Dalam dunia pemasaran digital dan optimasi mesin pencari (SEO), teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin menjadi perhatian utama. Dengan kemampuan AI untuk menghasilkan konten yang terlihat seperti tulisan manusia, banyak praktisi SEO mulai mempertanyakan apakah penggunaan AI dalam penulisan konten melanggar pedoman Google. Pernyataan resmi dari John Mueller, anggota tim Google Search, menyatakan bahwa konten yang dihasilkan oleh AI termasuk dalam kategori “automatically generated content” (AGC), yang dilarang oleh pedoman Webmaster Google. Namun, bagaimana situasi ini berbeda di Indonesia? Apakah AGC di sini benar-benar sama dengan AI-generated content? Artikel ini akan menjelaskan perbedaan antara kedua konsep tersebut serta dampaknya terhadap strategi SEO di negara kita.

Penggunaan AI dalam penulisan konten telah berkembang pesat sejak beberapa tahun terakhir. Teknologi seperti GPT-3 dan model lainnya mampu menghasilkan teks yang sangat mirip dengan tulisan manusia. Namun, Google tetap menganggap konten yang dibuat secara otomatis sebagai spam. Meskipun demikian, algoritma Google masih memiliki keterbatasan dalam mendeteksi konten AI, terutama jika kualitasnya cukup baik. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah AI-generated content benar-benar bisa dianggap sebagai spam, atau apakah ada ruang untuk penggunaannya dalam strategi SEO?

Di Indonesia, situasi AGC lebih berbeda. Banyak pemilik website menggunakan software yang tidak berbasis AI, seperti scraping, spin, dan auto-posting, untuk membuat konten. Konten-konten ini jauh lebih kasar dan kurang bermanfaat bagi pembaca dibandingkan AI-generated content. Namun, meskipun tidak sepenuhnya sama, mereka tetap dianggap sebagai AGC oleh Google. Oleh karena itu, penting bagi para praktisi SEO di Indonesia untuk memahami perbedaan antara kedua jenis konten ini dan bagaimana mereka dapat memanfaatkannya secara efektif tanpa melanggar pedoman mesin pencari.

Automatically Generated Content Jelas Melanggar Pedoman Webmaster Google

Google secara tegas menyatakan bahwa semua bentuk konten yang dibuat secara otomatis, termasuk yang dihasilkan oleh AI, dianggap sebagai spam. John Mueller, salah satu anggota tim Google Search, menjelaskan bahwa AI-generated content termasuk dalam kategori AGC, yang sudah diatur dalam pedoman Webmaster sejak lama. Ia menekankan bahwa bahkan jika kualitas konten AI lebih baik daripada metode tradisional seperti spin atau scrape, Google tetap menganggapnya sebagai AGC dan berpotensi memberikan penalti.

“Bagi kami, (AI content tool) masih termasuk ke dalam kategori automatically generated content yang merupakan topik yang sudah kami miliki di Webmaster Guidelines sedari awal,” ujar Mueller. “Jika Anda menggunakan machine learning tools untuk menghasilkan konten, itu pada dasarnya sama saja seperti saat Anda mengacak kata-kata, mencari sinonimnya, atau melakukan trik terjemahan yang biasa dilakukan orang-orang.”

Meski demikian, Mueller juga menyatakan bahwa Google tidak sepenuhnya bisa mengenali konten AI secara akurat. Tim webspam Google dapat mengambil tindakan terhadap konten yang dianggap spam, namun proses ini masih memerlukan intervensi manusia. Hal ini membuka pertanyaan tentang bagaimana AI-generated content akan terus berkembang dan apakah Google akan mengubah pandangan mereka di masa depan.

Bisakah Google Mendeteksi AI Generated Content?

Meskipun Google memiliki algoritma canggih untuk mendeteksi konten spam, kemampuan mereka dalam mengenali AI-generated content masih terbatas. John Mueller mengakui bahwa ia tidak yakin apakah Google saat ini bisa membedakan antara konten yang ditulis manusia dan yang dihasilkan AI. Namun, ia menegaskan bahwa jika tim webspam menemukan konten yang dianggap sebagai AGC, mereka akan mengambil tindakan terhadapnya.

“Saya tidak bisa mengklaim hal itu. Tetapi bagi kami, jika kami melihat sebuah konten dihasilkan secara otomatis, maka tim webspam pasti dapat mengambil tindakan terhadapnya. Dan saya tidak tahu bagaimana perkembangannya di masa depan, tetapi saya membayangkan seperti teknologi lainnya, akan ada sedikit permainan kucing dan tikus, di mana terkadang orang melakukan sesuatu dan mereka lolos, dan kemudian tim webspam mencarinya dan memecahkan masalah tersebut dalam skala yang lebih luas.”

Menurut Mueller, AI-generated content bisa menjadi alat bantu yang berguna, terutama dalam memperbaiki ejaan dan tata bahasa. Namun, dari sudut pandang Google, konten yang dihasilkan secara otomatis tetap dianggap sebagai AGC dan melanggar pedoman webmaster. Oleh karena itu, penggunaan AI dalam penulisan konten harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak terkena penalti.

Pendapat DailySEO ID: AI Generated Content vs Auto-Generated Content, Bagaimana Situasinya di Indonesia?

Di Indonesia, konten yang dihasilkan secara otomatis belum sepenuhnya didominasi oleh AI. Sebaliknya, banyak pemilik website menggunakan teknik seperti scraping, spin, dan auto-posting untuk membuat konten. Metode ini jauh lebih kasar dan tidak seefisien AI-generated content. Menurut pendapat DailySEO ID, konten AGC di Indonesia lebih mirip dengan auto-generated content daripada AI-generated content.

“Di Indonesia sendiri, konten secara otomatis dibuat justru bukan dengan teknologi artificial intelligence/AI, melainkan dengan teknologi yang bisa melakukan scraping (mengambil konten dari website lain), translate (menerjemahkan), spin (menulis ulang/re-write), lalu auto-posting ke banyak blog,” jelas redaksi DailySEO ID. “AGC yang ada di Indonesia bukanlah AI generated content, melainkan auto generated content.”

Konten yang dihasilkan dengan metode ini sering kali memiliki kualitas keterbacaan yang rendah dan tidak bermanfaat bagi pembaca. Namun, meskipun tidak sepenuhnya sama dengan AI-generated content, mereka tetap dianggap sebagai AGC oleh Google. Oleh karena itu, praktisi SEO di Indonesia perlu memahami perbedaan antara kedua jenis konten ini dan bagaimana mereka dapat memanfaatkannya secara efektif tanpa melanggar pedoman mesin pencari.

Kesimpulan

Dalam era digital yang semakin cepat, penggunaan AI dalam penulisan konten semakin menjadi tren. Namun, Google tetap menganggap konten yang dihasilkan secara otomatis sebagai spam, terlepas dari kualitasnya. Di Indonesia, konten AGC lebih sering dibuat dengan teknik tradisional seperti scraping dan spin, yang jauh lebih kasar daripada AI-generated content. Meskipun demikian, kedua jenis konten ini tetap dianggap sebagai AGC oleh Google dan dapat memberikan penalti jika digunakan secara berlebihan.

Untuk para praktisi SEO di Indonesia, penting untuk memahami perbedaan antara AI-generated content dan auto-generated content serta bagaimana mereka dapat memanfaatkannya secara efektif tanpa melanggar pedoman mesin pencari. Dengan memahami tantangan dan peluang di balik AGC, para praktisi dapat merancang strategi SEO yang lebih sehat dan berkelanjutan.