Penulis : Valerina Qarin, Mahasiswa Jurusan Teknik Komputer, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Andalas

Daily Nusantara, Opini – Setelah euforia Pemilu 2024 berlalu, suasana politik Indonesia mulai kembali tenang. Spanduk dan baliho telah diturunkan, TPS ditutup, dan hasil pemungutan suara diumumkan. Namun, satu pertanyaan penting kini muncul: apakah demokrasi telah selesai dengan selesainya proses pemilu? Jawabannya tentu tidak. Demokrasi sejati tidak berhenti pada momentum mencoblos di kotak suara. Ia justru dimulai kembali pasca pemilu, ketika para wakil rakyat dan pejabat eksekutif mulai menjalankan amanat yang diberikan rakyat. Di sinilah pentingnya partisipasi warga dalam kehidupan demokrasi yang lebih luas: pengawasan, advokasi, keterlibatan dalam kebijakan, dan kritik yang konstruktif.

Jasa Backlink

Salah satu kesalahpahaman yang jamak ditemui dalam masyarakat kita adalah menganggap bahwa memilih saat pemilu adalah bentuk utama atau bahkan satu-satunya partisipasi politik. Padahal, partisipasi politik tidak boleh berhenti pada bilik suara. Demokrasi bukan sekadar prosedur lima tahunan, melainkan proses berkelanjutan yang menuntut keterlibatan warga setiap hari. Jika setelah pemilu rakyat kembali pasif, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan akan semakin besar. Legitimasi yang diberikan lewat suara rakyat bisa saja berubah menjadi alat kepentingan kelompok sempit jika tanpa pengawasan publik. Inilah sebabnya mengapa keterlibatan warga negara dalam proses politik harus berlanjut, baik dalam bentuk pengawasan terhadap janji kampanye, keterlibatan dalam forum publik, hingga penggunaan hak untuk menyuarakan kritik.

Bentuk partisipasi rakyat pasca pemilu bisa dilakukan dalam berbagai cara. Salah satunya melalui forum musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di tingkat kelurahan, desa, atau kota. Forum ini seringkali sepi peminat, padahal di sanalah arah anggaran dan program pembangunan ditentukan. Warga juga bisa terlibat aktif dalam menyampaikan aspirasi melalui kanal-kanal resmi seperti e-lapor, petisi publik, atau forum media sosial yang bersifat terbuka. Kritik dan masukan yang disampaikan secara sistematis akan memaksa pejabat publik untuk lebih peka terhadap kebutuhan rakyat.

Selain itu, peran komunitas sipil, LSM, media independen, dan akademisi juga tak bisa dilepaskan. Mereka menjadi mata dan telinga masyarakat, serta kanal edukasi politik yang objektif dan kritis. Literasi politik yang kuat akan menghasilkan pemilih dan warga yang lebih rasional, serta lebih sulit dimanipulasi oleh narasi-narasi sektarian atau populisme dangkal.

Namun, partisipasi pasca-pemilu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masih banyak tantangan struktural dan kultural yang membatasi keterlibatan rakyat. Banyak masyarakat merasa suara mereka tidak berpengaruh, atau merasa “politik bukan urusan saya”. Apatisme ini diperparah oleh minimnya transparansi dari lembaga pemerintahan dan rendahnya literasi politik. Di sisi lain, pejabat publik kadang belum terbiasa dengan kritik sebagai bagian sehat dari demokrasi. Tidak jarang, suara kritis justru dibalas dengan reaksi defensif atau bahkan ancaman hukum. Kondisi ini menjauhkan warga dari ruang-ruang partisipasi, dan memperlemah kualitas demokrasi kita.

Untuk itu, perlu ada upaya bersama dari negara dan masyarakat sipil untuk membangun iklim partisipasi yang sehat. Pemerintah daerah dan pusat harus membuka ruang dialog yang terbuka, memperkuat keterlibatan publik dalam proses perencanaan dan evaluasi kebijakan, serta menjamin kebebasan berpendapat yang dilindungi konstitusi. Di sisi lain, warga juga perlu menyadari bahwa suara mereka tak berhenti di kotak suara. Demokrasi membutuhkan kontrol, evaluasi, dan keterlibatan aktif — bukan hanya loyalitas pasif. Pemilih cerdas bukan hanya yang datang ke TPS, tapi juga yang terus mengawal kebijakan dan janji-janji yang pernah diucapkan para kandidat.

Pemilu hanyalah pintu masuk dalam demokrasi. Di balik pintu itu, terdapat pekerjaan besar yang menanti: memastikan wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih benar-benar menjalankan mandatnya untuk kesejahteraan rakyat. Demokrasi sejati lahir dari keterlibatan warga negara yang terus-menerus, kritis, dan sadar hak serta kewajibannya. Saatnya kita bangkit sebagai warga aktif, bukan sekadar pemilih musiman. Sebab demokrasi yang kuat bukan dibangun oleh elite semata, tapi oleh partisipasi rakyat yang tak pernah padam.