Dalam dunia hukum, istilah “perikatan” dan “perjanjian” seringkali digunakan secara bergantian, meski sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Pemahaman yang jelas tentang perbedaan keduanya sangat penting, terutama bagi pengusaha, pekerja, maupun individu yang terlibat dalam hubungan hukum. Perikatan dan perjanjian memiliki dasar hukum yang berbeda, serta implikasi yang berbeda pula dalam kehidupan nyata. Artikel ini akan membahas secara mendalam perbedaan antara perikatan dan perjanjian berdasarkan ketentuan hukum Indonesia, seperti Buku Ketiga KUH Perdata, serta menggabungkan informasi dari sumber terpercaya untuk memberikan gambaran yang lebih utuh.
Perikatan merujuk pada hubungan hukum yang terbentuk antara dua pihak atau lebih, di mana satu pihak memiliki hak untuk menuntut sesuatu dari pihak lainnya, sementara pihak lainnya memiliki kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Definisi ini diberikan oleh Prof Subekti dalam bukunya, yang menjelaskan bahwa perikatan mencakup berbagai bentuk hubungan hukum, termasuk yang berasal dari undang-undang, perjanjian, atau tindakan hukum lainnya. Sementara itu, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan tujuan mengikat dirinya terhadap satu orang lainnya. Dalam hal ini, perjanjian menjadi salah satu sumber perikatan, tetapi tidak semua perikatan lahir dari perjanjian.
Pemahaman yang tepat tentang perbedaan ini sangat penting karena bisa memengaruhi cara para pihak bertindak, menegakkan hak, dan melaksanakan kewajiban. Dalam praktiknya, perikatan bisa muncul tanpa adanya perjanjian, misalnya melalui ketentuan undang-undang atau tindakan hukum tertentu. Sedangkan perjanjian harus didasari kesepakatan bersama antara pihak-pihak yang terlibat. Selain itu, perjanjian juga memiliki asas kebebasan berkontrak, sehingga para pihak bebas menentukan isi dan syarat-syaratnya selama tidak bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan itikad baik.
Perbedaan Mendasar Antara Perikatan dan Perjanjian
Perikatan dan perjanjian memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa aspek, termasuk sumbernya, cakupannya, dan mekanisme pembentukannya. Pertama, perikatan dapat muncul dari berbagai sumber, seperti perjanjian, undang-undang, atau tindakan hukum lainnya. Misalnya, jika seseorang melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain, maka timbulnya perikatan dapat terjadi tanpa adanya perjanjian. Di sisi lain, perjanjian hanya terbentuk melalui kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat.
Kedua, perikatan memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan perjanjian. Perikatan mencakup berbagai jenis hubungan hukum, termasuk yang tidak terbatas pada perjanjian. Contohnya, perikatan bisa terbentuk melalui hukum positif, seperti dalam kasus pelanggaran hukum atau tindakan yang melanggar aturan. Sementara itu, perjanjian hanya terbentuk ketika kedua belah pihak sepakat untuk mengikat diri terhadap suatu objek atau kegiatan tertentu.
Ketiga, perikatan bisa terbentuk tanpa adanya persetujuan atau kehendak bersama dari pihak-pihak yang terlibat. Misalnya, jika suatu undang-undang menetapkan kewajiban tertentu bagi warga negara, maka perikatan tersebut akan terbentuk tanpa memerlukan persetujuan dari pihak-pihak tersebut. Namun, dalam perjanjian, kehendak dan kesepakatan antara pihak-pihak adalah prasyarat mutlak. Tanpa adanya kesepakatan, perjanjian tidak dapat dibuat.
Peran Undang-Undang dalam Perikatan
Undang-undang memainkan peran penting dalam pembentukan perikatan. Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Namun, perikatan juga bisa muncul dari ketentuan undang-undang, seperti dalam kasus pelanggaran hukum atau tindakan yang melanggar aturan. Dalam hal ini, perikatan tidak memerlukan persetujuan dari pihak-pihak yang terlibat, karena sumbernya berasal dari ketentuan hukum.
Contoh nyata dari perikatan yang berasal dari undang-undang adalah dalam kasus kerugian akibat tindakan melanggar hukum. Jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan pihak lain, maka pihak yang dirugikan memiliki hak untuk menuntut ganti rugi, bahkan tanpa adanya perjanjian antara keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa perikatan bisa terbentuk tanpa adanya perjanjian, tetapi tetap memiliki dampak hukum yang sama.
