Dalam dunia bisnis, kolaborasi antara perusahaan besar sering kali menjadi langkah strategis untuk memperluas pasar dan meningkatkan daya saing. Salah satu contoh paling menonjol adalah kemitraan antara Starbucks dan Nestle, yang telah menghasilkan produk minuman kopi siap saji dengan merek Starbucks. Produk ini sangat populer di Indonesia, terutama karena harganya yang terjangkau dibandingkan dengan harga kopi Starbucks di toko-toko khusus. Dengan harga sekitar Rp14.900 per kaleng, produk ini sering disebut sebagai “versi BPJS” dari Starbucks, karena kemampuannya memberikan pengalaman kopi berkualitas tanpa harus membayar harga mahal.
Kemitraan ini tidak hanya menguntungkan konsumen, tetapi juga menjadi model bagi perusahaan lain yang ingin menjalin kerja sama dalam bidang pemasaran dan produksi. Melalui kesepakatan lisensi merek, Nestle diberi hak untuk menggunakan merek Starbucks dalam produksi minuman siap saji, sehingga memungkinkan kedua perusahaan untuk saling menguntungkan. Namun, bagaimana proses ini berlangsung? Apa saja ketentuan yang terlibat dalam kesepakatan lisensi merek ini?
Artikel ini akan menjelaskan secara rinci tentang kolaborasi antara Starbucks dan Nestle, termasuk mekanisme lisensi merek yang digunakan, serta implikasinya terhadap bisnis dan hukum di Indonesia. Selain itu, kita juga akan melihat bagaimana perusahaan bisa memanfaatkan kerja sama semacam ini untuk menciptakan nilai tambah dan memperluas jangkauan pasar.
Kolaborasi Starbucks dan Nestle: Sejarah dan Mekanisme
Pada tanggal 28 Agustus 2018, Starbucks Corporation dan Nestle melakukan kesepakatan penting yang memberikan hak permanen kepada Nestle untuk memasarkan produk-produk Consumer Packaged Goods (CPG) dan Foodservice Starbucks secara global, termasuk di luar toko kopi mereka. Dengan kerja sama ini, kedua perusahaan bekerja sama dalam produksi dan distribusi berbagai jenis kopi, mulai dari bubuk kopi yang telah dinikmati oleh banyak orang hingga produk kapsul yang dapat digunakan pada mesin Nescafe Dolce Gusto.
Pada Oktober 2022, kedua perusahaan memperluas kerja sama mereka dengan meluncurkan rangkaian produk Starbucks At Home dan Starbucks Ready-To-Drink (RTD) di Indonesia. Ini merupakan kelanjutan dari kemitraan yang sudah dimulai sejak 2018. Produk utama yang ditawarkan meliputi Starbuck Roast & Ground, yaitu bubuk kopi dengan tingkat roasting yang berbeda-beda, serta produk kapsul yang tersedia dalam varian Cappuccino, Americano, dan Espresso. Untuk menjangkau konsumen muda, keduanya juga bekerja sama dalam bisnis minuman kopi siap minum dalam dua varian, yaitu Frappucino dan Doubleshot.
Produk-produk ini tersedia di berbagai toko ritel premium, minimarket, dan platform e-commerce di Indonesia. Sherif Hani, Country Business Manager Coffee Nestle Indonesia, menyatakan bahwa produk baru ini dirancang untuk mendorong pertumbuhan segmen konsumen muda melalui berbagai variasi minuman kopi yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan pasar.
Lisensi Merek: Dasar Hukum dan Ketentuan
Kolaborasi antara Starbucks dan Nestle didasarkan pada kesepakatan lisensi merek yang diatur dalam Undang-Undang Merek. Menurut Pasal 1 angka 5 UU Merek, pemilik merek memiliki hak atas mereknya, termasuk hak untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan merek tersebut. Izin ini dikenal sebagai lisensi merek, yang merupakan perjanjian tertulis antara pemilik merek dan pihak lain yang diberi hak untuk menggunakan merek tersebut dalam pemasaran produk.
