredibilitas akademik melalui transparansi, kejujuran, dan penghormatan terhadap hak kekayaan intelektual. Mahasiswa, di sisi lain, perlu dilatih untuk memahami pentingnya etika akademik, seperti menghindari plagiarisme dan menghargai kontribusi intelektual orang lain. Bassett (2011) menegaskan bahwa etika akademik adalah elemen mendasar dalam menjaga reputasi institusi pendidikan tinggi.

Kompetensi profesional tidak hanya menjadi jawaban terhadap tuntutan global, tetapi juga menjadi langkah penting untuk menciptakan dampak positif di masyarakat. Akademisi yang kompeten akan mampu menjadi agen perubahan dengan menghasilkan penelitian yang relevan dan mengimplementasikan solusi berbasis bukti di dunia nyata. Kompetensi juga dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi sebagai pusat inovasi dan keunggulan. Dengan mengombinasikan teori, praktik, dan keterampilan, maka akademisi akan mampu menjawab tuntutan profesionalisme yang semakin kompleks di era global.

Integritas dan kompetensi merupakan dua nilai fundamental yang harus dimiliki oleh akademisi dalam menghadapi tantangan profesionalisme di dunia pendidikan tinggi, terutama di tengah dinamika global yang semakin kompleks. Di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), tantangan dalam dunia akademik tidak hanya memerlukan kemampuan adaptasi yang tinggi, namun tetap harus berlandaskan pada prinsip-prinsip etika yang kuat. Dengan menjaga keseimbangan antara integritas dan kompetensi, akademisi tidak hanya dapat memenuhi tuntutan dunia akademik saja, tetapi juga harus memberikan kontribusi yang bermakna bagi masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, “It is the supreme art of the teacher to awaken joy in creative expression and knowledge,” yang menegaskan bahwa integritas dan kompetensi dalam pendidikan sebagai kunci untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, namun juga memiliki nilai moral yang tinggi.

Editor: Damar Wira Kusuma
Reporter: Damar Wira Kusuma