Pada tanggal 2 April 2025, sebuah postingan di platform X yang diunggah oleh akun @TSarundengGG dengan ID 1907383451780551082 menjadi sorotan publik. Postingan tersebut mengangkat isu dugaan kecurangan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serang 2024 yang melibatkan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Yandri Susanto. Dalam postingan tersebut, Yandri dituduh memanfaatkan jabatannya untuk memenangkan istrinya, Ratu Rachmatu Zakiyah, sebagai Bupati Serang, Banten. Kontroversi ini memicu reaksi keras dari warganet, yang menyerukan tagar #AdiliYandriSusanto dan #YandriBeraksiNegaraMerugi sebagai bentuk protes terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan praktik dinasti politik.
Latar Belakang Kasus
Berdasarkan informasi dari postingan dan sumber terkait, Yandri Susanto diduga melakukan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pilkada Serang 2024. Tuduhan ini pertama kali mencuat melalui gugatan yang diajukan oleh kandidat yang kalah, Andika Hazrumy dan Nanang Supriatna, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menuding Yandri menggunakan wewenangnya sebagai menteri untuk menguntungkan istrinya, Ratu Rachmatu Zakiyah, dalam kampanye. Salah satu bukti yang diajukan adalah acara yang diselenggarakan Yandri dengan melibatkan 277 kepala desa di Serang, yang dikemas sebagai acara keluarga namun menggunakan kop surat resmi kementerian. Selain itu, terdapat laporan bahwa aparat kepolisian di Serang melakukan intimidasi terhadap kepala desa untuk mendukung Ratu, bahkan hingga mengarahkan pembuatan video kampanye untuknya.
Mahkamah Konstitusi, dalam putusan yang dibacakan pada 24 Februari 2025 oleh Ketua MK Suhartoyo, akhirnya membatalkan hasil Pilkada Serang 2024 yang ditetapkan oleh KPU Serang melalui Keputusan Nomor 2028 Tahun 2024. MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Serang untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di Kabupaten Serang. PSU ini harus mengacu pada Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan Daftar Pemilih Khusus (DPK) yang sama dengan Pilkada 27 November 2024.
Persiapan PSU oleh KPU Serang
Menindaklanjuti putusan MK, KPU Serang mulai mempersiapkan PSU dengan memanfaatkan logistik Pilkada 2024 yang masih layak pakai. Anggota KPU Serang, Muhammad Asmawi, pada 19 Maret 2025, menyatakan bahwa pihaknya sedang menyisir logistik seperti bilik suara yang masih dapat digunakan untuk menghemat anggaran. Total kebutuhan anggaran untuk PSU ini diperkirakan mencapai Rp38 miliar. KPU Serang juga berencana berkonsultasi dengan KPU Provinsi Banten terkait desain surat suara, yang akan memiliki tanda khusus untuk membedakannya dari Pilkada sebelumnya.
Reaksi Publik di Media Sosial
Postingan @TSarundengGG yang mengangkat isu ini memicu gelombang reaksi dari warganet. Dalam cuitannya, akun tersebut mempertanyakan apakah negara ini telah menjadi arena dinasti keluarga Yandri, dengan menyindir peran Yandri sebagai “pahlawan” politik bagi keluarganya. Cuitan tersebut disertai dengan infografis yang merinci tuduhan terhadap Yandri, termasuk:
– Penyalahgunaan wewenang dengan melibatkan 277 kepala desa.
– Dugaan intimidasi oleh polisi terhadap kepala desa.
– Kecurangan yang menyebabkan PSU di seluruh TPS di Serang, dengan biaya hingga Rp38 miliar yang dibebankan pada negara.
Warganet yang membalas postingan tersebut menunjukkan kekecewaan mendalam terhadap Yandri. Akun @lembayung_luv menulis, “Gak pantes banget, Yandri. Bukan urusan pribadi, ini negara loh!” Sementara itu, @keindahani17660 menyatakan, “Gak pantes banget jadi pemimpin kalau gitu terus.” Akun lain, seperti @MitsukiM66, menyoroti dampak kecurangan terhadap integritas demokrasi, dengan mengatakan, “Kecurangan merusak integritas banget!” Beberapa warganet bahkan menyerukan Yandri untuk mundur dari jabatannya, seperti yang ditulis oleh @MeterL9958, “Udah deh, Yandri. Lebih baik mundur aja daripada jadi beban pemerintah.”
Selain itu, warganet juga mengkritik sistem demokrasi di Indonesia yang dianggap masih jalan di tempat. @agussalman31 menulis, “Demokrasi Indonesia masih jalan di tempat: korupsi terus merajalela,” sementara @ceu_megawati menyebut, “Demokrasi sekarat ketika elit seenaknya memanipulasi sistem.” Harapan agar pengadilan tidak tunduk pada tekanan politik keluarga besar Yandri juga disuarakan oleh @I_gedesurya.
Sorotan terhadap Dinasti Politik
Kasus ini juga menambah sorotan terhadap fenomena dinasti politik di Indonesia. Sebuah studi dari *Ministrate: Jurnal Birokrasi dan Pemerintahan Daerah* menunjukkan bahwa praktik dinasti politik kerap terjadi di pemerintahan daerah, di mana elit politik berusaha melanggengkan kekuasaan melalui keluarga mereka. Hal ini mempermudah penyalahgunaan wewenang, sebagaimana yang diduga terjadi dalam kasus Yandri Susanto. Artikel dari *The Jakarta Post* (22 Januari 2025) juga mencatat bahwa sengketa Pilkada 2024 di MK sering kali melibatkan tuduhan favoritisme pemerintah pusat terhadap kandidat tertentu, yang memperparah persepsi publik terhadap integritas pemilu.
Kontroversi Yandri Susanto dalam Pilkada Serang 2024 menjadi cerminan tantangan besar dalam demokrasi Indonesia, khususnya terkait penyalahgunaan wewenang dan praktik dinasti politik. Putusan MK untuk menggelar PSU menunjukkan adanya upaya untuk menegakkan keadilan dalam proses pemilu, namun biaya yang besar dan kerugian kepercayaan publik menjadi konsekuensi yang tidak dapat diabaikan. Reaksi warganet di platform X mencerminkan keresahan masyarakat terhadap elit politik yang dianggap lebih mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga ketimbang integritas negara. Kasus ini menjadi pengingat bahwa pengawasan ketat terhadap penyelenggaraan pemilu dan akuntabilitas pejabat publik tetap menjadi kebutuhan mendesak untuk menjaga demokrasi yang sehat di Indonesia.