Penulis : Harry Yulianto, Akademisi STIE YPUP Makassar.
Catatan pengantar: artikel ini membahas pola asuh dalam konteks kondisi klinis Narcissistic Personality Disorder (NPD). Pembahasan difokuskan pada pengasuhan oleh ibu dengan NPD karena dinamika relasi ibu-anak sering menjadi sorotan penelitian psikologis. Pemfokusan ini bukan berarti gangguan ini hanya dialami oleh ibu, dan sama sekali bukan untuk menggeneralisasi semua ibu. Dalam realitanya, NPD dapat terjadi pada siapa saja, termasuk ayah atau pengasuh lainnya. Tujuan penulisan artikel ini adalah edukatif, untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang dampak kekerasan psikologis dalam pengasuhan, bukan sebagai alat diagnosis mandiri. Diharapkan, artikel ini dapat memperluas pemahaman sekaligus mendorong diskusi berdasarkan kajian ilmiah, sehingga kita dapat lebih peka terhadap luka yang tidak terlihat dan mendukung terciptanya lingkungan pengasuhan yang lebih sehat dan empatik.
Cinta seorang ibu seharusnya menjadi pelabuhan pertama yang aman bagi seorang anak. Namun, bagaimana jika pelabuhan itu justru menjadi labirin yang penuh syarat, di mana kasih sayang harus diraih dengan menjadi cermin kesempurnaan sang ibu sendiri? Inilah realitas tersembunyi yang dialami anak-anak yang dibesarkan oleh ibu dengan NPD, sebuah luka psikologis yang senyap, tidak berbekas di kulit, namun mengukir jejak mendalam dalam jiwa. Artikel ini menelisik dampak pola asuh narsistik, warisan trauma yang dibawa hingga dewasa, dan langkah-langkah penting untuk memutus mata rantainya.
Coba renungkan, seorang anak yang harus memperjuangkan kasih sayang sebagai hak alamiahnya. Ia bukan bersaing dengan saudara kandung, melainkan dengan ego ibu yang tidak pernah puas, selalu membutuhkan panggung dan penonton, bahkan di ruang keluarga sendiri.
Dalam dinamika ini, anak sering direduksi menjadi sekadar perpanjangan citra sang ibu. Ia berfungsi sebagai “cermin” yang harus memantulkan kesempurnaan atau “alat” untuk memuaskan kebutuhan emosional ibu. Donald Winnicott (1964) mengenalkan konsep “good-enough mother“, yaitu ibu yang cukup baik karena mampu beradaptasi dengan kebutuhan bayinya. Sayangnya, pada ibu dengan NPD, adaptasi ini terdistorsi menjadi upaya pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri.
Pembahasan mengenai NPD di rumah tangga sering kali hanya tertuju pada suami sebagai korban langsung gaslighting, manipulasi, atau pelecehan verbal. Padahal, ada pihak yang lebih rentan dan menanggung beban paling mendalam pada jangka panjang, yaitu anak-anak. Mereka terperangkap dalam sistem keluarga yang tidak sehat, tanpa kata-kata untuk mengekspresikan kepedihan. Lukanya sering kali tidak terlihat oleh dunia luar.
Nina W. Brown dalam Children of the Self-Absorbed (2008) menjelaskan bahwa pola asuh narsistik menciptakan trauma relasional yang merusak fondasi konsep diri sehat anak. Fokus sempit yang hanya pada konflik suami-istri kerap mengabaikan efek domino yang justru paling menyakitkan bagi pihak yang paling diam, yakni anak-anak itu sendiri.
Pada dasarnya, pengasuhan oleh ibu dengan NPD yang tidak terdiagnosis, tidak hanya menciptakan rumah tangga yang tidak harmonis. Pola asuh ini secara aktif akan mengukir “luka tersembunyi” di dalam jiwa anak. Luka-luka tersebut berupa keraguan diri yang membayangi hidupnya, kesulitan mempercayai orang lain, dan pola hubungan yang tidak sehat. Semua itu akan menjadi pola dasar yang membentuk hidup mereka hingga dewasa.
