Penulis : Harry Yulianto (Akademisi STIE YPUP Makassar)
Sejak 1990, Indonesia berjanji mewujudkan pendidikan berkualitas dan merata melalui deklarasi UNESCO Education for All. Tiga dasawarsa lebih telah berlalu, namun realita “sekolah untuk semua” masih terasa jauh dari kenyataan. Menurut data Statistik Pendidikan Indonesia (BPS, 2023) menunjukkan di daerah tertinggal, 4,5% anak terpaksa putus sekolah. Di daerah, bahkan ada satu guru yang mengajar 45 murid, jauh dari standar nasional 20 murid per guru. Menurut Laporan Digitalisasi Pendidikan (Kemendikbud, 2024), banyak sekolah di pelosok masih tanpa akses internet.
Menyambut Hari Pendidikan Nasional 2025, kita perlu bertanya: sejauh mana kerja bersama telah membuahkan hasil? Program seperti Kartu Indonesia Pintar dan digitalisasi sekolah patut diapresiasi. Tapi di balik itu, laporan UNICEF (2023) dalam Access to Quality Education in Indonesia: Challenges and Opportunities, menunjukkan bahwa: 22% anak Indonesia kesulitan mengakses buku pelajaran yang layak. Di tengah kemajuan teknologi, masih ada anak yang belajar di ruang kelas tidak representatif, tanpa listrik, atau bahkan belum lancar membaca.
Lantas, bisakah “pendidikan untuk semua” diwujudkan? Atau ini hanya utopia yang terus dipupuk tanpa realisasi?
Pendidikan Berkualitas: Utopia atau Realita?
Pendidikan bermutu bukan hanya tentang gedung megah atau fasilitas mewah. Ada tiga fondasi utama, yakni: kurikulum yang relevan, guru yang kompeten, dan lingkungan belajar yang ramah untuk semua. UNESCO (2015) dalam Education 2030: Incheon Declaration and Framework for Action menegaskan bahwa pendidikan harus adil, sesuai kebutuhan, dan tanggap terhadap keragaman peserta didik. Ki Hajar Dewantara mengingatkan: pendidikan harus “memanusiakan manusia”, proses belajar yang menghargai keunikan setiap anak.
Namun, janji kesetaraan pendidikan masih jauh dari harapan. Di daerah terpencil (3T), 5,2% anak terpaksa putus sekolah. Di daerah, satu guru harus mengajar 38 murid, padahal standar nasional hanya 20 murid per guru. Hasil belajar menunjukkan ketimpangan, dimana nilai PISA Indonesia untuk literasi, matematika, dan sains masih di bawah rata-rata global (OECD, 2023). Amartya Sen (2009) dalam The Idea of Justice menegaskan bahwa sistem belum mampu menjamin akses setara bagi anak-anak marjinal untuk meraih kesempatan yang semestinya
Mengapa pendidikan berkualitas masih seperti utopia? Pertama, anggaran pendidikan sebesar 20% APBN dialokasikan ke sektor yang tidak sesuai dengan perencanaan atau kebutuhan riil. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Pengelolaan Dana Pendidikan Tahun 2023 menyebutkan 15% dana pendidikan digunakan untuk proyek tidak prioritas, seperti laboratorium komputer di sekolah tanpa infrastruktur dasar (listrik). Kedua, partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan masih sangat minim. Sebagian besar warga tidak terlibat dalam kegiatan atau program pendidikan di lingkungan sekitar, seakan menganggap bahwa urusan sekolah hanyalah tanggung jawab pemerintah saja. Ketiga, ego sektoral. Pemerintah, swasta, dan komunitas belum bersinergis karena kepentingan politik jangka pendek. Bourdieu (1986) dalam The Forms of Capital menyebutnya “symbolic domination“: kekuasaan mengabaikan suara rakyat, membuat ketimpangan semakin mengakar.
Ketiga masalah tersebut ibarat “systemic trap” yang terus mengubur harapan. Lantas, bagaimana memutusnya?
