Penulis : Harry Yulianto, Akademisi STIE YPUP Makassar
Suasana di sentra tenun tradisional Sengkang, Wajo, yang menjadi jantung kerajinan khas Sulawesi Selatan, masih memancarkan ketekunan. Namun, di balik dentingan alat tenun dan benang sutra yang berkilauan, tersembunyi kegelisahan yang sama. Seorang penenun senior bercerita, ‘Anak-anak muda sekarang jarang yang mau belajar. Lebih memilih kerja di kota atau menjadi TKI.’ Kisah ini adalah gambaran nyata dari sebuah pergeseran. Data ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sektor seperti perdagangan dan industri masih menjadi tujuan utama generasi muda. Anak-anak muda yang seharusnya menjadi penerus keahlian ini lebih memilih sektor lain yang terlihat lebih pasti.
Di balik angka statistik yang seringkali terlihat “hijau”, tersembunyi realitas kompleks yang dialami usaha mikro kerajinan. Mereka menghadapi tantangan nyata, seperti kendala akses pasar dan digital, yang sering kali tidak tercermin dalam data makro. Kesenjangan ini muncul karena angka-angka agregat biasanya tidak cukup untuk menangkap kompleksitas di tingkat usaha mikro.
Akibatnya, cara pengukuran ekonomi konvensional bisa mengaburkan tantangan yang sesungguhnya dihadapi pengrajin. Struktur rantai nilai yang timpang, di mana posisi mereka cenderung lemah sebagai pemasok bahan mentah, sering kali membuat margin keuntungan yang mereka terima sangat kecil dibanding nilai akhir produk. Inilah kontradiksi yang menempatkan nasib kerajinan tradisional di ujung tanduk: apakah kita akan menyaksikan kelamnya “mati suri”, atau justru menjadi saksi “renaissance”-nya di era digital?
Membedah Akar Krisis: Lebih Dalam dari Sekadar Regenerasi
Memang, krisis regenerasi adalah luka yang paling terlihat. Namun, akar masalahnya jauh lebih dalam. Pertama, terdapat rantai nilai yang timpang. Kebanyakan pengrajin hanya bertindak sebagai “tukang” atau pemasok bahan baku, tanpa pernah menyentuh pemasaran dan distribusi akhir. Alhasil, meski produk akhirnya terjual mahal di gerai ritel, margin yang sampai ke tangan mereka sangat terbatas. Nilai tambah terbesar justru dinikmati oleh perantara dan retailer yang menguasai akses pasar dan modal.
Kondisi ini diperparah oleh status usaha yang informal. Data resmi mengungkap bahwa mayoritas usaha mikro beroperasi tanpa akses ke rantai pasokan modern. Tanpa formalitas dan struktur bisnis yang jelas, pengrajin kian terperangkap dalam posisi yang lemah, sulit meningkatkan daya tawar, dan mustahil untuk menembus pasar yang lebih luas atau mendapatkan margin yang adil.
Kedua, jurang literasi keuangan dan digital yang lebar. Data resmi dari Pendataan Lengkap Koperasi dan UMKM (PL-KUMKM) 2023 oleh Kemenkop UKM dan BPS memberikan gambaran yang jernih tentang kondisi sektor mikro. Survei nasional ini mengungkap bahwa sebagian besar usaha mikro masih bergulat dengan isu mendasar: hanya 3,64% yang telah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) sebagai tanda formalitas. Angka ini menjadi indikator kuat bahwa aspek legalitas, pembukuan, dan akses ke program pemerintah masih menjadi tantangan besar. Pada sub-sektor kerajinan tradisional, yang sering kali beroperasi secara sangat informal dan terkonsentrasi di sentra-sentra tertentu, dapat dipastikan tantangan ini bahkan lebih kritis.
Rendahnya literasi keuangan dan minimnya pemanfaatan platform digital, dua faktor kunci dalam peta jalan transformasi, menjadi hambatan nyata yang menghambat lompatan mereka dari sekadar bertahan hidup menuju pertumbuhan berkelanjutan. Dari gambaran data tersebut, terlihat bahwa banyak pengrajin terjebak dalam siklus usaha yang statis. Pola “produksi-jual-habis modal-produksi lagi” ini membuat mereka sulit untuk menabung, berinvestasi dalam teknologi atau desain baru, apalagi melakukan lompatan pertumbuhan.
Ketiga, perlindungan yang masih setengah hati. Meski Undang-Undang Hak Cipta dan Indikasi Geografis telah ada, proses mengurus Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) untuk motif tradisional kerap berbelit dan mahal bagi pengrajin mikro. Akibatnya, ancaman klaim budaya oleh pihak asing tetap menjadi ancaman yang nyata. Memori kolektif kita masih kuat akan kasus di era 2000-an, ketika motif batik seperti “Parang” dan “Kawung” serta figur Wayang Kulit didaftarkan sebagai milik perusahaan asing di Malaysia.
Kekhawatiran ini bukanlah hal baru. Insiden semacam itu menunjukkan kerentanan produk budaya kita meski telah ada payung hukum. Pada akhirnya, meski UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Indikasi Geografis memberikan payung hukum, kerumitan birokrasi yang tinggi dan rendahnya literasi HaKI di tingkat pelaku usaha mikro-lah yang membuat produk budaya kita tetap rentan terhadap komersialisasi tanpa izin dan klaim yang tidak sah.
