Daily Nusantara, Yogyakarta, 1 Juli 2025 – Isu ekstraksi migas di Kepulauan Kangean kembali mencuat dalam diskusi publik bertajuk “Kangean Melawan: Menggugat Ekstraksi Migas Demi Penghidupan dan Alam” yang diselenggarakan secara daring oleh Forum Silaturahmi Mahasiswa Keluarga Madura Yogyakarta (FSM KMY). Diskusi yang berlangsung pada 1 Juli 2025 ini menghadirkan tiga narasumber yang mengupas berbagai dampak operasi PT Kangean Energi Indonesia (KEI) terhadap warga Kangean dan lingkungan sekitarnya.
Hasan Basri, salah seorang warga Kangean, membuka diskusi dengan mengungkapkan bahwa PT KEI telah beroperasi di Kepulauan Kangean selama 32 tahun, sejak tahun 1993. Hasan menyoroti penolakan warga terhadap ekspansi dan survei seismik yang direncanakan PT KEI pada tahun 2008, yang berhasil dibatalkan. Namun, pada tahun 2025, rencana ekspansi pertambangan migas di Blok Kangean Barat kembali muncul dan ditolak keras oleh warga. Penolakan ini didasari oleh ketiadaan transparansi informasi dan partisipasi publik, di mana warga tiba-tiba diundang ke acara sosialisasi tanpa kejelasan agenda, serta tidak mendapatkan akses terhadap dokumen perizinan seperti AMDAL.
Lebih lanjut, Hasan memaparkan bahwa rencana ekspansi tambang ini telah memicu konflik sosial dan polarisasi di masyarakat Kangean, menciptakan kubu pro dan kontra. Yang lebih miris, menurutnya, operasi tambang migas selama 32 tahun ini tidak membawa kesejahteraan bagi warga Kangean. Hasan, mencontohkan masih banyak wilayah di Kangean yang hanya menikmati listrik 12 jam sehari secara bergantian. Para nelayan Kangean, yang merupakan sebagian besar penduduk, sangat membutuhkan infrastruktur penunjang seperti pelabuhan yang memadai, namun hal tersebut belum tersedia. Parahnya lagi, sebagian warga juga tidak dapat melaut karena air terkontaminasi akibat aktivitas tambang,menunjukkan minimnya manfaat Corporate Social Responsibility (CSR) yang diterima masyarakat.
Oleh karena itu, Hasan Basri menyampaikan harapan dan tuntutan warga Kangean. Mereka mendesak adanya keterbukaan informasi terkait perizinan tambang migas, pemerintah harus mencabut izin PT KEI karena terbukti tidak menyejahterakan warga terdampak, serta menghentikan operasi PT Gelombang Seismik Indonesia sebagai mitra PT KEI dalam melakukan survei seismik tiga dimensi (3D).
“Tambang Migas justru lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnnya, jadi pemerintah harus mencabut izin tambangnya” Tegas Hasan.
Senada dengan Hasan Basri, Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, menegaskan bahwa penolakan warga Kangean terhadap tambang migas PT KEI sangat mendasar dan dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat. Wahyu menilai bahwa ekonomi lokal belum mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai, sehingga mengakibatkan tingginya angka perantau dibandingkan dengan penduduk yang menetap di daerah. Padahal, potensi Kangean sangat besar dan seharusnya bisa dikelola oleh warga lokal, mengingat ketergantungan mereka pada laut sebagai sumber penghidupan.
Wahyu menekankan bahwa kehadiran PT KEI justru bukan solusi kesejahteraan, melainkan menimbulkan penderitaan akibat eksploitasi alam Kangean. Ia juga menyoroti pelanggaran PT KEI terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Menurutnya, PT KEI tidak menjalankan partisipasi masyarakat sesuai Pasal 27 dan 70 UU PPLH yang mengamanatkan pelibatan warga terdampak dalam penyusunan AMDAL, di mana warga hanya dilibatkan saat sosialisasi, bukan sejak awal proses.
Wahyu mempertegas bahwa tidak ada teknologi yang mampu sepenuhnya memulihkan lingkungan yang rusak akibat pertambangan. Ia mengingatkan agar warga Kangean tidak sekadar menjadi tamu di rumahnya sendiri. Terkait CSR perusahaan, Wahyu menjelaskan bahwa CSR merupakan kewajiban perusahaan, bukan sekadar pemberian. Artinya, CSR harus diberikan dan dilaksanakan oleh PT KEI tanpa harus diminta oleh masyarakat, namun hingga kini warga belum merasakan manfaatnya.
“PT KEI masuk ke Kangean dengan cara tidak baik, apalagi pelaksanaan tambangnya pasti buruk. Jadi harus ditolak tanpa syarat apa pun” Pungkas Wahyu.
Sementara itu, Ach Nurul Luthfi, Ketua Umum FSM KMY, mengkritik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K). Menurutnya, UU ini, yang disebut-sebut menjadi dasar bagi PT KEI untuk mengelola tambang di Kangean, namun berpotensi mengabaikan hak-hak tradisional masyarakat pesisir melalui Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Ia menilai KKPRL dapat menjadi celah legal untuk perampasan ruang hidup demi investasi ekstraktif. Padahal, Pasal 35 UU PWP3K secara tegas melarang penambangan migas di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil jika merusak lingkungan atau merugikan masyarakat.
Luthfi juga mengungkapkan bahwa PT KEI telah melanggar aturan tahapan perizinan karena tidak adanya partisipasi bermakna. Ia menjelaskan bahwa partisipasi bermakna memiliki lima tingkatan simultan yang harus dilaksanakan, yaitu pemberian informasi; konsultasi; keterlibatan masyarakat terdampak; penyediaan ruang pendapat; serta pemberdayaan masyarakat lokal. Berdasarkan fakta yang ada, PT KEI tidak melaksanakan partisipasi publik secara nyata dan sesuai peraturan.
Luthfi menyoroti dampak sentralisasi perizinan pertambangan ke pemerintah pusat akibat disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Sentralisasi ini, menurutnya, melemahkan kontrol pemerintah daerah dan masyarakat lokal, membuat daerah hanya sebagai lokasi ekstraksi tanpa kekuatan untuk mengatur atau menolak proyek merugikan. Keputusan perizinan pusat sering tidak selaras dengan tata ruang dan aspirasi lokal, memicu konflik agraria dan lingkungan, serta mengaburkan akuntabilitas dampak negatif di tingkat lokal. Hal ini semakin memperparah ketimpangan dan belum terwujudnya keadilan fiskal daerah, terbukti dari data BPS Jawa Timur 2024 yang menunjukkan Kabupaten Sumenep menempati urutan kedua termiskin dengan angka 17.71%.
“Banyaknya pelanggaran dan ketidakpatuhan yang dilakukan oleh PT KEI dan pembiaran oleh negara, hal tersebut melanggar hak asasi manusia yaitu hak mendapatkan informasi, hak atas lingkungan yang sehat dan bersih serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang sudah dijamin oleh konstitusi.” jelas Luthfi diakhir diskusi.