Partisipasi Semesta: Kunci Pendidikan Berkualitas untuk Semua
Pendidikan bukan hanya urusan pemerintah atau sekolah, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Konsep ini sejalan dengan teori Bronfenbrenner (1979) dalam The Ecology of Human Development, yang menyatakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar: keluarga, sekolah, komunitas, hingga kebijakan negara. Ki Hajar Dewantara menegaskan, “Pendidikan harus lahir dari kekuatan rakyat”. Artinya, tanpa kolaborasi nyata antara pemerintah, masyarakat, swasta, dan keluarga, mustahil mewujudkan pendidikan berkualitas.
Pendidikan berkualitas tidak bisa diwujudkan oleh satu pihak saja. Ki Hajar Dewantara mengingatkan, “Pendidikan harus menjadi usaha bersama yang melibatkan seluruh kekuatan masyarakat”. Realitanya, kesenjangan pendidikan masih terjadi di banyak daerah: anak-anak belajar di ruang kelas yang kurang/tidak representatif, guru kekurangan alat ajar, atau keluarga miskin terpaksa memilih bekerja dibandingkan pergi ke sekolah. Untuk menjawab masalah ini, diperlukan kolaborasi empat pilar (pemerintah, masyarakat, swasta, dan keluarga) yang saling menguatkan ibarat rantai. Jika satu mata rantai terputus, cita-cita pendidikan untuk semua akan tetap menjadi utopia.
Pertama, pemerintah sebagai pengatur serta pendukung, pemerintah telah meluncurkan program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang berhasil mengurangi angka putus sekolah di daerah tertinggal sebesar 1,8% pada 2023. Namun, catatan korupsi dana BOS (15% kasus pada 2022) menjadi pelajaran berharga. Di sini, transparansi anggaran dan pengawasan publik menjadi kunci agar bantuan pendidikan tidak salah sasaran.
Kedua, keterlibatan masyarakat terbukti mengubah wajah pendidikan. Gerakan Indonesia Mengajar telah mengirimkan 1.200 relawan ke 150 daerah terpencil sejak 2010, mampu meningkatkan literasi dasar 23%. Tidak hanya itu, forum pengawasan desa juga menunjukkan bagaimana masyarakat bisa menjadi “mata dan telinga” untuk memastikan kebijakan pendidikan berjalan adil.
Ketiga, perusahaan swasta tidak boleh hanya mengejar keuntungan. PT HMSP melalui Sampoerna Academy membuktikan tanggung jawab sosialnya dengan membangun 45 sekolah sejak 2013, dimana 60% kursinya diprioritaskan untuk siswa kurang mampu (Laporan Keberlanjutan HMSP, 2023). Hal tersebut merupakan bentuk nyata bagaimana sektor swasta dapat membuka pintu pendidikan bagi yang terpinggirkan.
Keempat, keluarga, dimana orang tua adalah guru pertama dan terpenting. Menurut Statistik Pendidikan Indonesia (BPS, 2023), anak dari keluarga yang paham mengelola keuangan memiliki peluang 2,5 kali lebih besar untuk kuliah. Bahkan, menurut Evaluasi Program Keluarga Pendidikan Tahun 202, pendampingan belajar di rumah, seperti dalam Program Keluarga Pendidikan (Kemendikbudristek, 2022), dapat meningkatkan nilai ujian nasional anak hingga 12%.
Keempat pilar tersebut ibarat roda penggerak yang saling menguatkan. Jika salah satu macet, pendidikan bermutu hanya akan menjadi mimpi. Pemerintah membutuhkan dukungan swasta untuk anggaran, masyarakat perlu mengawasi kebijakan, dan keluarga harus aktif mendampingi anak. Tanpa kolaborasi, ego sektoral akan terus memperlebar jurang ketimpangan.
