Penulis : Mustofa Faqih. *

Daily Nusantara, Opini – Di era global yang kian terhubung dan sadar akan isu-isu sosial serta lingkungan, paradigma lama dalam dunia bisnis mulai bergeser. Anggapan bahwa satu-satunya tujuan perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan pemegang saham (shareholder primacy) kini semakin dipertanyakan. Gelombang kesadaran akan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), keberlanjutan (sustainability), dan etika bisnis (business ethics) memaksa perusahaan modern untuk menatap cakrawala yang lebih luas dalam merumuskan strategi mereka. Manajemen strategis kini dituntut untuk melampaui sekadar angka-angka finansial dan mulai mengintegrasikan dampak sosial dan lingkungan sebagai pilar utama dalam pengambilan keputusan.

Jasa Backlink

Gagasan shareholder primacy, yang dipopulerkan oleh ekonom Milton Friedman (1970), memang memiliki daya tarik logis dalam sistem kapitalisme. Namun, kritik terhadap pandangan ini semakin menguat seiring dengan meningkatnya kesadaran akan konsekuensi eksternal dari aktivitas bisnis. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab, ketidakadilan sosial dalam rantai pasok global, dan praktik bisnis yang tidak etis telah memicu seruan untuk perubahan fundamental dalam cara perusahaan beroperasi.

Konsep stakeholder theory, yang dikemukakan oleh Edward Freeman (1984), menawarkan perspektif alternatif yang lebih inklusif. Teori ini menyatakan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada pemegang saham, tetapi juga kepada berbagai pihak berkepentingan lainnya (stakeholders), termasuk karyawan, pelanggan, pemasok, komunitas lokal, dan bahkan lingkungan. Manajemen strategis yang efektif di era modern harus mampu menyeimbangkan kepentingan yang beragam ini untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang.

Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bukan lagi sekadar kegiatan filantropi di pinggiran bisnis. Ia telah bertransformasi menjadi elemen integral dalam strategi perusahaan. Perusahaan yang mengadopsi CSR secara sungguh-sungguh tidak hanya memberikan kontribusi positif kepada masyarakat melalui program-program pemberdayaan atau pelestarian lingkungan, tetapi juga membangun reputasi yang kuat, meningkatkan loyalitas pelanggan, dan menarik talenta terbaik (Porter & Kramer, 2006). Konsumen saat ini semakin cerdas dan cenderung memilih produk atau layanan dari perusahaan yang memiliki rekam jejak yang baik dalam hal tanggung jawab sosial.

Keberlanjutan menjadi imperatif lain yang tak terhindarkan. Krisis iklim, menipisnya sumber daya alam, dan masalah lingkungan lainnya menuntut perusahaan untuk mengadopsi praktik bisnis yang berkelanjutan. Ini bukan hanya soal kepatuhan terhadap regulasi lingkungan, tetapi juga tentang inovasi dalam penggunaan sumber daya yang lebih efisien, pengembangan produk dan layanan yang ramah lingkungan, serta pengurangan emisi karbon. Perusahaan yang mengabaikan keberlanjutan berisiko kehilangan daya saing di masa depan dan menghadapi tekanan yang semakin besar dari investor, regulator, dan masyarakat (Elkington, 1997).

Etika bisnis menjadi landasan moral yang mendasari seluruh aktivitas perusahaan. Praktik bisnis yang etis, yang menjunjung tinggi integritas, transparansi, dan keadilan, bukan hanya kewajiban moral tetapi juga prasyarat untuk membangun kepercayaan dengan semua pemangku kepentingan. Skandal-skandal bisnis yang melibatkan praktik tidak etis telah menunjukkan betapa mahalnya biaya yang harus ditanggung perusahaan dalam hal reputasi, kepercayaan konsumen, dan bahkan kelangsungan hidup.

Lalu, bagaimana perusahaan modern dapat mengintegrasikan isu-isu CSR, keberlanjutan, dan etika bisnis ke dalam manajemen strategis mereka? Langkah pertama adalah mengubah mindset kepemimpinan. Para pemimpin perusahaan perlu memiliki visi yang melampaui keuntungan jangka pendek dan menyadari bahwa keberhasilan sejati diukur tidak hanya dari neraca keuangan, tetapi juga dari dampak positif yang dihasilkan bagi masyarakat dan lingkungan.

Selanjutnya, perusahaan perlu menetapkan tujuan-tujuan yang terukur terkait dengan kinerja sosial dan lingkungan, selain tujuan keuangan. Kerangka kerja seperti Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menjadi panduan yang berguna dalam menetapkan prioritas dan mengukur kemajuan.

Integrasi ini juga memerlukan perubahan dalam proses pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, dan pelaporan kinerja. Perusahaan perlu mengembangkan metrik dan indikator kinerja kunci (KPI) yang mencakup aspek sosial dan lingkungan, serta melaporkan kinerja mereka secara transparan kepada semua pemangku kepentingan.

Walhasil, era shareholder primacy secara eksklusif semakin usang. Perusahaan modern dituntut untuk menjadi entitas yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan, yang berkontribusi positif bagi masyarakat luas. Manajemen strategis yang melampaui sekadar memaksimalkan keuntungan pemegang saham dan merangkul nilai-nilai keberlanjutan dan etika bisnis bukan hanya pilihan moral, tetapi juga keharusan strategis untuk mencapai kesuksesan jangka panjang di abad ke-21. Masa depan bisnis yang berkelanjutan dan bertanggung jawab ada di tangan para pemimpin yang berani mendefinisikan ulang arti kesuksesan.

* Mustofa Faqih, Mahasiswa Pascasarjana, MM UNISNU Jepara.