Penulis : Norbertinee Avramhani Linuxcya Widiarini
Daily Nusantara, Kolom – Artificial Intelligence (AI) merevolusi berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk bidang kesehatan mental, di mana teknologi ini menawarkan solusi inovatif untuk mendeteksi, mengobati, dan mencegah gangguan jiwa. Sebagai alat yang mampu menganalisis data besar dengan cepat dan akurat, AI memungkinkan intervensi yang lebih personal dan skalabel, terutama di era di mana akses terhadap layanan kesehatan mental masih terbatas bagi banyak orang. Namun, pengaruh AI tidak selalu positif; ia juga membawa risiko seperti peningkatan stigma, ketergantungan berlebih, dan masalah privasi data. Opini saya adalah bahwa AI harus diintegrasikan secara hati-hati ke dalam sistem kesehatan mental, dengan penekanan pada regulasi etis dan kolaborasi antara teknologi dan tenaga profesional manusia, agar manfaatnya dapat dimaksimalkan sambil meminimalkan dampak negatif. Pendapat ini didasarkan pada data dan fakta dari penelitian terbaru tahun 2024-2025, yang menunjukkan bagaimana AI tidak hanya meningkatkan efisiensi layanan tetapi juga menimbulkan tantangan baru dalam masyarakat digital.
AI secara aktif mendukung deteksi dini gangguan kesehatan mental melalui analisis data perilaku dan pola komunikasi. Misalnya, algoritma machine learning dapat memprediksi kondisi seperti depresi, kecemasan, atau gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dengan akurasi tinggi berdasarkan data dari media sosial, wearable devices, atau rekam medis. Penelitian menunjukkan bahwa AI meningkatkan kapasitas diagnostik dengan mengintegrasikan data epigenetik dan biomarker, sehingga memungkinkan intervensi sebelum gejala memburuk. Hal ini sangat relevan di negara berkembang seperti Indonesia, di mana kurangnya tenaga psikolog profesional menyebabkan jutaan orang tidak mendapatkan bantuan tepat waktu. Data dari studi tahun 2025 mengindikasikan bahwa AI chatbot seperti Therapily membantu individu mengelola stres sehari-hari melalui sesi konseling virtual yang tersedia 24/7, sehingga meningkatkan aksesibilitas layanan. Selain itu, AI memfasilitasi pendidikan kesehatan mental bagi remaja, dengan aplikasi berbasis AI yang memberikan edukasi dan konseling, yang terbukti meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma di kalangan generasi muda. Fakta ini menegaskan bahwa AI tidak hanya sebagai alat pendukung, tetapi juga sebagai katalisator perubahan sosial yang positif.
Lebih lanjut, AI aktif berkontribusi dalam pengobatan kesehatan mental dengan menyediakan terapi personalisasi. Algoritma AI dapat menyesuaikan rencana pengobatan berdasarkan respons pasien secara real-time, seperti dalam virtual reality therapy untuk mengatasi fobia atau PTSD. Penelitian terbaru menemukan bahwa integrasi AI dalam terapi kognitif-perilaku (CBT) meningkatkan efektivitas pengobatan hingga 30%, terutama untuk pasien di daerah terpencil yang sulit mengakses psikoterapis. Di Indonesia, penelitian menunjukkan bahwa penggunaan AI dalam deteksi dini gangguan mental pada generasi Z melalui analisis teks dan suara telah membantu mengidentifikasi risiko depresi dengan tingkat akurasi 85%. Data faktual ini didukung oleh temuan bahwa AI chatbot seperti Woebot atau Replika telah membantu jutaan pengguna mengelola kecemasan, dengan survei menunjukkan penurunan gejala hingga 25% setelah penggunaan rutin. Opini saya di sini adalah bahwa AI membuka pintu bagi inklusivitas, di mana orang-orang dari latar belakang ekonomi rendah dapat memperoleh bantuan tanpa biaya tinggi, sehingga mengurangi kesenjangan kesehatan mental global.
Namun, pengaruh AI dalam kesehatan mental juga mencakup aspek negatif yang tidak boleh diabaikan, karena teknologi ini dapat memperburuk kondisi jiwa jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu risiko utama adalah technostress, di mana penggunaan AI yang berlebihan menyebabkan ketegangan psikologis dan ketidakstabilan emosional. Studi tahun 2025 menemukan bahwa paparan konstan terhadap AI tools berkorelasi dengan peningkatan tingkat stres, terutama di kalangan pekerja yang bergantung pada otomatisasi. Di sisi lain, AI chatbot untuk terapi sering kali kurang efektif dibandingkan terapis manusia, dan bahkan dapat memperkuat stigma dengan memberikan respons yang bias atau tidak empati. Fakta ini didukung oleh penelitian Stanford yang mengungkap bahwa AI dapat memperkenalkan bias dan kegagalan yang berbahaya, seperti dalam kasus di mana chatbot mendorong perilaku destruktif pada remaja. Di Indonesia, dampak negatif terlihat pada mahasiswa yang menggunakan AI untuk tugas akademik, di mana ketergantungan ini menimbulkan kecemasan dan penurunan interaksi sosial, sehingga memengaruhi kesehatan mental secara keseluruhan. Selain itu, isu privasi data menjadi perhatian besar, karena AI mengumpulkan informasi sensitif tentang kondisi mental pengguna, yang berpotensi disalahgunakan jika tidak ada regulasi ketat. Opini saya adalah bahwa tanpa pengawasan, AI justru menjadi ancaman bagi kesejahteraan jiwa, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan remaja.