Konsep ‘trauma tidak terlihat’ didukung studi Johnson et al. (2019) dalam Journal of Personality Disorders. Penelitiannya menemukan korelasi erat antara pengasuhan narsistik dengan meningkatnya risiko gangguan kecemasan dan kesulitan mengelola emosi di masa dewasa. Tanpa intervensi, siklus penderitaan akan berpotensi terus berlanjut dari generasi ke generasi. Bagaimana tepatnya dinamika pengasuhan yang distortif ini terwujud dalam keseharian? Polanya biasanya muncul melalui relasi ibu-anak yang tidak lagi mengenal batas sehat.
Ketika Ibu adalah ‘Ratu’ dan Anak Hanya ‘Figuran’
Dalam dinamika NPD, anak kerap tidak dilihat sebagai individu utuh dan otonom, melainkan sebagai perpanjangan ego sang ibu. Menurut teori Kernberg (1975), pola ini dikenal sebagai narcissistic extension, suatu kondisi di mana anak dilihat hanya sebagai perpanjangan ego ibu untuk mendukung citra dan kebutuhan emosionalnya.
Pola ini sering kali menempatkan anak sebagai “aksesori” yang memamerkan kesuksesan pengasuhan, “pencapaian” yang dibanggakan di media sosial, atau “alat” untuk mendapatkan simpati dan pujian dari lingkungan. Dalam The Narcissistic Family (1994), Stephanie Donaldson-Pressman menggarisbawahi bahwa “Anak ada untuk memenuhi fungsi, bukan untuk dididik menjadi dirinya sendiri.” Akibatnya, kebutuhan dan minat autentik anak terabaikan, karena yang utama adalah bagaimana ia merefleksikan “kemuliaan” sang ibu.
Kasih sayang dalam pola asuh tersebut bersifat transaksional dan sangat “bersyarat”. Seorang anak tidak “dicintai” secara utuh, melainkan hanya mendapat validasi dan perhatian saat berhasil memenuhi harapan atau ‘skrip’ yang ditetapkan ibu. Hal ini terlihat saat anak menjadi juara kelas, tampil penurut di depan umum, atau membela ibu dalam konflik keluarga. Pola tersebut menciptakan lingkungan yang tidak konsisten dan tidak terprediksi bagi anak, yang dalam teori perkembangan dapat memicu attachment anxiety atau kecemasan kelekatan.
Dampak dari pola pengasuhan bersyarat ini didukung oleh bukti empiris. Studi Miller et al. (2018) di Journal of Child and Family Studies mengonfirmasi bahwa pola asuh bersyarat semacam ini memiliki korelasi kuat terhadap perkembangan perfeksionisme maladaptif dan rasa tidak berharga pada diri anak. Akibatnya, cinta yang seharusnya menjadi fondasi keamanan, justru berubah menjadi ‘mata uang’ yang harus tanpa henti diperjuangkan.
Hubungan yang seharusnya protektif dan suportif dapat berubah menjadi arena kompetisi tidak sehat, terutama antara ibu dan anak perempuan. Ibu dengan NPD berpotensi memandang putrinya sebagai rival yang mengancam posisinya sebagai pusat perhatian, baik dalam hal fisik, kesuksesan, dan kasih sayang ayah. Fenomena tersebut sering disebut mother-daughter envy atau triangulation.
Karya Nancy Chodorow, The Reproduction of Mothering (1978), menguraikan bagaimana dinamika identifikasi dan persaingan tidak terselesaikan antara ibu dan anak perempuan dapat menghambat perkembangan identitas anak. Komentar merendahkan tentang penampilan, sabotase halus terhadap pencapaian, atau minimnya kebahagiaan ibu saat anaknya “bersinar” merupakan bentuk kompetisi terselubung yang meninggalkan luka kebingungan dan pengkhianatan mendalam.
