Penulis : Regita cahyani (Universitas Pendidikan Indonesia)
Di tengah arus modernisasi yang kian deras, Palembang masih menyimpan banyak tradisi adat yang wajin kita ketahui dan wajib kita lestarikan, apalagi untuk kaum GEN Z yang sekarang cenderung acuh tak acuh terhadap warisan leluhur.
Salah satu tradisi unik yang masih bertahan dan menjadi bagian penting dari kehidupan sosial budaya masyarakat Palembang adalah Ngidang sebuah tradisi jamuan adat khas Desa Tuan Kentang, Palembang.
Tradisi ini bukan hanya tentang makan bersama, melainkan simbol penghormatan, gotong-royong, dan ikatan kekerabatan yang kuat. Di Desa Tuan Kentang, yang terletak tidak jauh dari pusat kota Palembang, Ngidang menjadi bagian tak terpisahkan dalam rangkaian acara adat, khususnya dalam perayaan pernikahan, khitanan, atau syukuran keluarga besar.
Apa Itu Ngidang?
Secara harfiah, ngidang dalam bahasa Palembang berarti “menghidang” atau menyajikan makanan. Namun dalam konteks tradisi, Ngidang merujuk pada tata cara penyajian dan penyambutan tamu dalam skala besar yang dilakukan oleh satu keluarga atau komunitas untuk acara tertentu. Yang menjadikan tradisi ini istimewa adalah cara dan nilai-nilai yang melekat di dalamnya.
Ngidang biasanya dilakukan saat keluarga menyelenggarakan hajatan besar. Tamu-tamu yang datang akan disambut dengan hidangan lengkap yang disiapkan secara gotong royong oleh tetangga dan kerabat, yang disebut pengiring idang. Setiap “idang” atau hidangan lengkap terdiri atas nasi, lauk pauk seperti ayam opor, pindang daging, sambal goreng ati, kerupuk, hingga aneka kue tradisional.
Makanan ini tidak disajikan dalam piring biasa, melainkan dalam talam besar (nampan logam bundar) yang dilapisi daun pisang, lalu disusun rapi dan dihias. Satu talam biasanya disajikan untuk empat hingga enam orang yang makan bersama-sama.
Simbol Kekeluargaan dan Status Sosial
Ngidang bukan sekadar kegiatan makan bersama, melainkan juga bentuk komunikasi sosial yang mencerminkan status, kesatuan, dan solidaritas. Dalam masyarakat Desa Tuan Kentang, keberhasilan menggelar acara Ngidang yang tertib, ramah, dan berlimpah makanan menjadi simbol keberhasilan dan kehormatan keluarga.
Ada semacam kebanggaan ketika bisa menjamu ratusan tamu dengan baik, namun tradisi ini juga diatur dengan norma sosial agar tidak jatuh pada ajang pamer atau pemborosan. Justru nilai utama dari Ngidang adalah gotong royong dan saling membantu—dari memotong bahan makanan, memasak di dapur umum, hingga menyusun hidangan dengan rapi.
Dalam pelaksanaannya, tetua adat atau tokoh masyarakat biasanya dilibatkan untuk memastikan acara berjalan sesuai adat, terutama dalam aspek etika penyambutan tamu dan pemilihan menu makanan.
Peran Perempuan dan Dapur Gotong Royong
Yang menarik dari tradisi Ngidang adalah peran penting perempuan. Ibu-ibu desa menjadi tulang punggung dari dapur gotong royong yang disiapkan jauh hari sebelum acara. Mulai dari memasak dalam jumlah besar, menyiapkan bahan mentah, hingga menyusun tampah, semua dilakukan dengan kerja sama yang solid.
Di sinilah terlihat fungsi sosial dari tradisi ini sebagai wadah interaksi, pertukaran informasi, hingga penguatan jejaring sosial antarwarga. Banyak anak muda yang turut serta, belajar langsung dari orang tua mereka cara memasak dan menghias hidangan sesuai adat.
Ngidang di Era Modern
Seiring waktu, tradisi Ngidang mengalami adaptasi. Di beberapa acara, penggunaan talam besar mulai digantikan oleh kotak nasi praktis untuk efisiensi. Namun di Desa Tuan Kentang, banyak keluarga masih menjaga cara penyajian tradisional karena dianggap lebih sakral dan bermakna.
Beberapa keluarga bahkan memesan talam antik khusus atau menyewa jasa penyusun idang profesional agar tetap sesuai nilai budaya. Pemerintah daerah dan pelestari budaya lokal juga mulai sering mengangkat tradisi ini dalam festival budaya dan agenda pariwisata.
Menghidupkan Kembali Warisan Leluhur
Di tengah gempuran budaya luar, Ngidang menjadi simbol perlawanan kultural yang lembut namun kokoh. Ia bukan hanya tradisi makan, melainkan juga upaya menjaga identitas lokal yang kaya makna.
Desa Tuan Kentang, yang dulunya dikenal sebagai kampung tua penghasil songket dan pusat kegiatan budaya, kini perlahan-lahan bangkit dengan menjadikan warisan seperti Ngidang sebagai kekuatan komunitas. Para pemuda mulai terdorong untuk memahami dan mewarisi nilai-nilai adat leluhur agar tidak punah.
Kesimpulan
Tradisi Ngidang di Desa Tuan Kentang bukan hanya cermin dari keramahan masyarakat Palembang, tapi juga potret harmoni sosial yang dibangun lewat budaya jamuan. Ia mengajarkan kita bahwa makanan bukan sekadar konsumsi, melainkan bentuk komunikasi dan pewarisan nilai. Ketika dunia bergerak cepat dan serba individualistis, Ngidang hadir sebagai pengingat bahwa kebersamaan dan gotong royong adalah rasa yang tak lekang oleh zaman.
Sekarang di Desa Tuan Kentang Palembang, siapapun dapat merasakan pengalaman ngidang di Rumah Kembar dengan cara memesan minimal 20 orang untuk sekali ngidang.