Dalam dunia bisnis, perjanjian menjadi salah satu elemen penting yang harus diperhatikan. Perjanjian tidak hanya berfungsi sebagai bukti kesepakatan antara dua pihak atau lebih, tetapi juga memiliki kekuatan hukum yang bisa melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Namun, untuk membuat perjanjian yang sah di mata hukum, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Dengan memahami syarat-syarat tersebut, Anda dapat menghindari risiko kerugian dalam jangka panjang. Berikut ini penjelasan lengkap mengenai syarat sahnya suatu perjanjian.

Perjanjian adalah bentuk kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan diri terhadap sesuatu hal. Dalam konteks hukum, perjanjian memiliki arti yang sangat luas, mulai dari perjanjian jual beli, sewa menyewa, hingga perjanjian kerja sama. Menurut Pasal 1313 KUHPer, perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dengan demikian, perjanjian tidak hanya sekadar surat pernyataan, tetapi juga memiliki dampak hukum yang nyata. Jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, pihak lain berhak menuntut sesuai ketentuan hukum atau mengenakan sanksi sesuai isi perjanjian.

Untuk memastikan bahwa suatu perjanjian sah secara hukum, maka perlu memenuhi empat syarat utama. Syarat-syarat ini mencakup kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, adanya objek perjanjian, serta sebab yang halal. Keempat syarat ini menjadi dasar bagi keabsahan perjanjian, baik dalam konteks hukum maupun bisnis. Tanpa memenuhi syarat-syarat ini, perjanjian dapat dibatalkan atau dianggap tidak sah. Oleh karena itu, pemahaman tentang syarat sah perjanjian sangat penting bagi setiap individu atau perusahaan yang ingin menjalankan bisnis dengan aman dan legal.

Jasa Backlink

Kesepakatan Para Pihak

Kesepakatan para pihak merupakan salah satu syarat utama dalam pembuatan perjanjian. Kesepakatan ini harus berasal dari kehendak bebas masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Jika salah satu pihak merasa dipaksa untuk menyetujui perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dikatakan tidak sah. Contohnya, jika seorang pembeli menyetujui perjanjian jual beli atas dasar ancaman atau tekanan dari pihak penjual, maka perjanjian tersebut bisa dibatalkan. Oleh karena itu, dalam membuat perjanjian, pastikan bahwa semua pihak sepakat secara sukarela dan tidak ada unsur kecurangan.

Kesepakatan yang baik juga mencakup kesepakatan mengenai isi perjanjian. Artinya, setiap pihak harus memahami dan setuju terhadap isi perjanjian sebelum menandatangani dokumen tersebut. Kesepakatan ini biasanya dituangkan dalam bentuk surat perjanjian yang jelas dan rinci. Dengan demikian, jika terjadi perselisihan di kemudian hari, perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan masalah.

Kecakapan Para Pihak

Selain kesepakatan, kecakapan para pihak juga menjadi syarat penting dalam pembuatan perjanjian. Kecakapan para pihak merujuk pada kemampuan seseorang atau entitas untuk membuat perjanjian secara hukum. Menurut Pasal 1330 KUHPer, setiap orang dinyatakan cakap untuk membuat perjanjian kecuali jika undang-undang menyatakan sebaliknya. Orang-orang yang tidak cakap antara lain anak di bawah umur, orang yang sedang dalam pengampuan, atau orang yang tidak mampu mengatur keuangannya.

Dalam konteks bisnis, kecakapan para pihak juga mencakup wewenang seseorang untuk menandatangani perjanjian. Misalnya, dalam sebuah perusahaan, hanya direksi atau pihak yang berwenang yang boleh menandatangani perjanjian resmi. Jika seseorang yang tidak memiliki wewenang menandatangani perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dianggap tidak sah. Oleh karena itu, sebelum membuat perjanjian, pastikan bahwa semua pihak yang terlibat memiliki kecakapan hukum untuk melakukan perjanjian tersebut.

Adanya Objek Perjanjian

Objek perjanjian merupakan bagian penting dalam suatu perjanjian. Objek ini bisa berupa barang, jasa, atau uang yang akan diserahkan atau diberikan oleh pihak-pihak terkait. Untuk memastikan keabsahan perjanjian, objek perjanjian harus jelas dan spesifik. Misalnya, dalam perjanjian jual beli mobil, objek perjanjian harus mencantumkan jenis mobil, merek, tahun produksi, dan harga jual. Dengan demikian, tidak ada ambiguitas dalam isi perjanjian yang dapat memicu perselisihan di kemudian hari.

Selain objek fisik, objek perjanjian juga bisa berupa jasa. Contohnya, dalam perjanjian kerja sama, objek perjanjian bisa berupa penyediaan layanan atau dukungan teknis. Dengan adanya objek yang jelas, perjanjian dapat dijalankan sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. Tanpa objek yang jelas, perjanjian tidak akan memiliki makna yang nyata dan dapat dianggap tidak sah.

Sebab yang Halal

Sebab yang halal merupakan syarat terakhir dalam pembuatan perjanjian. Sebab ini merujuk pada tujuan atau alasan di balik pembuatan perjanjian. Perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang tidak halal, seperti perjanjian judi atau perjanjian yang bertentangan dengan norma kesusilaan, dianggap tidak sah. Menurut Pasal 1320 KUHPer, perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang dilarang oleh hukum atau bertentangan dengan norma kesusilaan tidak memiliki kekuatan hukum.

Sebab yang halal juga mencakup tujuan yang tidak merugikan pihak mana pun. Dengan demikian, perjanjian harus dibuat dengan tujuan yang jelas dan tidak melanggar hukum. Jika perjanjian dibuat untuk tujuan ilegal, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, sebelum membuat perjanjian, pastikan bahwa tujuan perjanjian sesuai dengan aturan hukum dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial.

Akibat Jika Melanggar Syarat Sah Perjanjian

Jika salah satu syarat sah perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dianggap tidak sah. Pembatalan perjanjian dibagi menjadi dua kategori, yaitu perjanjian yang dapat dibatalkan (voidable) dan perjanjian yang batal demi hukum (null and void).

Jasa Stiker Kaca

Perjanjian yang termasuk dalam kategori voidable adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif, seperti kesepakatan dan kecakapan para pihak. Dalam kasus ini, salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada pengadilan. Namun, perjanjian tersebut tetap mengikat sampai putusan pengadilan dikeluarkan. Sementara itu, perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, seperti adanya objek perjanjian yang tidak jelas atau sebab yang tidak halal, dianggap batal demi hukum. Dengan kata lain, perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Oleh karena itu, untuk memastikan keabsahan perjanjian, penting untuk memenuhi seluruh syarat sah perjanjian. Dengan memahami dan menerapkan syarat-syarat tersebut, Anda dapat menghindari risiko kerugian dan memastikan bahwa perjanjian yang dibuat memiliki kekuatan hukum yang kuat. Jika masih ragu, Anda dapat meminta bantuan dari ahli hukum atau layanan profesional yang menyediakan pembuatan perjanjian sesuai dengan standar hukum.