Penulis : Harry Yulianto (Akademisi STIE YPUP Makassar)
Perguruan tinggi Indonesia sering kali terjebak pada siklus yang sama, yakni: mengejar akreditasi, merespons regulasi, atau memenuhi target administratif.
Namun, di balik segala upaya formal ini, pertanyaan mendasar sering terlupakan: Apakah transformasi yang dilakukan benar-benar berdampak pada masyarakat? Jawabannya terletak pada pembangunan “budaya mutu” yang tidak sekadar menjadi ritual birokrasi, tetapi menjadi DNA setiap insan akademik.
Budaya mutu yang akan menjadi katalisator untuk menciptakan pendidikan tinggi yang tidak hanya unggul di atas kertas, tetapi juga relevan, inklusif, dan berdampak nyata.
Budaya Mutu, Lebih dari Standar Administratif
Budaya mutu sering disalahartikan sebagai kepatuhan pada standar akreditasi atau prosedur administrasi. Padahal, esensinya lebih medalam.
Menurut konsep Total Quality Management (TQM yang digagas Deming (1986), budaya mutu adalah komitmen kolektif untuk terus memperbaiki diri secara sistematis, dengan fokus pada kepuasan pemangku kepentingan, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga masyarakat.
Perguruan tinggi tidak hanya memenuhi indikator akreditasi, tetapi merancang kurikulum berbasis masalah riil di masyarakat. Di sini, mutu bukan hanya dokumen, tetapi cara berpikir yang mengutamakan dampak sosial.
Dari “Menara Gading” ke “Jantung Masyarakat”
Perguruan tinggi sering kali dikritik sebagai “menara gading” yang terpisah dari realitas “jantung masyarakat”.
Budaya mutu yang baik akan menghancurkan dikotomi ini dengan mengintegrasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian) secara organik. Misalnya, pada riset tentang energi terbarukan yang tidak berhenti di publikasi internasional, tetapi diimplementasikan melalui program pelatihan instalasi panel surya untuk desa-desa terpencil.
Pendekatan ini sejalan dengan teori Triple Helix (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000), di mana kolaborasi antara kampus, industri, dan pemerintah menghasilkan inovasi yang langsung menyentuh kebutuhan nyata di masyarakat.
Mahasiswa sebagai Ujung Tombak Budaya Mutu yang Progresif
Transformasi pendidikan tinggi tidak akan terjadi tanpa peran aktif mahasiswa. Melalui program Experiential Learning (Kolb, 1984), mahasiswa diajak belajar langsung dari lapangan.
Seperti, integrasi Kuliah Kerja Nyata dengan riset partisipatif. Mahasiswa tidak hanya “turun ke desa”, tetapi menjadi bagian dari proses identifikasi masalah dan perancangan solusi, seperti pengembangan UMKM berbasis digital.
Di sini, budaya mutu tidak hanya diajarkan, tetapi “dihidupkan” melalui pengalaman empiris yang membentuk karakter kepemimpinan dan empati sosial.
Tantangan pada Birokrasi dan Mentalitas Instan
Meskipun berpotensi, budaya mutu masih terhambat oleh birokrasi yang kaku dan mentalitas instan. Laporan OECD (2021), menyebutkan bahwa hanya 20% perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki sistem penjaminan mutu berbasis outcome.
Banyak kampus terjebak pada “ritual” pelaporan yang kompleks, dibandingkan berfokus terhadap dampak jangka panjang.
Solusinya, perguruan tinggi perlu mengadopsi sistem evaluasi holistik seperti Balanced Scorecard (Kaplan & Norton, 1996), yang mengukur kinerja tidak hanya dari kuantitas pengajaran dan publikasi, tetapi juga dari kontribusi terhadap SDGs, kepuasan masyarakat, dan keberlanjutan.
Mutu sebagai Fondasi Daya Saing Bangsa
Pada akhirnya, budaya mutu sebagai investasi untuk menjawab tantangan abad ke-21. Menurut UNESCO (2022), pendidikan tinggi berkualitas adalah kunci mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk pengentasan kemiskinan dan pemerataan akses pendidikan.
Indonesia membutuhkan perguruan tinggi yang tidak hanya mencetak lulusan kompeten, tetapi juga menjadi laboratorium solusi untuk masalah kebangsaan, mulai dari ketahanan pangan hingga transisi energi terbarukan.
Budaya mutu bukanlah tujuan akhir, melainkan “proses tanpa henti” untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang hidup, dinamis, dan manusiawi. Jika dijalankan dengan konsisten, maka akan mengubah kampus dari sekadar penyelenggara pendidikan tinggi, menjadi agen perubahan yang mengakar dan “hidup” di masyarakat.
Saatnya pendidikan tinggi Indonesia tidak hanya bermutu, tetapi juga bermakna dan berdampak.