Dalam dunia bisnis, khususnya di sektor makanan dan minuman, sertifikat halal menjadi salah satu aspek penting yang harus dipenuhi. Sertifikat ini tidak hanya memberikan kepercayaan kepada konsumen Muslim, tetapi juga menjadi syarat wajib bagi banyak perusahaan. Namun, terdapat beberapa produk yang meskipun tergolong halal, tidak dapat mendapatkan sertifikat karena alasan tertentu. Salah satunya adalah nama produk yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Contoh nyata dari kasus ini adalah Mie Gacoan, yang sempat viral karena tidak bisa mendapatkan sertifikat halal karena menggunakan nama menu yang dinilai tidak pantas.

Sertifikat halal merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Dokumen ini menyatakan bahwa suatu produk telah memenuhi syariat Islam baik dari segi bahan baku maupun proses produksinya. Dengan adanya sertifikat ini, produk tersebut dianggap aman untuk dikonsumsi oleh kalangan Muslim. Selain itu, sertifikat ini juga menjadi jaminan bahwa produk tidak mengandung bahan-bahan haram atau terlarang dalam agama Islam.

Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) telah menetapkan bahwa sejumlah produk harus memiliki sertifikat halal. Hal ini berlaku mulai tahun 2024, dengan tenggat waktu pengurusan sertifikat yang sudah ditentukan. Jika tidak memenuhi syarat, produsen akan dikenai sanksi administratif seperti denda, pencabutan sertifikat, atau penarikan barang dari peredaran. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu memperhatikan kriteria yang digunakan dalam pemberian sertifikat halal, termasuk dalam pemilihan nama produk.

Kriteria Nama Produk yang Tidak Bisa Mendapatkan Sertifikat Halal

Menurut Surat Keputusan LPPOM MUI No: SK46/Dir/LPPOM MUI/XII/14 dan Fatwa MUI No 11/2009, ada beberapa kriteria yang menjadikan suatu nama produk tidak layak mendapatkan sertifikat halal. Pertama, nama produk yang mengandung kata-kata yang berkaitan dengan alkohol, seperti “root beer”, “es krim rasa rhum raisin”, atau “bir 0% alkohol”. Meskipun kadar alkoholnya rendah, penggunaan istilah tersebut tetap dianggap tidak sesuai dengan prinsip kesucian dalam Islam.

Selanjutnya, nama produk yang mengandung istilah seperti babi atau anjing serta turunannya. Ini termasuk dalam kategori yang dianggap tidak pantas dan dapat merusak citra produk. Nama-nama yang mengandung kata setan atau makhluk lain yang berkaitan dengan kebatilan juga tidak diperbolehkan. MUI menilai bahwa penggunaan istilah-istilah semacam ini dapat menciptakan kesan negatif dan mengganggu keyakinan konsumen.

Selain itu, nama produk yang mengarah pada hal-hal yang menimbulkan kekufuran atau kebatilan juga tidak akan lolos pemeriksaan. Misalnya, istilah yang bersifat eksplisit atau mengandung unsur erotis, vulgar, atau porno. Penggunaan istilah seperti ini dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan dapat merusak reputasi merek.

Jasa Stiker Kaca

Contoh Kasus: Mie Gacoan dan Dampaknya

Salah satu contoh nyata dari kasus ini adalah Mie Gacoan, sebuah restoran yang sempat viral karena tidak bisa mendapatkan sertifikat halal. Alasan utamanya adalah karena beberapa menu makanan dan minumannya menggunakan nama yang dinilai tidak pantas, seperti nama setan. Meskipun produk tersebut tergolong halal, penggunaan nama yang tidak sesuai dengan kriteria LPPOM MUI membuat sertifikat tidak dapat diberikan.

Jasa Backlink

Akibatnya, Mie Gacoan akhirnya melakukan perubahan nama menu agar bisa memenuhi persyaratan sertifikat halal. Perubahan ini dilakukan untuk tetap menjaga kepercayaan konsumen dan memenuhi regulasi yang berlaku. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya pemilihan nama produk yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Langkah yang Harus Diambil Pelaku Usaha

Bagi pelaku usaha yang masih menggunakan nama produk yang tidak sesuai dengan kriteria LPPOM MUI, sebaiknya segera melakukan perubahan. Proses pengurusan sertifikat halal membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga perubahan nama harus dilakukan secepat mungkin. Selain itu, pelaku usaha juga perlu memberikan informasi kepada konsumen mengenai perubahan yang dilakukan.

Selain itu, pelaku usaha juga perlu memastikan bahwa seluruh dokumen legalitas usaha seperti NIB (Nomor Induk Berusaha), NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), dan IUMK (Izin Usaha Mikro Kecil) telah lengkap. Dokumen-dokumen ini merupakan syarat wajib dalam pembuatan sertifikat halal.

Pentingnya Konsultasi Legal

Untuk memastikan bahwa semua prosedur pengurusan sertifikat halal dilakukan secara benar, pelaku usaha disarankan untuk melakukan konsultasi dengan ahli hukum. Layanan seperti Kontrak Hukum dapat membantu dalam proses ini. Layanan ini menyediakan konsultasi hukum online yang dapat memudahkan pelaku usaha dalam memenuhi persyaratan legalitas usaha.

Selain itu, layanan ini juga dapat membantu dalam pembuatan dokumen-dokumen hukum seperti kontrak, izin usaha, dan sertifikat kekayaan intelektual. Dengan bantuan layanan seperti ini, pelaku usaha dapat lebih mudah memenuhi regulasi yang berlaku dan memastikan bahwa produk mereka dapat diterima oleh pasar.

Kesimpulan

Sertifikat halal merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh pelaku usaha di sektor makanan dan minuman. Namun, tidak semua produk yang tergolong halal dapat mendapatkan sertifikat. Hal ini terjadi karena kriteria yang ditetapkan oleh MUI, termasuk dalam pemilihan nama produk. Nama yang tidak sesuai dengan standar dapat menghambat proses pengurusan sertifikat.

Oleh karena itu, pelaku usaha perlu memperhatikan kriteria yang digunakan dalam pemberian sertifikat halal. Selain itu, perubahan nama produk yang tidak sesuai harus dilakukan secepat mungkin. Dengan demikian, pelaku usaha dapat memenuhi regulasi yang berlaku dan mempertahankan kepercayaan konsumen.