Penulis : Saidah Rahmah (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jurusan Ilmu Pemerintahan)

Daily Nusantara,  Opini – Ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan beras di pasar atau stabilitas harga bahan pokok. Ini adalah persoalan yang luas dan menyangkut bagaimana pangan diproduksi, bagaimana kebijakan mendukungnya, dan bagaimana masyarakat mengonsumsinya. Namun, ada satu aspek yang jarang mendapat perhatian serius yaitu, ketergantungan sistem pertanian pada pola monokultur. Jika ini terus berlangsung, Indonesia berisiko menghadapi krisis pangan yang semakin sulit diatasi, terutama dengan adanya ancaman perubahan iklim.

Salah satu permasalahan utama dalam sektor pertanian Indonesia adalah dominasi sistem monokultur, di mana lahan-lahan pertanian lebih banyak ditanami satu jenis tanaman dalam skala besar, seperti padi, jagung, atau kelapa sawit. Data menunjukkan bahwa luas lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,9 juta hektare pada 2022, yang sebagian besar tersebar di Sumatra dan Kalimantan. Sementara itu, luas panen jagung pipilan pada 2024 mencapai 2,55 juta hektare, meningkat sekitar 72,56 ribu hektare dibanding tahun sebelumnya. Model ini memang menguntungkan secara ekonomi dalam jangka pendek karena lebih mudah dikelola dan hasil panennya lebih dapat diprediksi. Namun, ada dampak besar yang jarang disadari: tanah menjadi lebih rentan terhadap degradasi karena kehilangan keragaman hayati yang bisa menjaga keseimbangan ekosistem.

Monokultur juga membuka peluang lebih besar bagi serangan hama dan penyakit tanaman. Dalam beberapa tahun terakhir, petani padi di Indonesia sering mengalami gagal panen akibat serangan wereng batang coklat yang menyebar dengan cepat karena minimnya keberagaman tanaman di lahan pertanian. Saat satu jenis tanaman mendominasi, hama memiliki lingkungan yang ideal untuk berkembang biak tanpa ada tanaman lain yang bisa menghambat siklus hidupnya. Akibatnya, petani terpaksa mengandalkan pestisida dalam jumlah besar. Ironisnya, penggunaan pestisida dan pupuk sintetis secara berlebihan telah menyebabkan tanah di banyak daerah pertanian kehilangan unsur hara secara drastis. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, lahan pertanian di Indonesia mengalami penurunan produktivitas akibat degradasi tanah, yang diperparah oleh ketergantungan petani pada pupuk kimia untuk mempertahankan hasil panennya.
Di sisi lain, perubahan iklim semakin memperburuk situasi. Cuaca yang semakin sulit diprediksi membuat jadwal tanam dan panen tidak menentu. Kemarau panjang akibat fenomena El Nino, menyebabkan lahan pertanian mengalami kekeringan yang parah, sehingga tanaman tidak bisa tumbuh optimal. BMKG menyebut bahwa pertanian adalah sektor yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Bahkan, perubahan pola curah hujan yang ekstrem telah memicu banjir yang merendam sawah di berbagai daerah pada awal 2024, mengakibatkan produksi padi menurun dalam jumlah besar. Hal ini menyebabkan harga beras melonjak di pasaran, yang pada gilirannya berdampak pada daya beli masyarakat dan meningkatkan tekanan terhadap ketahanan pangan nasional.

Jika pola pertanian seperti ini terus dibiarkan, ketahanan pangan Indonesia akan semakin rapuh. Salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan adalah menerapkan sistem agroekologi, yang menekankan diversifikasi tanaman dan praktik pertanian berkelanjutan. Dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman dalam satu lahan, petani bisa mengurangi risiko gagal panen akibat serangan hama serta menjaga keseimbangan ekosistem tanah. Program diversifikasi pangan berbasis lokal, seperti yang sedang diuji coba di beberapa daerah di Indonesia, telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan ketahanan pangan serta mengurangi dampak lingkungan akibat praktik pertanian intensif.
Namun, kenyataannya, perubahan ke arah pertanian yang lebih beragam masih menghadapi banyak tantangan. Kebijakan pertanian selama ini lebih banyak berfokus pada peningkatan produksi komoditas tertentu dibandingkan dengan upaya mendorong keberlanjutan. Petani pun lebih cenderung mengikuti tren pasar yang menjanjikan keuntungan cepat, dibandingkan berinvestasi dalam sistem pertanian yang lebih beragam tetapi membutuhkan waktu lebih lama untuk memberikan hasil yang stabil.

Selain dari sisi produksi, pola konsumsi masyarakat juga perlu berubah. Selama ini, sebagian besar penduduk Indonesia masih terlalu bergantung pada beras sebagai sumber utama karbohidrat. Padahal, ada banyak alternatif lain yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, seperti sagu, singkong, dan umbi-umbian. Ironisnya, konsumsi pangan alternatif ini masih sangat rendah karena minimnya edukasi dan promosi dari pemerintah maupun industri pangan. Di beberapa daerah, seperti Papua dan Maluku, masyarakat yang mengandalkan sagu sebagai makanan pokok justru memiliki ketahanan pangan yang lebih baik dalam menghadapi cuaca ekstrem.

Jika pemerintah serius ingin memastikan ketahanan pangan di masa depan, maka kebijakan pertanian harus diarahkan pada diversifikasi tanaman dan insentif bagi petani yang menerapkan metode berkelanjutan. Di saat yang sama, masyarakat juga harus mulai mengubah pola makan dengan lebih banyak mengonsumsi pangan lokal yang lebih tahan terhadap kondisi iklim yang semakin ekstrem.

Ketahanan pangan bukan hanya tentang memastikan bahwa stok beras mencukupi, tetapi juga soal bagaimana sistem pertanian bisa bertahan menghadapi tantangan di masa depan. Jika kita terus bergantung pada monokultur dan abai terhadap ancaman perubahan iklim, krisis pangan bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian yang hanya menunggu waktu.