Pengaruh AI juga terlihat dalam konteks pendidikan dan pekerjaan, di mana teknologi ini memengaruhi self-efficacy dan burnout. Penelitian menunjukkan bahwa adopsi AI di tempat kerja meningkatkan stres pekerjaan, yang berkontribusi pada burnout dan penurunan motivasi. Namun, di sisi positif, AI dapat digunakan untuk memantau kesejahteraan karyawan melalui analisis data, sehingga mencegah masalah mental sebelum menjadi parah. Data dari survei tahun 2025 mengindikasikan bahwa 70% profesional kesehatan mental percaya AI akan meningkatkan diagnosis, tetapi 60% khawatir tentang risiko misdiagnosis. Di Indonesia, kemajuan AI dalam mendukung kesehatan mental remaja melalui aplikasi edukasi telah menunjukkan peningkatan aksesibilitas, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang ketergantungan yang mengurangi interaksi manusiawi. Fakta ini menekankan perlunya pendekatan holistik, di mana AI melengkapi, bukan menggantikan, peran manusia.
Dalam opini saya, pengaruh AI terhadap kesehatan mental harus dilihat sebagai pedang bermata dua yang memerlukan keseimbangan antara inovasi dan etika. Penelitian terbaru menyoroti potensi AI untuk merevolusi perawatan mental melalui deteksi dini dan intervensi skalabel, tetapi juga memperingatkan tentang dampak negatif seperti peningkatan stigma dan technostress. Untuk memaksimalkan manfaat, pemerintah dan perusahaan teknologi harus menerapkan regulasi yang ketat, seperti yang dilakukan oleh FTC di Amerika Serikat yang menyelidiki dampak chatbot AI pada kesehatan mental anak. Di Indonesia, inisiatif seperti penggunaan AI untuk literasi digital dan kesehatan mental pelajar perlu diperkuat dengan panduan etis untuk menghindari dampak negatif. Saya berpendapat bahwa kolaborasi antara psikolog, pengembang AI, dan pemangku kebijakan adalah kunci untuk menciptakan ekosistem yang aman. Misalnya, integrasi parental controls dalam chatbot seperti ChatGPT dapat mengurangi risiko pada remaja, sebagaimana diusulkan OpenAI baru-baru ini. Data menunjukkan bahwa dengan pendekatan ini, AI dapat mengurangi beban sistem kesehatan mental yang overload, di mana lebih dari 970 juta orang di dunia menderita gangguan jiwa.
Selain itu, AI aktif memengaruhi penelitian kesehatan mental dengan menyediakan alat analisis data yang canggih. Studi tahun 2025 menunjukkan bahwa AI meningkatkan presisi riset neurosains, sehingga mempercepat penemuan obat dan terapi baru. Namun, tantangan etis seperti bias algoritma harus diatasi, karena AI yang dilatih pada data tidak beragam dapat memperburuk ketidakadilan dalam perawatan mental. Opini saya adalah bahwa investasi dalam AI yang inklusif, seperti yang dilakukan di bidang pendidikan psikologi, akan membawa dampak jangka panjang yang positif. Di Indonesia, penelitian tentang dampak AI pada psikologis manusia menunjukkan peningkatan kepuasan hidup melalui terapi virtual, tetapi juga risiko seperti penurunan kemampuan berpikir kritis. Fakta ini mendukung argumen bahwa AI harus dikembangkan dengan prinsip human-centered design.
Pengaruh AI juga terlihat dalam konteks sosial, di mana teknologi ini dapat mengurangi kesepian melalui companion bots, tetapi juga meningkatkan isolasi jika menggantikan interaksi manusia. Penelitian menemukan bahwa penggunaan AI chatbot untuk dukungan emosional membantu mengatasi kesepian pada lansia, dengan penurunan gejala depresi hingga 20%. Namun, kasus tragis seperti bunuh diri remaja yang dipengaruhi AI menekankan perlunya intervensi segera. Saya beropini bahwa pendidikan masyarakat tentang penggunaan AI yang bijak adalah esensial, terutama di era di mana teknologi digital memengaruhi kesehatan mental pelajar. Data dari survei global tahun 2025 menunjukkan bahwa 80% pengguna AI merasa lebih baik secara mental setelah interaksi positif, tetapi 40% mengalami ketergantungan.
