Kehadiran sertifikat halal menjadi salah satu elemen penting dalam kehidupan konsumen Muslim. Sertifikat ini tidak hanya menjamin kesesuaian suatu produk dengan prinsip-prinsip hukum Islam, tetapi juga memberikan rasa aman dan keyakinan kepada pengguna. Namun, di balik keberadaannya, ada beberapa miskonsepsi yang sering terlewat dan perlu diklarifikasi. Apa saja miskonsepsi tersebut dan bagaimana informasi sebenarnya? Untuk menghindari salah paham, berikut penjelasan lengkapnya.
Sertifikat halal adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyatakan bahwa suatu produk telah memenuhi syarat hukum Islam, baik dari bahan baku maupun proses produksi. Dengan sertifikat ini, sebuah produk dapat dinyatakan aman untuk dikonsumsi dan bebas dari bahan-bahan haram. Selain itu, sertifikat ini juga memastikan bahwa produk tersebut layak bagi konsumen Muslim dan sesuai dengan persyaratan pasar halal yang berkembang. Ada beberapa jenis usaha yang wajib memiliki sertifikat halal, antara lain industri pengolahan (makanan, obat-obatan, kosmetik), jasa logistik, dan tempat pemotongan hewan. Banyak produk makanan asing juga telah mengajukan sertifikat halal untuk bisnis mereka. Dalam hal ini, sertifikat halal berkaitan dengan berbagai aspek, termasuk kebersihan, bisnis, perdagangan internasional, pasar, reputasi, dan isu global lainnya.
Ada beberapa miskonsepsi tentang sertifikat halal yang sering disebutkan. Pertama, banyak orang percaya bahwa jika suatu merek sudah memiliki sertifikat halal, maka sertifikat tersebut akan berlaku selamanya. Faktanya, sertifikat ini memiliki masa berlaku selama empat tahun. Selama periode ini, pelaku usaha bertanggung jawab untuk menjaga kelayakan halal produk dengan mencantumkan label halal, memisahkan lokasi pengolahan, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi antara produk halal dan non-halal, serta melaporkan perubahan komposisi ke BPJPH. Tiga bulan sebelum masa berlaku habis, pelaku usaha disarankan untuk melakukan perpanjangan.
Selanjutnya, ada anggapan bahwa bahan alami otomatis membuat produk halal. Produk herbal yang berasal dari bahan alami biasanya disebut sebagai produk halal. Demikian pula, produk yang tidak mengandung bahan baku babi dan alkohol dianggap sebagai produk halal. Secara umum, ini benar, tetapi bisa saja selama proses pengolahan terbentuk alkohol yang membuat produk tidak halal. Contohnya, Angciu (yang dikenal publik sebagai Arak Tionghoa) dibuat dari beras ketan, yang halal. Namun, setelah difermentasi, akhirnya mengandung sekitar 15% alkohol. Kandungan alkohol tinggi ini membuat Angciu tidak halal. Oleh karena itu, sertifikat halal masih diperlukan meskipun produk berasal dari bahan alami atau tumbuhan. Ini memudahkan orang untuk menemukan produk halal dari hulu hingga hilir.
Selain itu, varian produk tertentu tidak menjamin keseluruhan produk halal. Beberapa merek memiliki banyak variasi produk. Jika satu varian memiliki sertifikat halal, bukan berarti semua produk merek tersebut juga halal. Misalnya, dalam toko roti; roti yang dijual bersertifikat halal sementara kue yang dijual masih mengandung alkohol dan rum. Kondisi seperti ini tidak bisa disebut sebagai merek yang halal. Konsumen harus tetap waspada dan memeriksa setiap varian produk yang dibeli.
Ada juga anggapan bahwa produk yang menyatakan “tanpa alkohol” pasti halal. Contohnya, pada tahun 2008, salah satu produsen minuman keras membuat minuman tanpa alkohol bernama Cham’alal untuk Muslim yang ingin merasakan sensasi champagne. Meskipun tanpa alkohol, MUI tidak dapat memberikan sertifikat halal untuk produk yang namanya mirip dengan haram. Hal yang sama berlaku untuk produk lain yang menyatakan tanpa alkohol tetapi tidak tentu halal. Baca juga: Polemik Sertifikat Halal Gacoan Noodle, Karena Nama Produk?