Tantangan Mewujudkan Partisipasi Semesta dalam Pendidikan
Membangun partisipasi semua pihak dalam pendidikan bukan perkara mudah. Meski kolaborasi sebagai kunci sukses, namun realitanya masih ada kesenjangan antara cita-cita dan praktik. Seperti diingatkan Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom, “pembangunan inklusif harus menyentuh akar ketimpangan, bukan sekadar retorika”. Namun, tiga tantangan berat menghadang, yakni: birokrasi berbelit, mentalitas masyarakat yang pasif, dan tekanan ekonomi.
Pertama, birokrasi yang lambat dan korupsi dana pendidikan masih jadi kendala. Data ICW (2022), menyebutkan bahwa 15% kasus korupsi sektor pendidikan pada 2021-2022 terkait dana BOS dan PIP, seperti dana pembangunan kelas dialihkan untuk kepentingan pribadi, sehingga meninggalkan proyek yang tidak terselesaikan. Menurut OECD Reviews of School Resources: Indonesia (OECD, 2020), kebijakan pendidikan yang berubah, seperti pergantian kurikulum tanpa evaluasi, dapat menimbulkan tantangan bagi sekolah, terutama di daerah terpencil.
Kedua, masyarakat masih menganggap pendidikan urusan pemerintah. Padahal, menurut Bourdieu (1977) dalam Outline of A Theory of Practice, sikap pasrah sebagai bentuk “kekerasan simbolik”, menerima hierarki tanpa kritik. Laporan Partisipasi Donasi Untuk Sekolah Terpencil (Data Filantropi Indonesia, 2023), menyatakan bahwa hanya 3% warga kota yang pernah menyumbang ke sekolah terpencil, sehingga gerakan relawan pendidikan seringkali kehabisan tenaga, karena minimnya dukungan.
Ketiga, kemiskinan memaksa keluarga memilih bertahan hidup dibandingkan sekolah. Data Statistik Pendidikan Indonesia (BPS, 2023) menyebutkan bahwa 34% keluarga miskin mengalokasikan kurang dari 5% penghasilan untuk pendidikan. Di suatu daerah, terdapat 18% anak jenjang SMP yang terpaksa bekerja membantu orang tua dibandingkan belajar (UNESCO, 2020). Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) belum menjawab tuntas: 25% penerimanya tetap putus sekolah karena desakan ekonomi (Kemendikbudristek, 2023).
UNESCO (2020) dalam Global Education Monitoring Report: Inclusion and Education menyatakan bahwa 65% negara berkembang (termasuk Indonesia) belum optimal mencapai pendidikan inklusif karena tiga tantangan tersebut. Lantas, bagaimana kita memutus “rantai masalah” tersebut?
Membangun Partisipasi Semesta: Dari Konsep ke Aksi Nyata
Mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan dari atas (top-down). Ki Hajar Dewantara pernah berpesan: “Pendidikan harus berdiri di atas kekuatan rakyat dan untuk rakyat”. Namun, niat baik ini seringkali terkendala oleh ego sektoral dan kurangnya sinergi. Diperlukan strategi konkret untuk mengubah partisipasi dari wacana menjadi aksi nyata, melalui kampanye kesadaran, kolaborasi lokal, insentif menarik, dan gerakan akar rumput. UNESCO (2015) menegaskan bahwa pendidikan inklusif hanya terwujud jika semua pihak bergerak bersama.
Di tengah kompleksnya tantangan pendidikan, satu hal patut diingat: masalah kolektif membutuhkan solusi kolektif. Ki Hajar Dewantara pernah berujar, “Pendidikan yang sejati adalah usaha membebaskan, bukan membelenggu”. Namun, upaya membebaskan anak-anak dari belenggu ketimpangan pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan pemerintah atau aksi sporadis. Diperlukan langkah sistematis yang melibatkan semua pihak, dari kampung hingga kota, dari keluarga hingga korporasi. UNESCO (2015) dalam Education 2030: Incheon Declaration and Framework for Action, menyebutnya sebagai “ekosistem pendidikan” yang saling terhubung. Seperti puzzle, setiap elemen masyarakat memiliki peran unik. Lantas, langkah strategis apa saja yang bisa kita ambil untuk mengubah partisipasi dari wacana menjadi aksi nyata?