Warisan Tidak Diinginkan: Luka Psikologis yang Dibawa Hingga Dewasa
Dampak paling fundamental dari pengasuhan narsistik berupa kerusakan konsep diri anak. Harga dirinya selalu dikaitkan dengan performa dan kemampuan memenuhi harapan ibu. Akibatnya, anak tumbuh dengan keraguan yang menggerus keyakinan diri dan perasaan kronis bahwa dirinya “tidak pernah cukup baik”. Kritik dan ekspektasi tidak realistis dari ibu akhirnya diinternalisasi, melahirkan inner critic atau suara hati yang keras dan kritis secara destruktif yang terus menghakimi diri sendiri. Jonice Webb dalam Running on Empty (2012) menjelaskan bahwa anak-anak biasanya mengembangkan fragile self-esteem yang sepenuhnya bergantung pada validasi eksternal. Mereka kesulitan membentuk identitas autentik dan rasa percaya diri sehat, yang merupakan fondasi kesehatan mental seumur hidup.
Selain konsep diri yang ‘rusak’, anak juga menghadapi tantangan besar dalam dunia perasaannya. Lingkungan pengasuhan yang tidak responsif terhadap kebutuhan emosional anak menyebabkan kesulitan serius dalam regulasi emosi. Emosi anak sering diabaikan (“Jangan cengeng“), dipelintir (“Kamu marah karena iri, bukan karena aku salah“), atau dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan emosional ibu sendiri. Dinamika “beracun” ini disebut emotional incest atau parentification. Menurut teori perkembangan afektif, kemampuan mengenali, menamai, dan mengelola emosi dengan sehat (emotional literacy) pertama kali dipelajari melalui interaksi dengan pengasuh utama (Bowlby, 1969; Siegel, 1999).
Bukti empiris memperkuat kaitan tersebut. Studi Maughan dan Cicchetti dalam Development and Psychopathology (2002) menunjukkan bahwa pengabaian emosional dan respons tidak konsisten dari pengasuh berkontribusi pada disregulasi emosi dan meningkatkan kerentanan terhadap gangguan suasana hati (mood disorder). Anak-anak akan tumbuh menjadi dewasa yang mungkin bingung dengan perasaannya sendiri, mudah kewalahan, atau justru mematikan emosi sepenuhnya.
Pengalaman relasional awal yang penuh syarat dan manipulatif dapat membentuk pola hubungan dewasa. Dua pola yang sering kali muncul adalah: (1) menjadi people-pleaser yang terus mengorbankan diri untuk validasi, atau (2) meniru pola narsistik dengan memanfaatkan orang lain.
Akar dari kedua pola ini adalah ketidakmampuan membangun keintiman sehat. Teori Kelekatan dari Bowlby (1969) menjelaskan bagaimana internal working models dari masa kanak-kanak membentuk gaya kelekatan masa depan, biasanya dalam bentuk gaya cemas (anxious) atau menghindar (avoidant).
Pada konteks keluarga narsistik, pola relasi yang tidak sehat biasanya dikristalkan melalui pembagian peran yang kaku dan merusak. Dua peran utama yang muncul adalah “Golden Child” (Anak Emas) yang diidealkan, dan “Scapegoat” (Kambing Hitam) yang dipersalahkan. Golden Child hidup dalam tekanan konstan untuk menjadi sempurna demi kebanggaan ibu, kerap kehilangan identitas aslinya. Sebaliknya, Scapegoat menjadi sasaran ‘empuk’ untuk segala kesalahan dan frustrasi keluarga, sehingga menginternalisasi citra diri sebagai “si perusak” citra keluarga.
Terlepas dari perbedaan peran tersebut, kedua posisi ini sama-sama menimbulkan trauma. Menurut Karyl McBride dalam Will I Ever Be Good Enough? (2008), baik Golden Child dan Scapegoat sama-sama menghambat perkembangan individu yang sehat. Yang lebih memperparah situasi, peran-peran ini dapat berubah secara tiba-tiba sesuai kebutuhan narsistik sang ibu, sehingga menciptakan kebingungan dan ketidakstabilan tambahan bagi seluruh anak di keluarga.
Dari dinamika keluarga yang distortif ini, terbentuklah jejak trauma yang mendalam pada diri anak. Luka tersebut saling berkaitan dan membentuk siklus yang sulit diputus tanpa intervensi sadar. Pertama, Luka Identitas, di mana korban kesulitan membentuk self-concept yang koheren, karena sejak kecil identitasnya disubordinasikan untuk memenuhi kebutuhan narsistik ibu. Konsep “false self” yang dikemukakan Donald Winnicott (1960) menggambarkan bagaimana anak mengembangkan kepribadian palsu untuk bertahan dalam lingkungan yang tidak menerima keaslian dirinya.
