Daily Nusantara, Yogyakarta – Di tengah geliat seni lintas disiplin yang terus bergulir di Yogyakarta, kota yang kerap disebut sebagai laboratorium budaya. Muhammad Nur Cholis, atau kerap disapa Cholsverde, salah satu pegiat seni muda yang hadir dengan mengolah visual, teater, dan performativitas menjadi bahasa sikap kendali artistik yang menginspirasi. Lahir di Pasuruan dan berproses di Teater Catur sebelum menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Cholsverde membawa napas teater ke dalam eksplorasi visual yang hidup dan interaktif.

Berbekal dasar seni pertunjukan, ia menembus batas medium: dari instalasi dan gambar, hingga teater boneka dan performance art. Karya-karyanya seringkali lahir dari kepekaan terhadap realitas sosial—membaca isu-isu seperti migrasi, ketidaktampakan sosial, dekolonisasi, serta religiositas urban. Dengan semangat kolaboratif, ia turut menggagas sejumlah ruang kreatif seperti Drawing Performatif dan Lembaga Gugum Tapa, dua inisiatif yang menjunjung interdisiplinaritas dan inklusivitas sebagai poros utama penciptaan seni.

Salah satu karya mutakhirnya, Analog Visual Performance Projection, tampil mencuri perhatian dalam Festival Seni untuk Iklim: Draw The Line Climate Rangers Art Fest di Yogyakarta. Melalui proyeksi cahaya analog yang berdenyut di antara terang dan bias, Cholsverde menghadirkan instalasi performatif yang bukan hanya memanjakan mata, tetapi juga menggugat cara pandang kita terhadap ruang dan representasi sosial.

Jasa Backlink

Karya ini menghadirkan cahaya bukan sekadar penerang, tetapi metafora tentang bias sosial—tentang bagaimana modernitas menciptakan keteraturan semu sambil menyembunyikan distorsi moral dan kekuasaan di balik kilau kota. Dalam ruang yang dibangun Cholsverde, cahaya menjadi bahasa kritik, sementara bayangan menjadi pengingat tentang hal-hal yang sengaja dibuat tak terlihat.

“Karya ini berusaha memberikan satu sodoran artistik pada penonton tentang kota, cahaya, dan biasnya. Bahwa modernitas bukan hanya membentuk ruang yang terang, tetapi juga menutupi jejak penyimpangan yang sulit diidentifikasi secara kasat mata,” ujar Cholsverde, dengan nada reflektif.

Kiprahnya melampaui batas geografis. Cholsverde pernah tampil di International Shadow Puppet Festival “Karakulit Festival” di Pécs, Hungaria, membawa semangat eksperimentalnya ke panggung global. Di Yogyakarta, ia aktif dalam Bulan Menggambar Nasional melalui platform Drawing Performatif, menjadikan aktivitas menggambar sebagai praktik sosial dan ruang perjumpaan antaride.

Bagi Cholsverde, seni bukanlah menara gading, melainkan ruang dialog yang terus terbuka. Ia menolak melihat seni sebagai hal yang tunggal dan seragam, melainkan sebagai upaya menghadirkan kesadaran baru melalui perjumpaan dan keberagaman.

“Seni bukan mengajarkan arah secara diktator, tapi membuka jendela kemungkinan bahwa suatu kebenaran ialah keberagaman rupa dan panggung yang tercipta,” tuturnya.

Dari Pasuruan hingga Yogyakarta, dari bayangan ke cahaya, Cholsverde terus merangkai pencarian estetikanya. Ia menyeberangi batas antara tradisi dan teknologi, lokal dan global, panggung dan ruang sosial. Dalam setiap karyanya, ia menantang cara pandang kita terhadap dunia yang tampak semakin terang—namun diam-diam, justru menyimpan lebih banyak bias dan gelapnya.