Selain itu, dalam perikatan yang berasal dari undang-undang, para pihak tidak perlu saling setuju untuk terikat. Kewajiban atau hak yang tercantum dalam undang-undang langsung berlaku bagi pihak-pihak yang terkena dampaknya. Hal ini berbeda dengan perjanjian, di mana kesepakatan antara pihak-pihak adalah prasyarat utama.
Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat dianggap sah dan berlaku sebagai perikatan. Salah satu syarat utamanya adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pihak-pihak yang terlibat. Kesepakatan ini harus dilakukan dengan kemauan dan kehendak yang jelas, serta tanpa ada tekanan atau paksaan. Dalam hal ini, perjanjian harus dibuat dengan itikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum.
Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang yang dapat diperdagangkan atau barang tertentu yang dapat menjadi pokok perjanjian. Hal ini berarti bahwa perjanjian tidak dapat dibuat untuk hal-hal yang tidak memiliki nilai ekonomi atau objek yang tidak jelas. Namun, dalam perikatan, tidak ada batasan semacam ini, karena perikatan bisa terbentuk untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau bahkan tidak melakukan sesuatu.
Selain itu, dalam perjanjian, para pihak bebas menentukan isi dan syarat-syaratnya, selama tidak bertentangan dengan hukum. Dalam perikatan, syarat-syaratnya lebih ditentukan oleh ketentuan undang-undang, karena sumbernya berasal dari hukum positif. Oleh karena itu, dalam perikatan, para pihak tidak memiliki kebebasan untuk menentukan isi perikatan, karena perikatan sudah diatur oleh undang-undang.
Penggunaan Perikatan dalam Praktik Hukum
Dalam praktik hukum, perikatan sering kali digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum, seperti ganti rugi, kewajiban hukum, atau tuntutan hukum. Contohnya, dalam kasus kerugian akibat pelanggaran hukum, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi melalui perikatan yang berasal dari undang-undang. Dalam hal ini, perikatan tidak memerlukan persetujuan dari pihak yang bertanggung jawab, karena sumbernya berasal dari ketentuan hukum.
Di sisi lain, perjanjian digunakan dalam berbagai situasi, seperti kontrak kerja, perjanjian jual beli, atau perjanjian sewa. Dalam perjanjian, para pihak sepakat untuk mengikat diri terhadap suatu objek atau kegiatan tertentu. Misalnya, dalam kontrak kerja, pihak penempat kerja dan pekerja sepakat untuk menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam hal ini, perjanjian menjadi sumber perikatan yang sah dan berlaku.
Pentingnya Pemahaman Perbedaan Perikatan dan Perjanjian
Pemahaman yang jelas tentang perbedaan antara perikatan dan perjanjian sangat penting, terutama bagi pengusaha dan individu yang terlibat dalam hubungan hukum. Dengan pemahaman ini, mereka dapat memilih metode yang paling sesuai untuk menegakkan hak atau melaksanakan kewajiban. Misalnya, jika seseorang ingin menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami, ia perlu memahami apakah perikatan yang terbentuk berasal dari undang-undang atau perjanjian. Hal ini akan memengaruhi langkah-langkah hukum yang harus diambil.
Selain itu, pemahaman ini juga membantu dalam membuat perjanjian yang sah dan efektif. Dengan mengetahui syarat-syarat perjanjian yang sah, pihak-pihak dapat membuat perjanjian yang sesuai dengan kebutuhan dan tidak bertentangan dengan hukum. Dalam hal ini, perjanjian menjadi alat yang efektif untuk mengatur hubungan antara pihak-pihak yang terlibat.
Kesimpulan
Perikatan dan perjanjian memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal sumber, cakupan, dan mekanisme pembentukannya. Perikatan bisa muncul dari berbagai sumber, termasuk undang-undang, sedangkan perjanjian hanya terbentuk melalui kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam praktik hukum, perikatan digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum, sementara perjanjian digunakan untuk mengatur hubungan antara pihak-pihak yang terlibat. Pemahaman yang jelas tentang perbedaan ini sangat penting, terutama bagi pengusaha dan individu yang terlibat dalam hubungan hukum. Dengan pemahaman ini, mereka dapat memilih metode yang paling sesuai untuk menegakkan hak atau melaksanakan kewajiban.