Kedua, Luka Relasi muncul sebagai akibat langsung, di mana individu cenderung mengembangkan attachment style tidak aman, baik anxious (menjadi people-pleaser) maupun avoidant (menarik diri). Pola ini sebagaimana dijelaskan dalam teori kelekatan dari John Bowlby (1969) dan diperkuat oleh penelitian Mikulincer dan Shaver (2007) yang menunjukkan bagaimana pengasuhan tidak responsif memprediksi kesulitan dalam keintiman dewasa.
Ketiga, Luka Emosi merupakan manifestasi dari alexithymia (kesulitan mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan) yang sering dikaitkan dengan pengabaian emosional masa kanak-kanak. Studi Taylor dan Bagby (2013) dalam Journal of Psychosomatic Research menunjukkan korelasi signifikan antara pola asuh yang tidak responsif secara emosional dengan perkembangan alexithymia di masa dewasa. Ketiganya membentuk siklus saling memperkuat, yakni: tanpa identitas yang jelas, maka relasi menjadi tidak stabil; tanpa relasi yang sehat, maka regulasi emosi semakin sulit; dan tanpa kemampuan regulasi emosi, maka pembentukan identitas autentik menjadi terhambat.
Mengapa Tidak Ada yang Melihat Penderitaan Mereka?
Luka psikologis anak biasanya tidak terlihat karena tertutup rapat oleh “topeng kesempurnaan” yang dipasang keluarga, terutama oleh sang ibu. Di mata publik, mereka bisa tampil sebagai keluarga ideal, harmonis, sukses, dan penuh prestasi. Citra ini sengaja dikurasi untuk mendapatkan pujian dan validasi eksternal.
Sementara di balik pintu tertutup, terjadi kekacauan emosional konstan, berupa: manipulasi, kritik destruktif, dan ketidakstabilan psikologis. Craig Malkin dalam Rethinking Narcissism (2015) menyebut fenomena ini curated reality, di mana penampilan luar dijaga sangat hati-hati untuk menyembunyikan disfungsi di dalam rumah. Hal ini membuat upaya anak mencari bantuan atau mengungkapkan penderitaan kerap tidak dipercaya, karena “bukti” di permukaan justru menunjukkan hal sebaliknya.
Masyarakat kita lebih terlatih mengenali luka fisik seperti memar, lebam, atau goresan yang kasat mata. Namun, kekerasan psikologis seperti gaslighting, penghinaan berkala, intimidasi atau eksploitasi emosional anak jauh lebih sulit dideteksi karena tidak meninggalkan bekas yang terlihat. Meskipun Undang-Undang PKDRT telah mengakui kekerasan psikis sejak 2004, namun pemahaman dan kesadaran publik akan bentuk kekerasan ini masih sangat terbatas.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023, yang melaporkan data tahun 2022, mengungkapkan bahwa dari 4.422 kasus kekerasan di ranah privat yang tercatat, kekerasan psikis (1.175 kasus) secara numerik masih jauh di bawah kekerasan fisik (3.131 kasus). Disparitas ini tidak mencerminkan prevalensi sebenarnya, melainkan menunjukkan betapa kekerasan psikis, yang tidak meninggalkan bekas kasat mata, sangat sulit dideteksi, dibuktikan, dan dilaporkan dibanding kekerasan fisik. Minimnya literasi membuat jaringan pendukung di sekitar anak, seperti guru, keluarga besar, atau tetangga, sering kali gagal mengenali tanda bahaya yang tidak terlihat.
Anak korban sering mengalami kebingungan dan pengkambinghitaman (self-blame) sistematis. Mereka secara langsung menyaksikan kontras antara “versi publik” ibu yang ramah dan penuh perhatian, dengan “versi privat” yang mungkin sangat berbeda. Kontradiksi ini memicu pertanyaan yang melukai: “Jika ibuku baik kepada semua orang, pasti akulah yang bermasalah.”
