Pajak tinggi sering kali dikaitkan dengan beban finansial yang berat, namun di negara-negara Nordik seperti Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia, sistem pajak ini justru menjadi fondasi dari kehidupan masyarakat yang stabil dan sejahtera. Di sana, warga tidak hanya membayar pajak dengan rela, tetapi juga merasa bahwa uang mereka digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Layanan publik yang gratis dan berkualitas, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi umum, serta fasilitas sosial lainnya, menjadi bukti nyata bahwa pajak tinggi bisa memberi manfaat besar jika dikelola dengan baik. Namun, apakah model ini bisa diterapkan di Indonesia? Pertanyaan ini menjadi topik hangat dalam diskusi tentang reformasi pajak di tanah air.
Di tengah isu kenaikan pajak yang sedang ramai dibicarakan, banyak orang mulai membandingkan sistem pajak Indonesia dengan negara-negara Nordik. Mereka bertanya-tanya apakah Indonesia bisa mengadopsi model yang sama, meskipun secara ekonomi dan struktur pemerintahan jauh berbeda. Di negara Nordik, pajak tinggi diimbangi dengan layanan publik yang sangat baik, sehingga warga merasa bahwa pajak yang mereka bayarkan benar-benar bermanfaat. Di Indonesia, sebaliknya, banyak yang masih skeptis karena pengelolaan pajak dinilai belum transparan dan layanan publik belum sepenuhnya memadai. Masalah korupsi, birokrasi yang lambat, serta kurangnya akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan menjadi tantangan utama yang harus diatasi sebelum sistem pajak semacam itu bisa diterapkan.
Selain itu, perbedaan pendapatan antara masyarakat Indonesia dan negara-negara Nordik juga menjadi faktor penting. Pendapatan per kapita di negara-negara Nordik jauh lebih tinggi, sehingga warga mereka dapat lebih mudah menanggung beban pajak yang tinggi. Sementara itu, di Indonesia, pendapatan rata-rata masih relatif rendah, membuat kenaikan pajak menjadi ancaman bagi kestabilan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, sebelum mempertimbangkan sistem pajak yang mirip dengan negara Nordik, pemerintah perlu memastikan bahwa peningkatan pajak disertai dengan peningkatan kualitas layanan publik dan peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan begitu, pajak tinggi tidak akan menjadi beban tambahan, tetapi justru menjadi investasi untuk masa depan yang lebih baik.
Mengapa Sistem Pajak Nordik Tidak Cocok di Indonesia?
1. Kepercayaan Publik yang Rendah
Warga negara Nordik memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah, karena mereka yakin uang pajak yang mereka bayarkan digunakan dengan baik. Di Indonesia, situasinya berbeda. Korupsi masih menjadi masalah besar, dan banyak warga tidak percaya bahwa pajak mereka benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Data dari Transparency International menunjukkan bahwa pada tahun 2023, Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI), dengan skor 34. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Nordik seperti Denmark yang mencapai skor 90. Keterbukaan dan transparansi pengelolaan pajak menjadi hal yang masih perlu diperbaiki agar masyarakat bisa lebih percaya dan bersedia membayar pajak yang lebih tinggi.
2. Layanan Publik yang Belum Memadai
Layanan publik di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak masyarakat mengeluhkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang tidak memadai. Di bidang kesehatan, misalnya, layanan rumah sakit pemerintah seringkali penuh dan kurang memadai, sehingga banyak orang terpaksa menggunakan layanan swasta yang mahal. Di sekolah negeri, kualitas pendidikan sering dipertanyakan, dan guru honorer—yang menjadi tulang punggung pendidikan di banyak daerah—sering hanya digaji Rp300.000 per bulan. Berbeda dengan negara Nordik, di mana pendidikan hingga perguruan tinggi gratis dan guru digaji dengan layak. Jika pajak naik, masyarakat ingin melihat perbaikan nyata dalam layanan publik, bukan hanya kenaikan pajak tanpa manfaat yang terlihat.
3. Perbedaan Pendapatan yang Signifikan
Salah satu alasan utama warga negara Nordik menerima pajak tinggi adalah karena pendapatan mereka juga relatif tinggi. Data dari World Bank menunjukkan bahwa GDP per kapita di Denmark mencapai sekitar $67.790 (Rp1 miliar) pada 2023, sementara di Indonesia, pendapatan per kapita pada tahun 2022 hanya sekitar $4.940 (Rp78 juta). Artinya, pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia jauh lebih rendah. Jika pajak dinaikkan tanpa disertai peningkatan pendapatan atau subsidi untuk kebutuhan penting, dampaknya bisa memberatkan banyak orang—bahkan membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, atau makan sehari-hari. Untuk menerapkan sistem pajak Nordik, pemerintah perlu memastikan bahwa pendapatan masyarakat meningkat, atau setidaknya ada mekanisme subsidi yang cukup untuk melindungi lapisan masyarakat rentan.
