Penulisan : Ravyansah – Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Pegiat Politik dan Kebijakan Pendidikan
Daily Nusantara, Opini – Adapun desentralisasi telah lama dijanjikan sebagai jawaban atas persoalan ketimpangan pembangunan dan lemahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Dalam kerangka otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan sebagian besar kewenangannya kepada pemerintah daerah, termasuk dalam sektor pendidikan. Harapannya, dengan kewenangan yang lebih besar, daerah dapat menyesuaikan kebijakan sesuai dengan kebutuhan lokal, mempercepat pembangunan, serta mendorong partisipasi masyarakat.
Namun, realitas yang dapat kita saksikan di lapangan menunjukkan bahwa cerita yang berbeda bahwa desentralisasi tersebut yang sering kali menjadi celah bagi praktik korupsi serta penyalahgunaan wewenang, terutama menjelang \ kontestasi pada politik elektoral yaitu pemilihan kepala daerah (pilkada). oleh karena itu, masa kegiatan politik elektoral tersebut yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) bahwa kerap menjadi ruang di mana otonomi itu disalahgunakan oleh elite lokal untuk melanggengkan kekuasaan. Melihat studi kasus mengenai anggaran pendidikan yang semestinya digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia justru dimanfaatkan sebagai “modal politik” untuk menggalang dukungan, membangun jejaring patronase, hingga memfasilitasi praktik transaksional antara kepala daerah dan aparatur birokrasi.
Maka demikian, fenomena ini menggambarkan kegagalan struktural dalam tata kelola desentralisasi, terutama karena lemahnya sistem checks and balances di tingkat daerah, ini menjadi masalah yang serius yang bukan hanya menggerus integritas sistem pemerintahan daerah, akan tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap otonomi sebagai sistem yang seharusnya demokratis serta partisipatif.
Janji Desentralisasi: Antara Efisiensi dan Otonomi
Desentralisasi, berdasarkan Talitha, Firman, & Hudalah (2019) sebagai konklusi membawa janji efisiensi pembangunan serta pendekatan pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up). Dengan desentralisasi, pemerintah daerah didorong untuk bersaing secara sehat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki layanan publik. Dalam praktiknya, bentuk desentralisasi terbagi menjadi dua yaitu simetris yang memberikan kewenangan serupa kepada semua daerah serta asimetris yang memberikan derajat otonomi berbeda berdasarkan karakteristik wilayah tertentu.
Lebih lanjut dari Broto (2024) yang menegaskan bahwa desain desentralisasi seharusnya diarahkan untuk menciptakan distribusi regional yang lebih adil, memperkuat keadilan sosial, memperdalam demokrasi lokal, serta mendorong pemberdayaan dan partisipasi warga. Dalam konteks tersebut yakni sektor pendidikan menjadi salah satu ujung tombak utama desentralisasi.
Pendidikan dalam Cengkeraman Politik Lokal
Sayangnya, idealisme desentralisasi tidak selalu sejalan dengan kenyataan politik lokal. Dalam konteks pendidikan, pemerintah daerah diberi tanggung jawab besar dalam perencanaan, pendanaan, hingga pelaksanaan program pendidikan.
Namun, seperti yang dijelaskan oleh Rosser dari Lowy Institute (2018) dalam kajian yang dikutip Ul Haq (2025), rendahnya mutu pendidikan di Indonesia justru lebih dipengaruhi oleh dinamika politik dan relasi kuasa di tingkat lokal.
Ketidakstabilan politik dan lemahnya tata kelola menjadi akar masalah. Politik lokal yang transaksional mengakibatkan rendahnya transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam pengelolaan anggaran pendidikan yang bersumber dari APBD. Tata kelola guru yang semrawut, distribusi dana yang tidak merata, serta pengangkatan kepala sekolah berdasarkan afiliasi politik menjadi konsekuensi dari relasi kuasa yang koruptif ini.
Korupsi Berbasis Desentralisasi: Studi Kasus Provinsi Bengkulu
Fenomena tersebut semakin gamblang ketika kita melihat praktik-praktik korupsi dalam pilkada. Studi Fatkhuri (2019) menunjukkan bahwa desentralisasi pendidikan justru menciptakan ruang bagi kepala daerah untuk menyalahgunakan kewenangan demi kepentingan elektoral. Biaya politik yang tinggi membuat kepala daerah mencari celah pembiayaan ilegal, salah satunya dengan menekan kepada dinas pendidikan.
