Penulis: Fadhil Hidayat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Tisu Murah

Daily Nusanatara, Opini – Jaminan fidusia adalah salah satu instrumen hukum jaminan yang banyak digunakan di Indonesia, terutama di hal sektor pembiayaan kendaraan bermotor, alat elektronik, bahkan pembiayaan usaha. Secara konsep, fidusia adalah pengalihan atau pemindahan hak kepemilikan suatu benda sebagai jaminan utang, tetapi benda tersebut tetap berada dalam penguasaan debitur. Artinya, walaupun secara hukum hak kepemilikan dialihkan kepada kreditur sebagai jaminan, debitur masih dapat menggunakan benda tersebut untuk keperluannya sehari-hari. Skema seperti ini memberikan kemudahan baik bagi kedua pihak: kreditur memperoleh jaminan kepastian atas pembayaran, sedangkan debitur tetap bisa menggunakan barangnya selama kewajiban pembayaran dipenuhi. Namun, praktik di lapangan memperlihatkan mekanisme yang seharusnya melindungi kedua belah pihak ini malah menyimpan berbagai persoalan serius, terutama dalam tahap eksekusi ketika debitur gagal memenuhi kewajibannya.

Fenomena yang paling banyak menimbulkan keresahan adalah maraknya penarikan kendaraan oleh debt collector atau pihak ketiga yang bekerja sama dengan perusahaan pembiayaan.Tak jarang, proses penarikan dilakukan dengan cara-cara intimidatif, bahkan sampai pada kekerasan fisik atau ancaman. Banyak laporan yang menunjukkan bahwa debt collector kerap menghadang debitur di jalan, memaksa penyerahan kendaraan, atau bahkan merampas kunci secara paksa. Padahal, praktik semacam itu jelas melanggar ketentuan hukum yang berlaku.

Penting untuk melihat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menjadi dasar penting dalam melindungi hak debitur. Di dalam putusan, MK menegaskan bahwa eksekusi objek jaminan fidusia tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh kreditur atau debt collector. Eksekusi hanya bisa dilakukan apabila debitur secara sukarela menyerahkan benda jaminan atau apabila telah ada penetapan dari pengadilan. Artinya, meskipun debitur menunggak pembayaran, perusahaan pembiayaan tidak dapat serta-merta menarik kendaraan di jalan tanpa adanya persetujuan atau proses hukum. Putusan ini pada dasarnya memperkuat prinsip perlindungan hak asasi manusia dalam hubungan perdata, yakni bahwa setiap pengambilalihan barang harus melalui mekanisme hukum yang jelas.

Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak perusahaan pembiayaan seolah menutup mata terhadap putusan MK tersebut. Mereka tetap bekerja sama dengan pihak ketiga atau debt collector untuk melakukan eksekusi secara paksa, dengan alasan mengejar target penyelesaian kredit macet. Alibi yang sering dikemukakan adalah proses eksekusi melalui pengadilan dianggap terlalu lama, rumit, dan menambah biaya operasional. Akibatnya, kreditur merasa lebih praktis menggunakan jasa debt collector yang dapat bertindak cepat, meskipun cara tersebut berpotensi melanggar hukum dan merugikan debitur.

Dari perspektif debitur, kondisi ini menimbulkan keresahan sosial yang nyata. Debitur yang telat membayar, meskipun mungkin karena alasan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan atau musibah, kerap merasa haknya sebagai warga negara tercederai ketika kendaraannya dirampas secara paksa. Bagi sebagian masyarakat, kendaraan bukan hanya sekadar barang, melainkan sarana transportasi vital untuk bekerja dan mencari nafkah. Ketika kendaraan diambil secara tiba-tiba tanpa proses yang transparan, hal ini tidak hanya menimbulkan kerugian materi, tetapi juga trauma psikologis.

Jasa Stiker Kaca

Di sisi lain, kreditur atau perusahaan pembiayaan juga memiliki kepentingan yang sah. Mereka menyalurkan dana kepada debitur dengan risiko gagal bayar yang nyata. Jika proses eksekusi harus menunggu putusan pengadilan, risiko kerugian bisa semakin besar, terutama jika nilai kendaraan terus menurun seiring waktu. Ketegangan inilah yang sering memicu konflik: kreditur menuntut kepastian hukum dan kecepatan, sementara debitur menuntut perlindungan hak dan keadilan prosedural.

Jasa Backlink

Melihat kenyataan ini, saya berpendapat bahwa praktik penyalahgunaan jaminan fidusia mencerminkan adanya kesenjangan besar antara regulasi yang progresif dan implementasi di lapangan. Putusan MK seharusnya menjadi pedoman utama bagi seluruh pemangku kepentingan, namun lemahnya penegakan hukum membuat perusahaan pembiayaan dan debt collector tetap berani bertindak di luar ketentuan. Aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun pengadilan, sering kali bersikap pasif, sehingga masyarakat tidak mendapatkan perlindungan maksimal.

Untuk mewujudkan hukum jaminan fidusia yang adil, beberapa langkah mendesak perlu dilakukan. Pertama, pemerintah bersama aparat penegak hukum harus menegakkan aturan secara tegas, khususnya dengan memberikan sanksi pidana atau administratif kepada debt collector yang melakukan penarikan paksa tanpa putusan pengadilan. Penindakan yang konsisten akan menimbulkan efek jera dan memaksa perusahaan pembiayaan untuk mematuhi mekanisme yang sah. Kedua, mekanisme eksekusi melalui pengadilan perlu dibenahi agar lebih cepat, sederhana, dan efisien. Misalnya dengan menyediakan jalur khusus atau pengadilan niaga yang memiliki prosedur singkat untuk eksekusi jaminan fidusia, sehingga kreditur tidak merasa dirugikan oleh proses yang berbelit-belit.

Selain itu, penting untuk meningkatkan edukasi hukum kepada masyarakat, baik debitur maupun kreditur. Banyak debitur yang tidak memahami hak-haknya, sehingga pasrah ketika menghadapi debt collector. Sosialisasi mengenai putusan MK dan mekanisme eksekusi yang sah akan memberikan keberanian bagi debitur untuk menolak penarikan ilegal. Di sisi lain, kreditur juga perlu memahami bahwa kepatuhan terhadap hukum justru akan meningkatkan reputasi perusahaan dan menjaga kepercayaan publik. Dalam jangka panjang, bisnis pembiayaan yang sehat hanya dapat berjalan apabila semua pihak mematuhi aturan main yang jelas.

Pada akhirnya, jaminan fidusia seharusnya tidak hanya menjadi alat bagi kreditur untuk melindungi kepentingannya, tetapi juga instrumen hukum yang menumbuhkan rasa keadilan dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia. Hukum tidak boleh sekadar menjadi teks di atas kertas; ia harus hadir sebagai pelindung nyata bagi masyarakat. Jika eksekusi jaminan fidusia dapat dijalankan secara cepat namun tetap menghormati hak debitur, maka instrumen ini akan benar-benar berfungsi sebagai pilar penting dalam mendukung dunia usaha, meningkatkan akses pembiayaan, dan menciptakan iklim ekonomi yang sehat.