Produk makanan dan minuman halal tidak hanya bebas dari alkohol, tetapi juga bebas dari bahan-bahan non-halal lainnya. Konsumen harus selalu memeriksa bahan-bahan lain, seperti kehadiran atau ketidakhadiran babi, babi, atau babi yang merupakan istilah lain untuk daging babi.
Produk kosmetik halal tidak selalu valid untuk wudhu. Dalam produk kosmetik halal, yang halal adalah produknya, bukan sifatnya. Hal ini berlaku untuk semua produk tahan air, seperti cat kuku dan maskara. Kedua produk ini aman dan halal untuk digunakan, tetapi saat melakukan wudhu, mereka harus dilepas terlebih dahulu agar air wudhu dapat langsung bersentuhan dengan kulit. Ini perlu dipertimbangkan karena terkadang konsumen mengira bahwa jika kosmetik memiliki logo halal, maka bisa digunakan kapan saja termasuk saat wudhu.
Kode E pada makanan = Babi? Kode E pernah diasumsikan sebagai kode untuk aditif makanan (BTM) yang berasal dari babi. Ini viral di media sosial ketika merek es krim terkenal menulis bahwa salah satu bahan mengandung kode E dan dianggap produk mengandung lemak babi. Sebenarnya, E berarti “Eropa”. Menurut Badan Standar Pangan Inggris, kode E adalah kode untuk aditif makanan yang telah direview oleh Uni Eropa. Aditif ini digunakan sebagai emulsifier, pewarna, pengawet, pengasam, dll. Contohnya; kode E100-E199 adalah kode untuk pewarna makanan sedangkan E200-E299 adalah kode untuk pengawet makanan. Jadi, produk yang memiliki kode E dalam komposisinya tidak berarti produknya haram. Namun, status halalnya tetap tergantung pada bahan baku dan proses produksi. Inilah beberapa miskonsepsi yang sering beredar di masyarakat. Sebagai pelaku usaha, penting untuk memahami secara mendalam tentang sertifikat halal dan memastikan penggunaannya yang benar. Ini adalah kunci bagi bisnis untuk menjaga reputasi dan keberlanjutan bisnis. Memahami prosedur mendapatkan dan memperpanjang sertifikat halal, memeriksa bahan baku dan proses produksi, serta transparan dalam informasi produk dapat membantu menghindari kesalahpahaman yang dapat merusak citra bisnis. Dengan demikian, bisnis dapat memastikan bahwa sertifikat halal bukan hanya tanda formalitas, tetapi alat yang mendukung integritas dan keberlanjutan bisnis di pasar halal yang berkembang.
Sebagai pelaku usaha, apakah Anda benar-benar memahami ketentuan termasuk prosedur mendapatkan sertifikat halal? Atau masih bingung dan memiliki banyak pertanyaan tentang dokumen ini? Kontrak Hukum siap membantu!
Baca juga: Kasus Baso A Fung dan Pentingnya Komitmen Sertifikat Halal
Sebagai platform hukum digital, kami menyediakan solusi untuk bisnis terkait kebutuhan bisnis mereka termasuk pemrosesan sertifikat halal. Tidak perlu khawatir karena layanan di Kontrak Hukum dijamin aman dan terjangkau. Mari kita memahami dan merawat sertifikat halal dengan mengunjungi halaman Layanan KH – Pencatatan Usaha. Jika Anda memiliki pertanyaan tentang kebutuhan bisnis lainnya, Anda juga dapat menghubungi kami di Tanya KH atau kirim pesan langsung (DM) ke Instagram @Kontrakhukum.
Mariska
Pemasar hukum residensial dan penulis blog, bersemangat membantu UKM berkembang dan berkontribusi pada perekonomian yang lebih besar.