Roadmap Transformasi: Dari Konsep ke Implementasi
Menghadapi ketimpangan rantai nilai, literasi digital, dan kerentanan HaKI tersebut, dibutuhkan lebih dari sekadar wacana. Kita perlu sebuah peta jalan transformasi yang jelas dan bertahap, bukan sekadar jargon.
Fase 1: Membangun Fondasi Digital (0-6 Bulan)
Fokusnya adalah memutus isolasi dan melek digital dasar. Caranya dengan membangun platform komunitas yang memudahkan pengrajin memasarkan hasil karyanya secara kolektif. Inisiatif-inisiatif kolektif berbasis komunitas telah membuktikan bahwa model ini bisa berjalan. Bayangkan, bagaimana jika semangat gotong royong digital ini diterapkan di sentra-sentra kerajinan lain? Fondasinya dimulai dari pelatihan yang sangat praktis: cara memotret produk yang menarik hanya dengan ponsel, menulis deskripsi yang memikat, hingga mengelola percakapan dengan calon pembeli secara profesional. Untuk mendukung hal ini, kemitraan dengan penyedia logistik untuk mendapatkan tarif khusus juga krusial, agar ongkos kirim tidak lagi menjadi penghalang utama.
Fase 2: Menambahkan “Jiwa” pada Produk (6-18 Bulan)
Setelah “online”, langkah selanjutnya adalah meningkatkan nilai. Setiap karya perlu diberi cerita. Bayangkan sebuah kain tenun yang dilengkapi kode QR; ketika dipindai, kita bisa mendengar langsung dari penenunnya tentang filosofi motif dan proses pembuatannya. Inilah nilai yang tidak bisa ditiru pabrik. Kolaborasi dengan desainer muda juga menjadi kunci, sebagaimana terbukti dalam kerja sama antara desainer Denny Wirawan dan para pengrajin tenun dari berbagai daerah. Kolaborasi ini berhasil membawa motif tradisional ke dalam rancangan ready-to-wear yang modern dan diterima pasar luas. Tidak kalah penting, diversifikasi produk untuk kebutuhan sehari-hari (seperti tas laptop dari tenun atau case ponsel dari anyaman rotan) akan membuat kerajinan makin relevan dengan gaya hidup modern. Setelah nilai produk dan pasar dalam negeri kuat, langkah berikutnya adalah menciptakan keberlanjutan jangka panjang dan ekspansi.
Fase 3: Menciptakan Masa Depan yang Berkelanjutan (18-36 Bulan)
Tahap akhir adalah menciptakan ekosistem yang mandiri dan berkelanjutan. Di sini, dibutuhkan kemitraan yang adil antara keahlian pengrajin senior, ide segar generasi muda, dan kecakapan digital. Untuk mengatasi krisis regenerasi, program magang bersertifikat bersama SMK atau kampus bisa jadi jalur karir menarik bagi anak muda. Tahap akhir adalah mempersiapkan pengrajin tangguh untuk “go global” melalui pelatihan standar ekspor, packaging, dan sertifikasi internasional seperti Fair Trade.
Sinergi Ekosistem: Di Luar Retorika
Peran pemerintah harus lebih dari sekadar pelatihan. Pertama, dengan menyederhanakan birokrasi HKI secara kolektif per sentra. Kedua, memberi insentif pajak bagi perusahaan yang bermitra (bukan sekadar menyumbang) dengan pengrajin. Ketiga, memasukkan kearifan kerajinan tradisional ke dalam muatan lokal di sekolah.
Sektor swasta dapat terlibat melalui pengadaan inklusif. Hotel dan kafe bisa memesan perlengkapan dan dekorasi langsung dari pengrajin. Perusahaan teknologi dapat menyediakan platform e-commerce yang ramah bagi pengrajin.
Yang terpenting, peran kita sebagai konsumen. Di era di mana ‘perhatian’ adalah ‘mata uang’ baru, setiap like, share, dan pembelian adalah bentuk dukungan nyata. Membeli langsung dari pengrajin melalui platform, bukan sekadar transaksi, melainkan investasi untuk melestarikan warisan budaya.
Bukan Nostalgia, Melainkan Masa Depan
Pada akhirnya, kita sedang membicarakan masa depan, bukan sekadar mengenang masa lalu. Kerajinan tradisional bukanlah beban, melainkan aset ekonomi kreatif yang sangat berharga. Di tangan pengrajin yang adaptif, desainer yang visioner, kebijakan yang tepat, dan dukungan kita sebagai konsumen, “renaissance” kerajinan tradisional bukanlah mimpi. Ini adalah pilihan kolektif.
Pilihannya kini ada di depan mata: membiarkannya tergerus zaman, atau bersama-sama menulis babak baru kebangkitannya. Pemikiran ini sejalan dengan ungkapan budayawan dan Guru Besar ITB, Yasraf Amir Piliang, yang kerap mengingatkan bahwa “Yang tradisional tidak pernah kuno; yang kuno adalah cara kita memandangnya.”