Pertama, kampanye kesadaran massal, dengan mengubah pola pikir masyarakat adalah kunci. Gerakan seperti #SemuaBisaSekolah berhasil meningkatkan donasi beasiswa 40% pada 2022 dengan melibatkan publik melalui media sosial. Figur inspiratif seperti Najwa Shihab juga turut menggaungkan pentingnya literasi. Menurut Putnam (2000) dalam Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, kekuatan masyarakat (social capital) akan muncul ketika semua sadar bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
Kedua, kolaborasi lokal yang nyata. Di Jawa Barat, Program “Sekolah Adopsi” menunjukkan bahwa perusahaan swasta bisa berperan aktif. Sejak 2023, 120 sekolah direnovasi dan guru dilatih oleh perusahaan sekitar. Carroll (1991) dalam The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders, menyebutnya sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang berkelanjutan. Pendekatan dari bawah (bottom-up) untuk memastikan kebutuhan lokal, misalnya laboratorium pertanian di daerah agraris yang terpenuhi.
Ketiga, insentif untuk dorongan partisipasi. Pemerintah bisa memberi insentif, seperti potongan pajak 10% bagi perusahaan yang mendanai riset pendidikan. Hasilnya, investasi CSR pendidikan naik 25% pada 2023. Becker (1976) dalam The Economic Approach to Human Behavior, menjelaskan bahwa manusia cenderung berkontribusi jika ada keuntungan, baik materi maupun reputasi. Penghargaan seperti “Sekolah Peduli Lingkungan” dapat memicu semangat kompetisi yang sehat antarsekolah.
Keempat, gerakan sosial berbasis komunitas. Pendidikan harus menjadi alat pembebasan, bukan hanya teoritis. Seperti organisasi keagamaan yang aktif menggalang dana pendidikan dan pemberian beasiswa melalui zakat. Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menyebutnya sebagai “pendidikan yang membebaskan”, digerakkan oleh masyarakat sendiri.
Partisipasi semesta bukan lagi utopia jika semua pihak bersinergi. Pemerintah, swasta, masyarakat, dan keluarga harus berkolaborasi dan berpartisipasi, seperti puzzle yang komplementer. Sudah saatnya pendidikan tidak hanya menjadi urusan birokrasi, tetapi gerakan semesta yang lahir dari dalam sanubari rakyat.
Kisah Sukses Pendidikan: Kolaborasi Nyata dari Desa hingga Dunia
Pendidikan berkualitas untuk semua bukanlah utopia. Di berbagai belahan dunia, gerakan kolektif telah membuktikan bahwa partisipasi aktif masyarakat bisa mengubah wajah pendidikan. Michael Apple (2012) dalam Education and Power menyebutnya sebagai “pendidikan yang membebaskan”, lahir dari keterlibatan semua pihak, bukan hanya elite.
Di Indonesia, Gerakan Indonesia Mengajar telah mengirimkan 1.500 sarjana muda ke 200 kecamatan terpencil sejak 2010. Hasilnya, literasi dasar di daerah sasaran naik 30%. Bahkan relawan mampu mengajak swadaya warga untuk membangun perpustakaan desa. Menurut Putnam (2000), hal tersebut sebagai bukti kekuatan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan akademisi.
Sementara itu, Program Kampus Merdeka melibatkan 500.000 mahasiswa dalam 15.000 kegiatan sosial di tahun 2023. Salah satu inovasinya adalah aplikasi “Belajar Desa” karya mahasiswa, yang sudah diunduh oleh 50.000 pengguna. Kolb (1984) dalam Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development, menjelaskan bahwa program sosial dapat mengajak mahasiswa untuk belajar dari pengalaman langsung serta berkontribusi sosial.
