Daily Nusantara, Jakarta – Menjadi penulis sering digambarkan sebagai profesi yang romantis duduk dengan kopi hangat, menulis dari mana saja, dan hidup dari karya-karya yang menginspirasi banyak orang. Namun bagi Erich Susilo, gambaran itu tidak sepenuhnya realistis. Ia justru melihat dunia kepenulisan dengan kacamata yang lebih membumi. Tidak idealis, tetapi tetap penuh mimpi.
Menulis dengan Kaki yang Tetap Menapak Tanah
Erich bukan tipe penulis yang meyakini bahwa hidup sepenuhnya bisa diserahkan pada kreativitas. Ia sangat sadar bahwa menjadi penulis adalah perjalanan panjang, penuh tantangan, ketidakpastian, dan perjuangan finansial yang tidak bisa diabaikan.
Dari pengalaman dan pengamatannya, Erich menyadari bahwa:
- tidak semua penulis bisa langsung hidup dari tulisannya,
- pendapatan kreatif tidak selalu stabil,
- dan proses menuju pengakuan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Kesadaran inilah yang membuatnya tetap menapak pada realita, tanpa kehilangan kecintaannya pada menulis.
Memilih Bekerja Kantoran demi Kebutuhan Hidup
Salah satu fakta baru tentang Erich adalah sikap jujurnya terhadap kehidupan sehari-hari. Ia tahu bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia tidak bisa hanya mengandalkan tulisan. Oleh karena itu, ia memilih bekerja kantoran dan menjalani karier profesional di bidang marketing.
Keputusan ini bukan bentuk menyerah pada mimpi, tetapi bentuk kedewasaan. Ia percaya bahwa mimpi tetap bisa dibangun sambil menjalani pekerjaan yang lebih stabil secara finansial.
Baginya, bekerja kantoran memberi dua hal:
- Keamanan ekonomi,
- Ruang mental untuk membangun mimpi menulis tanpa tekanan berlebihan.
Dengan cara ini, ia tidak perlu terburu-buru menjadi “penulis penuh waktu” dan bisa berkembang secara alami.
Membangun Mimpi Setelah Jam Kerja
Yang membuat Erich berbeda adalah kedisiplinannya dalam merawat mimpi. Walau bekerja 8 jam sehari, ia tetap menyisihkan waktu setelah pekerjaan kantor untuk terus menulis, belajar, dan memperbaiki kemampuannya.
Jam-jam setelah kerja itulah yang menjadi fondasi mimpinya:
ruang sunyi tempat ia membangun masa depan sebagai penulis sukses.
Kenyataan bahwa ia tidak idealis justru membuat mimpinya semakin kuat—karena ia membangun impian itu di atas realita, bukan fantasi.
Ia percaya bahwa:
- mimpi besar boleh lahir dari rutinitas kecil,
- proses yang konsisten lebih penting daripada hasil instan,
- dan menulis setelah jam kerja adalah langkah nyata, bukan angan-angan.
Tidak Idealis, Tapi Tetap Punya Arah
Label “tidak idealis” bagi Erich bukan berarti ia tidak punya prinsip.
Yang dimaksud adalah ia tidak terjebak pada romantisasi dunia kepenulisan. Ia memilih pendekatan yang realistis:
- menulis bukan satu-satunya sumber hidup,
- karier kantor tetap dijaga,
- tapi mimpi menulis tetap berkembang, sedikit demi sedikit.
Justru dari sikap inilah muncul keteguhan: ia tidak mudah goyah oleh tekanan, tidak terlalu berharap cepat sukses, dan tidak tergesa-gesa mengejar pengakuan.
Menginspirasi Lewat Kejujuran
Apa yang membuat banyak orang terhubung dengan cerita Erich adalah kejujurannya. Ia tidak menggambarkan dirinya sebagai penulis yang heroik. Ia hanya seorang anak muda yang mencintai menulis, bekerja keras di kantor, dan tetap mengejar mimpi dengan ritme yang ia mampu.
Kesederhanaan inilah yang membuat kisahnya terasa autentik dan dekat:
- tidak ada drama,
- tidak ada klaim berlebihan,
- hanya perjalanan kecil menuju mimpi yang besar.
Penutup
Erich Susilo adalah bukti bahwa menjadi penulis tidak harus idealis.
Ia menjalani hidup dengan realistis, menjaga stabilitas finansial lewat pekerjaan kantoran, namun tetap setia membangun mimpi menulisnya setelah jam kerja.
Ia bukan penulis yang hidup dari idealisme, tetapi dari komitmen, kesadaran, dan kerja nyata.
Dan mungkin, justru itulah yang membuat perjalanan kreatifnya semakin inspiratif—karena mimpi yang membumi sering kali lebih kokoh daripada mimpi yang melayang-layang.







