Penulis : Fuad Hilmi Sudasman (Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Manado)
Daily Nusantara, Opini – Banjir berkepanjangan yang melanda Tondano mulai awal 2025 bukanlah sekadar peristiwa alam. Ia merupakan gejala dari keretakan panjang antara manusia dan lingkungan, hasil dari akumulasi kelalaian dalam pengelolaan ekosistem dan pembangunan berkelanjutan. Saat air merendam lebih dari seribu rumah, ribuan jiwa mengungsi dan bukan menjadi kejutan, justru kita mendapati diri kita berada dalam arus bencana yang sudah lama ditunggu-tunggu.
Danau Tondano, yang dahulu menjadi penyeimbang ekologi dan penyimpan air raksasa, kini kehilangan fungsi alami itu. Menurut data Dinas PUPR Sulawesi Utara, hampir 67 ribu ton sedimen setiap tahun mengendap di dasar danau, menyebabkan pengurangannya menjadi hanya sekitar 10–13 meter, jauh di bawah kedalaman aslinya yang bisa mencapai 30 meter. Penyebabnya bukan hanya curah hujan tinggi, melainkan pula deforestasi besar-besaran di daerah hulu, konversi lahan yang tak terkendali, penggalian pasir ilegal serta penanganan sampah yang buruk, terutama dari plastik. Apalagi, eceng gondok tumbuh subur tanpa kendali, menutup jalur keluar air dan memperparah risiko limpasan saat hujan.
Ketika alam tak lagi mampu menahan airnya sendiri, air itulah yang kemudian menyerang pemukiman warga. Sistem sanitasi lumpuh; IPA mandiri ikut tercemar; warga terpaksa memakai air sungai atau genangan sebagai sumber minum dan mandi. Begitu kuman dan patogen lingkungan mendapat peluang, penyakit seperti diare, leptospirosis, hepatitis A, kolera, hingga infeksi kulit menjadi ancaman nyata, terutama bagi anak-anak, lansia, atau mereka dengan kondisi kesehatan lemah.
Dalam kerangka teori simpul Achmadi (2010), lingkungan hidup yang terganggu tergantung pada keseimbangan simpul-simpul lainnya, dan juga terkait pada simpul suprasistem seperti pelayanan kesehatan, perilaku hidup bersih, dan nutrisi masyarakat. Ketika simpul salah satu simpul terdapat masalah atau tidak seimbang, kerusakan satu poros akan membuat yang lain runtuh pula. Ini terjadi di Tondano sekarang, sanitasi rusak, akses air bersih macet, perilaku hidup bersih pun sulit ditegakkan, dan sistem kesehatan kewalahan.
Lebih jauh lagi, dampak kesehatan pascabanjir tidak hanya bersifat instan. Kurangnya akses terhadap air bersih menimbulkan risiko jangka panjang: bayi yang seharusnya mendapatkan ASI eksklusif terganggu gizinya, ibu hamil tidak mendapat layanan antenatal lengkap, anak-anak kehilangan imunisasi dasar. Lingkungan basah dan lembap juga menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes yang menyebarkan demam berdarah dan malaria.
Di tengah situasi ini, perubahan iklim global memperkuat seluruh tekanan tersebut. Menurut IPCC (2022), Asia Tenggara termasuk di dalamnya Sulawesi Utara diperkirakan akan merasakan hujan ekstrem yang lebih sering dan musim hujan yang berlangsung lebih lama. BMKG (2025) juga mencatat bahwa fenomena Madden–Julian Oscillation memperbesar intensitas curah hujan di wilayah pegunungan. Artinya, genangan di sembarang daerah, bahkan yang tidak biasa banjir, akan menjadi lebih mungkin dan saat air datang, ia akan membawa penyakit dan kerusakan berlapis.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertama, hulu dan danau harus direhabilitasi secara ekosistem terpadu. Reboisasi tanaman asli dan pengembalian fungsi alami hutan tangkapan air harus menjadi prioritas. Check dam dan perangkap sedimen adalah alat teknis yang efektif menahan lumpur sebelum mencapai danau. Sedangkan eceng gondok bisa diubah jadi peluang ekonomi seperti bahan kompos atau energi alternatif agar sekaligus mengurangi populasinya.
Kedua, daerah sempadan danau harus ditata ulang. Pemukiman dan bangunan pendukung harus dikendalikan atau direlokasi dari zona risiko, sehingga air banji rom tidak langsung mengenai rumah dan fasilitas masyarakat. Zoning ini perlu dilakukan dengan pendekatan berorientasi masyarakat, bukan hanya oleh pemerintah.
Ketiga, sistem sanitasi tahan banjir harus segera dibangun misalnya biopori, septik berketinggian, atau tangki resapan. Air bersih harus tersedia meski listrik padam atau pompa mati; penyaringan portable dan distribusi air satu liter per warga bisa mencegah infeksi tersebar. Edukasi hidup bersih seperti mencuci tangan, mengolah makanan, dan menjaga kebersihan lingkungan harus digencarkan di posko pengungsian.
Keempat, layanan kesehatan publik harus siap tanggap bencana melalui sistem mobil dan ambulans ekstra. Puskesmas perlu memperluas layanan imunisasi, check-up gizi, dan pemeriksaan ibu hamil, semua terpadu dengan data iklim dan peringatan dini banjir. Jika jalur air menghilang, maka jalur layanan kesehatan tidak boleh ikut putus.
Pemerintah sudah menyiapkan dana senilai Rp2,3 miliar untuk logistik tanggap bencana namun dana sebesar itu lebih berarti jika diiringi investasi jangka panjang. Bukan sekadar membenahi saluran air atau membeli ambulans, melainkan memastikan danau sebagai jantung kehidupan masyarakat tetap sehat, lestari, dan berfungsi sebagai penahan banjir alami.
Banjir Tondano 2025 tidak hanya gua air yang merendam tanah, tetapi juga panggilan keras kepada seluruh masyarakat dan pemimpin: apakah kita rela mewariskan ekosistem yang rapuh dan generasi yang rentan? Atau, inilah momentum untuk membangun kembali dengan dasar lingkungan yang tangguh, sistem kesehatan yang adaptif, dan komunitas yang saling menjaga?
Jika kita mengabaikan panggilan ini, maka cerita Tondano akan terus terulang dan generasi mendatang akan mengatakan: “Mengapa kita tak segera bertindak saat air pertama datang?”