Pola pertentangan realitas ini merupakan inti dari gaslighting, sebuah taktik yang membuat anak meragukan persepsi, perasaan, dan ingatannya sendiri. Ramani Durvasula dalam Don’t You Know Who I Am? (2018) menjelaskan bahwa mekanisme tersebut sangat efektif mengisolasi korban dan memastikan luka mereka tetap tersembunyi. Akhirnya, energi mental anak terkuras hanya untuk mengatasi rasa bersalah dan kebingungan yang sengaja ditanamkan.
Menyembuhkan Diri, Memutus Mata Rantai Trauma
Langkah paling penting dalam penyembuhan adalah pengakuan dan validasi atas pengalaman diri sendiri. Banyak korban tumbuh dengan keyakinan keliru bahwa mereka yang salah, terlalu sensitif, atau tidak bersyukur. Langkah dasar untuk melepaskan rasa bersalah yang dipaksakan adalah dengan membongkar ilusi tersebut, yakni menyadari bahwa pola pengasuhan yang diterima merupakan bentuk nyata dari kekerasan psikologis. Judith Herman dalam karya seminalnya Trauma and Recovery (1992) menekankan “Pemulihan dimulai dengan pengakuan sosial akan kebenaran pengalaman korban.” Validasi yang bisa didapat dari literatur, kesaksian serupa, atau profesional akan mengembalikan kedaulatan individu terhadap realitas dan perasaannya yang selama ini dirampas.
Mencari bantuan psikolog atau psikiater yang memahami kompleksitas trauma relasional dan dinamika NPD, bukanlah tanda kelemahan. Tindakan ini merupakan keberanian penting. Terapi menyediakan ruang aman dan objektif untuk memproses luka, mengurai simpul kebingungan, dan mengembangkan keterampilan hidup sehat. Pendekatan seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dapat membantu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif warisan masa kecil. Di sisi lain, schema therapy efektif untuk membentuk ulang konsep diri yang ‘rusak’. Intervensi profesional merupakan investasi untuk memutus siklus dan mencegah transmisi trauma lintas generasi, sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Bessel van der Kolk (2014) tentang efektivitas terapi yang berfokus trauma untuk memulihkan regulasi emosi dan identitas diri.
Pemulihan jarang terjadi dalam kesendirian. Membangun jaringan pendukung emosional sehat sangat penting. Komunitas ini bisa berasal dari teman tepercaya, support group khusus untuk korban pengasuhan narsistik, atau keluarga besar yang memahami situasi. Keberadaan orang-orang yang memberikan empati tanpa menghakimi dan mengakui realitas pengalaman korban, berfungsi sebagai “koreksi emosional” terhadap pesan negatif yang diinternalisasi selama ini. Mereka menjadi cermin baru yang memantulkan nilai diri sesungguhnya, berbeda dengan cermin yang selama ini hanya memantulkan harapan dan kekurangan sang ibu.
Upaya penyembuhan pribadi harus selaras dengan upaya kolektif meningkatkan edukasi dan kesadaran publik tentang kesehatan mental dan pola pengasuhan. Artikel ini sebagai bagian dari upaya mendemistifikasi NPD dan dampak tersembunyinya, agar korban dapat dikenali sejak dini dan memperoleh intervensi tepat waktu. Advokasi untuk mengintegrasikan literasi kesehatan mental dan pengasuhan ke dalam sistem pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Jiwa, menjadi kunci pencegahan. Dengan membuka percakapan, kita tidak hanya menutup luka individu, tetapi juga membangun fondasi sosial untuk pola asuh lebih empatik dan generasi mendatang yang lebih tangguh secara psikologis.
Memutus Rantai, Memulihkan Generasi
Dampak pengasuhan oleh ibu dengan NPD terhadap anak bukanlah drama keluarga biasa. Luka ini merupakan cedera emosional nyata dan berjangka panjang yang dapat memengaruhi konsep diri, kemampuan relasi, dan kesehatan mental hingga dewasa.
Namun, pesan terpenting adalah luka ini dapat dipulihkan. Penelitian Daniel Siegel dalam The Developing Mind (1999) menunjukkan bahwa otak memiliki kemampuan neuroplastisitas. Hal ini berarti pengalaman baru yang suportif dan terapeutik dapat membantu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh pengasuhan disfungsional. Kesadaran terhadap permasalahan ini menjadi titik awal perubahan.