4. Birokrasi dan Pengawasan yang Masih Lemah
Negara-negara Nordik dikenal dengan sistem yang efisien dan pengawasan ketat, sehingga uang pajak benar-benar sampai ke rakyat. Di Indonesia, birokrasi seringkali lambat dan tidak transparan, sehingga uang pajak sering kali tidak tersalurkan dengan optimal. Selain itu, pengawasan terhadap anggaran dan proyek pemerintah masih kurang ketat, menyebabkan potensi penyalahgunaan dana. Untuk menerapkan sistem pajak Nordik, pemerintah perlu memperbaiki birokrasi dan meningkatkan pengawasan agar uang pajak benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Langkah yang Bisa Dilakukan Pemerintah
1. Transparansi dalam Pengelolaan Pajak
Pemerintah perlu membangun kepercayaan dengan menjelaskan secara jelas bagaimana uang pajak digunakan. Laporan rutin tentang proyek pembangunan atau layanan yang dibiayai dari pajak bisa dibuat dan dipublikasikan secara terbuka. Misalnya, tunjukkan anggaran untuk jalan raya, sekolah, atau rumah sakit baru. Dengan transparansi yang tinggi, masyarakat akan lebih percaya bahwa pajak mereka benar-benar digunakan untuk kepentingan umum.
2. Perbaikan Layanan Publik
Pajak harus “berasa” manfaatnya. Pemerintah perlu meningkatkan kualitas layanan publik seperti transportasi umum yang nyaman, pendidikan yang terjangkau, dan layanan kesehatan yang bisa diakses semua orang. Jika masyarakat merasakan manfaat langsung, mereka pasti lebih rela membayar pajak.
3. Berantas Korupsi
Korupsi adalah salah satu alasan utama mengapa banyak orang tidak percaya uang pajak dikelola dengan baik. Pemerintah perlu lebih serius memberantas korupsi dan memastikan pengawasan ketat terhadap anggaran. Dengan mengurangi korupsi, uang pajak akan lebih efektif digunakan untuk membangun negara.
4. Penyesuaian Bertahap
Jangan buru-buru. Jika memang harus naik, lakukan pelan-pelan sambil memastikan kualitas layanan publik juga ikut naik. Dengan begitu, masyarakat tidak merasa terbebani secara tiba-tiba.
Peran Masyarakat dalam Menjaga Kepercayaan
1. Gunakan Media Sosial dengan Bijak
Media sosial bukan hanya tempat curhat, tapi juga alat untuk menyuarakan pendapat. Kritik dan saran soal pajak bisa kita sampaikan di sana, atau bahkan lewat platform seperti change.org untuk menggalang dukungan.
2. Belajar Tentang Pajak
Cari tahu, apa saja hak dan kewajiban kita sebagai pembayar pajak? Pahami ke mana pajak seharusnya digunakan, biar kita bisa ikut mengawasi dan memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat.
3. Laporkan Kalau Ada yang Mencurigakan
Kalau melihat ada indikasi korupsi atau penyalahgunaan anggaran, jangan ragu untuk melaporkannya ke lembaga resmi seperti KPK. Semakin banyak yang peduli, semakin sulit bagi mereka yang berniat curang untuk lolos.
Dengan langkah-langkah ini, kita bisa ikut menjaga agar pajak yang kita bayarkan benar-benar memberi dampak positif. Pajak ala Nordik memang terlihat ideal—layanan publik berkualitas tinggi dengan masyarakat yang rela membayar pajak besar. Tapi, untuk mencapai itu, ada syarat penting: pemerintah harus transparan, masyarakat harus percaya, dan layanan publik harus benar-benar dirasakan manfaatnya. Di Indonesia, tantangannya adalah benerin dasar-dasar ini terlebih dahulu. Kritik terhadap kenaikan PPN jadi 12% adalah tanda bahwa masyarakat ingin lebih banyak bukti nyata soal pengelolaan pajak. Kalau pemerintah bisa memenuhi ekspektasi ini, mungkin masyarakat akan lebih terbuka untuk mendukung pajak yang lebih tinggi.