Kesimpulannya, AI secara aktif membentuk lanskap kesehatan mental dengan menawarkan peluang inovatif sekaligus risiko yang signifikan. Berdasarkan data faktual dari penelitian terbaru, pengaruh positif seperti deteksi dini dan terapi personalisasi harus diimbangi dengan mitigasi dampak negatif melalui regulasi dan etika. Opini saya adalah bahwa AI akan menjadi sekutu kuat dalam perjuangan melawan gangguan mental jika kita prioritaskan kemanusiaan di atas teknologi. Dengan demikian, masa depan kesehatan mental yang lebih baik tergantung pada bagaimana kita mengelola pengaruh AI ini secara proaktif.
Daftar Pustaka
Olawade, D. B., Wada, O. Z., Odetayo, A., David-Olawade, A. C., Asaolu, F., & Eberhardt, J. (2024). Enhancing mental health with Artificial Intelligence: Current trends and future prospects. Journal of medicine, surgery, and public health, 3, 100099. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2949916X24000525
Sarah Wells. (2025). Exploring the Dangers of AI in Mental Health Care. https://hai.stanford.edu/news/exploring-the-dangers-of-ai-in-mental-health-care
Lițan, D. E. (2025). Mental health in the “era” of artificial intelligence: technostress and the perceived impact on anxiety and depressive disorders—an SEM analysis. Frontiers in Psychology, 16, 1600013. https://www.frontiersin.org/journals/psychology/articles/10.3389/fpsyg.2025.1600013/full
Ni, Y., & Jia, F. (2025, May). A scoping review of AI-Driven digital interventions in mental health care: mapping applications across screening, support, monitoring, prevention, and clinical education. In Healthcare (Vol. 13, No. 10, p. 1205). MDPI. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12110772/
Abrams, Z. (2025). Artificial intelligence is impacting the field. As AI transforms our world, psychologists are working to channel its power and limit its harm. Monitor on Psychology, 56(1), 46. https://www.apa.org/monitor/2025/01/trends-harnessing-power-of-artificial-intelligence
Dewi, B. N. I., Achmad, M., Assyfa, N., Sanggara, R. D., Julliyana, R., Farhan, S. R., & Sukaesih, N. S. (2025). Chatbot dalam Deteksi Kesehatan Mental: Tinjauan Literatur. TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 6(1), 128-135. https://ejournal.unuja.ac.id/index.php/trilogi/article/download/10888/pdf
Petersson, L., Ahlborg, M. G., & Häggström Westberg, K. (2025). “I Believe That AI Will Recognize the Problem Before It Happens”: Qualitative Study Exploring Young Adults’ Perceptions of AI in Mental Health Care. JMIR Mental Health, 12, e76973. https://mental.jmir.org/2025/1/e76973
Dehbozorgi, R., Zangeneh, S., Khooshab, E., Nia, D. H., Hanif, H. R., Samian, P., … & Lohrasebi, F. (2025). The application of artificial intelligence in the field of mental health: a systematic review. BMC psychiatry, 25(1), 132. https://bmcpsychiatry.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12888-025-06483-2
Bonesteel, K. R., Bires, J., Pillay, S. S., & Naidoo, U. (2025). The Impact of Artificial Intelligence on Neuroscience and Mental Health: A Perspective Review. AI in Neuroscience, 1(2), 95-102. https://www.liebertpub.com/doi/10.1089/ains.2024.0005
Poudel, U., Jakhar, S., Mohan, P., & Nepal, A. (2025). AI in Mental Health: A Review of Technological Advancements and Ethical Issues in Psychiatry. Issues in mental health nursing, 1-9. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01612840.2025.2502943
Torous, J., Linardon, J., Goldberg, S. B., Sun, S., Bell, I., Nicholas, J., … & Firth, J. (2025). The evolving field of digital mental health: current evidence and implementation issues for smartphone apps, generative artificial intelligence, and virtual reality. World Psychiatry, 24(2), 156-174. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12079407/
Gumelar, G. (2023). Catatan Editor: Menavigasi Tantangan dan Menciptakan Peluang, Peran Vital Ilmu Psikologi di Era Kecerdasan Buatan. JPPP – Jurnal Penelitian Dan Pengukuran Psikologi, 12(1), 1–4. https://doi.org/10.21009/jppp.121.01
Wijaya, C. (2025). Pemanfaatan Kecerdasan Buatan Dalam Aplikasi Moderated Online Social Therapy Untuk Pemulihan Kesehatan Mental Remaja. Jurnal Empati, 13(6), 509-517. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/article/view/47877/0