Memutus siklus pola pengasuhan merusak merupakan perjalanan yang dapat ditempuh dan penuh makna. Dengan usaha yang disengaja melalui edukasi, terapi, dan pembangunan komunitas pendukung, seorang korban dapat berhenti menjadi produk dari masa lalunya. Ia dapat mulai menjadi arsitek bagi masa depannya sendiri serta generasi berikutnya. Peter A. Levine dalam Healing Trauma (1997) menegaskan, “Trauma adalah fakta kehidupan, tetapi tidak harus menjadi hukuman seumur hidup.” Setiap langkah menuju penyembuhan diri menjadi langkah untuk menghentikan transmisi trauma dan menciptakan warisan psikologis yang lebih sehat.
Maka, marilah kita bergerak dari kesadaran menuju aksi. Bagi Anda yang merasa artikel ini menggambarkan pengalaman: Anda layak dibantu, apa pun yang pernah Anda rasakan. Jangan ragu menghubungi psikolog untuk konseling yang aman.
Bagi kita sebagai masyarakat: mari membuka mata dan hati. Jika Anda melihat seorang anak yang selalu cemas, terlalu penurut, atau murung tanpa sebab yang jelas, cobalah menyapa. Misalnya, satu pertanyaan tulus, “Bagaimana perasaanmu hari ini?” dapat menjadi pelita pertama bagi anak yang merasa ‘tersesat’ dalam kesendirian.
Sebagai panduan kewaspadaan, perhatikan tanda-tanda berikut yang sering muncul sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Pada sisi ibu, perilaku seperti sering merendahkan pencapaian anak, selalu membandingkannya dengan orang lain, dan secara berlebihan menuntut perhatian serta pujian, bukan hanya kesalahan pola asuh biasa. Perilaku tersebut merupakan indikator pola parental narcissistic abuse, di mana anak dimanfaatkan sebagai narcissistic supply, sumber untuk memuaskan kebutuhan validasi dan penguatan citra diri sang ibu dengan NPD. Pola ini termasuk menjadikan anak sebagai alat kurasi citra di media sosial. Menurut Durvasula (2018), pola ini bersifat sistematis dan bertujuan untuk mempertahankan kontrol serta mengukuhkan cerita bahwa ibu adalah figur sentral yang sempurna.
Respons psikologis anak terhadap lingkungan pengasuhan narsistik dapat terlihat melalui gejala yang konsisten. Anak mungkin menunjukkan kecemasan dan perfeksionisme berlebihan dalam upaya memenuhi standar yang mustahil. Rasa bersalah yang tidak wajar juga kerap muncul, yang merupakan konsekuensi langsung dari gaslighting dan scapegoating yang kronis. Ditambah lagi, anak mengembangkan perilaku people-pleasing dengan kesulitan mengatakan “tidak”, karena telah dikondisikan untuk mengutamakan kebutuhan emosional ibu dengan NPD.
Gejala lain yang tidak kalah merisaukan yakni ketakutan berlebihan untuk membuat kesalahan. Kritik yang terinternalisasi menyebabkan setiap tindakan dipandang sebagai potensi kegagalan yang akan berujung pada penolakan. Menurut Webb (2012), seluruh gejala tersebut merupakan coping mechanism yang berkembang dalam lingkungan emosional yang tidak aman. Tanpa kesadaran dan penanganan, pola-pola ini dapat terbawa hingga masa dewasa.
Mengenali tanda-tanda tersebut merupakan langkah awal untuk mencegah luka yang lebih mendalam. Namun, pengenalan saja tidak cukup; diperlukan langkah konkret. Seperti diingatkan Bessel van der Kolk (2014), “Tubuh menyimpan apa yang pikiran berusaha lupakan.” Memang, bekas pengasuhan narsistik dapat tertanam dalam diri, tetapi dengan kesadaran dan dukungan, setiap luka bisa mulai sembuh. Setiap generasi bisa belajar mencintai dengan lebih sehat.