Lisensi merek tidak berarti transfer hak kepemilikan merek, tetapi hanya izin sementara untuk menggunakan merek. Pemilik merek tetap memegang hak atas mereknya dan dapat memberikan lisensi kepada pihak lain atau bahkan mengizinkan pihak ketiga untuk menggunakan merek tersebut. Dalam kasus ini, Starbucks memberikan izin kepada Nestle untuk menggunakan merek Starbucks dalam produksi minuman kopi siap saji, yang kemudian dipasarkan di berbagai pasar.
Selain itu, dalam kesepakatan lisensi merek, pemilik merek memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa penggunaan merek tidak menimbulkan masalah hukum atau klaim dari pihak lain. Pemilik merek juga bertanggung jawab untuk memantau kualitas produk yang dihasilkan oleh pihak yang diberi lisensi dan menyetujui penghapusan merek jika diperlukan. Di sisi lain, pihak yang diberi lisensi wajib membayar royalti sesuai kesepakatan dan mematuhi aturan yang berlaku.
Syarat dan Ketentuan dalam Perjanjian Lisensi Merek
Perjanjian lisensi merek harus dibuat dengan hati-hati agar tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual (PP 36/2018), perjanjian lisensi merek harus dicatat secara resmi agar memiliki kekuatan hukum. Hal ini penting untuk menghindari sengketa antara pihak-pihak yang terlibat.
Dalam perjanjian lisensi merek, semua hak dan kewajiban kedua belah pihak harus dijelaskan secara rinci, termasuk besaran royalti yang harus dibayarkan, masa berlaku lisensi, dan mekanisme pengakhiran perjanjian. Selain itu, perjanjian juga harus menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk mendaftarkan lisensi ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJKI), karena ini adalah hal yang wajib dilakukan agar tidak menimbulkan sengketa di masa depan.
Menurut ketentuan PP 36/2018, perjanjian lisensi merek harus diregistrasikan melalui Menteri Hukum dan HAM. Jika tidak dilakukan, maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum terhadap pihak ketiga. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk memastikan bahwa perjanjian lisensi merek mereka sudah terdaftar secara resmi dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Manfaat dan Risiko dalam Kerja Sama Lisensi Merek
Kerja sama dalam bentuk lisensi merek memberikan banyak manfaat bagi perusahaan. Pertama, perusahaan yang diberi lisensi dapat memanfaatkan reputasi merek yang sudah dikenal oleh konsumen, sehingga mempercepat proses pemasaran dan penjualan produk. Kedua, perusahaan pemilik merek dapat memperoleh pendapatan tambahan berupa royalti tanpa harus terlibat langsung dalam produksi dan distribusi produk.
Namun, kerja sama ini juga memiliki risiko. Jika pihak yang diberi lisensi gagal memenuhi standar kualitas atau mengabaikan aturan yang berlaku, maka merek yang diberikan lisensinya bisa tercoreng. Selain itu, jika terjadi pelanggaran hak cipta atau sengketa hukum, maka pemilik merek juga bisa terkena dampaknya.
Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk memilih mitra yang tepat dan memastikan bahwa perjanjian lisensi merek yang dibuat sudah lengkap dan jelas. Selain itu, perusahaan juga perlu memantau penggunaan merek secara berkala dan menetapkan mekanisme pengawasan yang efektif.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kolaborasi antara Starbucks dan Nestle adalah contoh sukses dari kerja sama lisensi merek yang dapat memberikan manfaat besar bagi kedua belah pihak. Dengan memanfaatkan merek yang sudah dikenal, Nestle berhasil memperluas pasar produk kopi siap saji, sementara Starbucks mendapatkan pendapatan tambahan tanpa harus terlibat langsung dalam produksi dan distribusi.
Bagi perusahaan lain yang ingin menjalin kerja sama serupa, penting untuk memahami dasar hukum dan ketentuan dalam perjanjian lisensi merek. Perusahaan juga perlu memastikan bahwa perjanjian lisensi yang dibuat sudah terdaftar secara resmi dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Jika Anda saat ini sedang merencanakan kerja sama lisensi merek, Anda dapat berkonsultasi dengan ahli hukum untuk memastikan bahwa perjanjian yang dibuat sudah lengkap dan aman. Layanan seperti Kontrak Hukum dapat membantu Anda dalam membuat dan mendaftarkan perjanjian lisensi merek secara profesional dan legal.
Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi KH Services – Brand License Agreement atau hubungi layanan konsultasi hukum secara gratis melalui Ask KH.