Dalam dunia bisnis, sertifikat halal menjadi salah satu aspek penting yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, terutama bagi produk makanan dan minuman. Namun, isu tentang produk wine yang disebut memiliki sertifikat halal sempat menarik perhatian publik beberapa waktu lalu. Terlebih lagi, isu tersebut bermula dari unggahan akun Instagram @adityadwiputras pada 8 Juli 2023, yang menunjukkan foto sebotol Nabidz “Chateat de Java” dan segelas minuman berwarna merah. Dalam keterangannya, akun tersebut menyatakan bahwa produk tersebut telah tersertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui proses bioteknologi dan ilmu fiqih.

Namun, pihak Kementerian Agama (Kemenag) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menegaskan bahwa tidak pernah mengeluarkan sertifikat halal untuk produk wine. Meski ada produk minuman dengan merek Nabidz yang telah mendapatkan sertifikat halal, ternyata bukanlah wine, melainkan produk jus buah. Isu ini menimbulkan banyak pertanyaan, termasuk bagaimana bisa sebuah produk wine dinyatakan halal? Apakah ada mekanisme khusus untuk produk yang dianggap non-halal seperti wine? Bagaimana prosedur pengajuan sertifikat halal yang benar?

Artikel ini akan membahas secara lengkap tentang isu sertifikat halal pada produk wine, tanggapan resmi dari Kemenag, serta ketentuan hukum dan prosedur dalam pengurusan sertifikat halal. Selain itu, kami juga akan menjelaskan pentingnya sertifikat halal bagi pelaku usaha dan konsumen, serta risiko jika sertifikat tersebut digunakan secara tidak sah.

Tanggapan Kemenag Soal Wine Halal

Terkait isu tersebut, Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menerbitkan sertifikat halal untuk produk wine. Menurutnya, data di sistem Sihalal menunjukkan bahwa produk minuman dengan merek Nabidz yang telah mendapatkan sertifikat halal adalah produk jus buah, bukan wine atau red wine.

Ia menjelaskan bahwa produk jus buah Nabidz diajukan sertifikasi halal pada 25 Mei 2023 melalui mekanisme self declare dengan pendampingan Proses Produk Halal (PPH). Namun, setelah dilakukan penelusuran tim pengawas, ditemukan adanya oknum pelaku usaha dan PPH yang diduga memanipulasi data pengajuan sertifikat halal Nabidz. Atas pelanggaran tersebut, BPJPH memberikan sanksi berupa pencabutan sertifikat halal dengan nomor ID31110003706120523.

Selain itu, Aqil juga menyampaikan bahwa oknum Pendamping PPH, yaitu saudara AS, tidak melakukan verifikasi terhadap proses pembuatan sari buah Nabidz. Padahal, menurut ketentuan, proses ini harus diverifikasi oleh Pendamping PPH untuk memastikan kehalalan produk. Namun, AS justru memanipulasi data pendaftaran sertifikat halal, sehingga membuat BPJPH mencabut nomor registrasi oknum tersebut.

Jasa Stiker Kaca

Oknum Pendamping PPH Tak Lakukan Verifikasi

Menurut Aqil, proses verifikasi merupakan langkah penting dalam pemberian sertifikat halal. Produk jus buah yang dianggap aman dapat diajukan melalui mekanisme self declare karena dianggap tidak beresiko. Namun, jika terdapat proses fermentasi, maka produk tersebut harus melalui uji laboratorium oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Jasa Backlink

“Karena kalau ada fermentasi artinya ada proses kimia yang dilakukan sehingga memerlukan uji lab yang harus dilakukan LPH,” paparnya.

Sayangnya, oknum Pendamping PPH, saudara AS, diketahui malah memanipulasi data pendaftaran sertifikat halal. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengurusan sertifikat halal tidak selalu berjalan sesuai aturan. Oleh karena itu, BPJPH memberikan sanksi tegas terhadap oknum tersebut.

Lalu Bagaimana Ketentuan Pemberian Sertifikat Halal Sebenarnya?

Secara umum, wine termasuk dalam kategori minuman haram karena mengandung alkohol. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 86 Tahun 1977 tentang Minuman Keras, minuman beralkohol adalah minuman dengan kandungan alkohol, yang dibuat dari fermentasi berbagai jenis bahan baku nabati mengandung karbohidrat, dengan cara distilasi hasil fermentasi.

Sementara itu, menurut Fatwa MUI No 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal, produk yang dijual tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah pada kekufuran dan kebatilan. Termasuk dalam hal ini adalah produk yang memiliki nama seperti whisky, brandy, beer, dll.

Dengan demikian, produk wine yang mengandung alkohol tidak dapat diberikan sertifikat halal. Bahkan, jika suatu produk memiliki unsur-unsur yang diharamkan, maka produk tersebut tidak layak untuk diterima sebagai produk halal.

Syarat dan Prosedur Mengurus Sertifikat Halal

Untuk mengurus sertifikat halal, pelaku usaha perlu menyiapkan beberapa dokumen persyaratan, antara lain:

– NIB/SIUP/SIUP/IUMK

– KTP pelaku usaha

– Salinan sertifikat penyedia halal dan salinan keputusan penyedia halal

– Nama dan jenis produk

– Daftar produk dan bahan yang digunakan

– Proses pengelolaan produk

Setelah melengkapi persyaratan di atas, pelaku usaha dapat mengajukan permohonan sertifikat halal melalui laman ptsp.halal.go.id. Pihak BPJPH akan memeriksa kelengkapan data dan pemeriksaan diteruskan ke LPH. Selanjutnya, laporan hasil pemeriksaan akan diserahkan ke MUI untuk disidang fatwa dan dilakukan penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH.

Setelah mendapatkan sertifikat halal, pelaku usaha bertanggung jawab menjaga kehalalan produk tersebut dengan:

– Mencantumkan label halal;

– Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal;

– Memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku telah berakhir; dan

– Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

Adapun masa berlaku sertifikat halal adalah empat tahun dan tiga bulan sebelum masa berlaku habis, pelaku usaha disarankan untuk melakukan perpanjangan.

Bagi pelaku usaha yang memperoleh sertifikat halal namun tidak menjaga kehalalan produk akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar.

Pentingnya Sertifikat Halal bagi Pelaku Usaha dan Konsumen

Sertifikat halal merupakan dokumen penting dan krusial bagi pelaku usaha, konsumen, dan lembaga-lembaga pemerintah untuk memastikan kehalalan produk. Dengan sertifikat halal, pelaku usaha dapat meningkatkan kepercayaan konsumen, terutama bagi masyarakat Muslim. Selain itu, sertifikat halal juga menjadi salah satu syarat untuk masuk ke pasar internasional, terutama negara-negara Muslim.

Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk memahami pentingnya sertifikat halal dan memastikan untuk mengikuti ketentuan dan prosedur yang berlaku untuk menghindari adanya keteledoran atau kecurangan dalam pengurusan sertifikat halal.