Hal tersebut dari studi kasus atau case study dilansir dari CNN Indonesia bahwa Provinsi Bengkulu yang mencuat ke publik jelang pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2024. Melalui Gubernur petahana, Rohidin Mersyah yang diduga menyalahgunakan kewenangannya dengan memerintahkan pencairan honor bagi pegawai tidak tetap (PTT) dan guru tidak tetap (GTT) se-Provinsi Bengkulu menjelang hari pemungutan suara, yakni 27 November 2024. Menurut pernyataan dari Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK (24 November 2024), setiap PTT serta GTT menerima honor sebesar Rp1 juta.
Total dana yang dikumpulkan melalui skema ini mencapai sekitar Rp2,9 miliar, dan diduga kuat digunakan untuk mendukung kepentingan elektoral Gubernur petahana. Pencairan ini yang dilakukan melalui instruksi langsung kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, yang tentunya berada dalam posisi tertekan karena relasi hirarkis dan ancaman mutasi.
Mengapa Ini Terus Terjadi?
Korupsi berbasis anggaran pendidikan lokal seperti ini bukan hal baru. Pertanyaannya adalah mengapa praktik ini terus berulang?
Jawabannya terletak pada struktur dan kultur politik lokal. Biaya politik yang tinggi mendorong kepala daerah untuk mencari dana dari berbagai sumber, termasuk dari APBD. Tekanan untuk mempertahankan kekuasaan sering kali membuat pejabat daerah nekat mengorbankan sektor-sektor esensial seperti pendidikan. Kepala daerah petahana juga memiliki kekuasaan struktural untuk memaksa birokrat mendukung kepentingannya, melalui ancaman mutasi, promosi, atau bahkan kriminalisasi.
Dalam konteks ini, kepala dinas menjadi semacam “operator politik” ketimbang pelayan publik.
Berdasarkan Hadiz (2004) sudah lama mengingatkan bahwa desentralisasi di Indonesia memiliki potensi untuk memperburuk korupsi, bukan menguranginya. Tanpa tata kelola yang baik dan sistem pengawasan yang kuat, desentralisasi justru membuka lebih banyak titik rawan penyimpangan.
Desentralisasi yang Kehilangan Arah
Apa yang terjadi di Bengkulu bukanlah kasus tunggal. Ini menjadi cermin dari persoalan yang lebih sistemik di banyak daerah lain. Alih-alih menjadi medium peningkatan kualitas pendidikan, desentralisasi justru menjadi instrumen politik elektoral yang kaitan dengan konflik kepentingan.
Dalam konteks ini, desentralisasi dan otonomi daerah telah kehilangan arah. Kewenangan yang seharusnya digunakan untuk memberdayakan masyarakat, meningkatkan mutu pendidikan, serta memperkuat demokrasi lokal, malah dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan segelintir elite.
Jalan Keluar: Reformasi Desentralisasi dan Akuntabilitas Publik
Langkah konkret yang dapat diambil untuk memperkuat akuntabilitas dalam desentralisasi pendidikan adalah dengan mendorong reformasi sistem meritokrasi dalam birokrasi daerah. Selama ini, banyak jabatan strategis di sektor pendidikan seperti kepala dinas, kepala sekolah, sampai dengan pengawas pendidikan yang masih diisi berdasarkan kedekatan politik atau loyalitas elektoral, bukan karena kompetensi serta rekam jejak. Sistem rekrutmen dan promosi jabatan yang bebas dari intervensi politik menjadi syarat mutlak untuk memutus mata rantai patronase serta juga politisasi pendidikan.
Kemudian, perlu ada transparansi real-time dalam pengelolaan anggaran pendidikan daerah. Teknologi digital bisa dimanfaatkan untuk membuka akses publik terhadap perencanaan, penyaluran, dan penggunaan dana pendidikan yang termasuk dana BOS daerah serta honorarium guru. Melalui kalangan masyarakat, terutama orang tua siswa, guru, serta organisasi masyarakat sipil atau NGO yang harus dilibatkan dalam forum-forum monitoring seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) dan forum pendidikan daerah supaya proses pengawasan tidak hanya bersifat top-down, akan tetapi juga partisipatif.
Di sisi lain, partai politik sebagai pilar demokrasi lokal juga harus dibenahi. Rekrutmen calon kepala daerah oleh partai politik yang tidak boleh lagi semata-mata didasarkan popularitas atau kekuatan finansial, melainkan dari visi kebijakan dan komitmen terhadap reformasi pelayanan publik, termasuk pendidikan. Tanpa perbaikan dari hulu ke hilir, desentralisasi hanya akan menjadi alat politik tanpa esensi pelayanan.
Dengan demikian, desentralisasi bukan hanya sekadar membagi-bagikan kewenangan, akan tetapi soal membangun tata kelola yang demokratis, adil, serta berpihak kepada rakyat. Dengan reformasi desentralisasi pendidikan sebagai jalan menuju pemulihan kepercayaan publik serta penyelamat masa depan generasi bangsa.