Kisah sukses pendidikan di Indonesia membuktikan bahwa partisipasi masyarakat mampu menciptakan perubahan nyata. Namun, kita tidak bisa berjalan sendirian. Di belahan dunia lain, negara-negara seperti Finlandia dan India telah merancang model partisipasi unik yang dapat menjadi inspirasi.
Orang tua di Finlandia rutin menghabiskan 2 jam sehari mendampingi anak belajar. Sinergi keluarga-sekolah-pemerintah membuat Finlandia konsisten masuk 5 besar PISA. Bronfenbrenner (1979) dalam The Ecology of Human Development menyebutnya sebagai harmoni antara kebijakan negara dan peran keluarga.
Gerakan Each One, Teach One di India mengajak warga mengajar satu orang buta aksara. Sejak 1990, sudah 12 juta relawan berhasil ikut menurunkan buta aksara dari 48% menjadi 26%. Di Rajasthan, ibu rumah tangga yang dulu buta huruf kini sudah menjadi guru bagi anak-anak desa. Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menyebutnya sebagai pendidikan yang membebaskan, digerakkan rakyat dan untuk rakyat.
Finlandia dan India membuktikan bahwa pendidikan berkualitas bukan hanya milik negara maju, tetapi bisa diwujudkan dengan cara kreatif dan gotong royong. Hal tersebut telah membuktikan bahwa pendidikan bermutu bukan utopia, selama ada komitmen bersama. Lantas, apa yang bisa dipelajari dari mereka? Dengan menelusuri kearifan global, dapat menjadi sumber inspirasi untuk memecah kebuntuan kesenjangan pendidikan nasional.
Hardiknas 2025: Momentum Menyatukan Langkah untuk Pendidikan Bermutu
Ki Hajar Dewantara pernah berpesan: “Pendidikan yang tidak memerdekakan manusia adalah sia-sia.” Di Hari Pendidikan Nasional 2025, pesan tersebut harus menjadi reminder bahwa pendidikan bermutu untuk semua bukanlah utopia. Namun, dapat terwujud jika seluruh elemen bangsa (pemerintah, masyarakat, swasta, dan keluarga) bersatu dalam aksi nyata.
Menurut Laporan Capaian Program Indonesia Pintar menunjukkan bahwa partisipasi aktif masyarakat selama 5 tahun terakhir telah menurunkan angka putus sekolah di daerah tertinggal sebesar 2,3% (Kemendikbudristek, 2023). Gerakan seperti Indonesia Mengajar dan Program CSR pendidikan membuktikan bahwa kolaborasi multisektor mampu memangkas kesenjangan. Amartya Sen (1999) menyebutnya “kebebasan sejati”, ketika setiap orang mendapat akses setara ke pendidikan.
UNESCO (2015) dalam Education 2030 Framework for Action, menargetkan pendidikan inklusif sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan. Menurut AI and Education: Guidance for Policy-Makers (UNESCO, 2021), AI dapat mempersonalisasi pembelajaran untuk jutaan siswa, termasuk di negara berkembang seperti Indonesia. Dengan gotong royong, Indonesia mampu menjadi role model internasional dalam menciptakan sistem pendidikan yang memberdayakan, inklusif, dan berorientasi pada kebebasan berpikir/kreativitas” dengan kearifan lokal.
Hardiknas 2025 sebagai momentum untuk bertanya: Apa kontribusi saya hari ini? Setiap elemen bangsa merupakan kontributor dalam mewujudkan ekosistem pendidikan yang adil. Jika semua pihak bergerak, pada tahun 2030 (batas waktu pencapaian SDGs 4 dalam Pendidikan Berkualitas, yang dicanangkan PBB), Indonesia bisa menjadi mercusuar pendidikan global, tempat dimana anak-anak tidak lagi terbelenggu ketimpangan, tetapi merdeka belajar berkualitas demi masa depan cerah generasi unggul bangsa.