Pameran seni yang mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia kembali menjadi perbincangan setelah seorang seniman muda, Natasha Gabriella Tontey, meluncurkan pertunjukan bertajuk “Little Shop of Horrors” dengan konsep yang mengejutkan. Pameran ini memperlihatkan berbagai bahan makanan seperti janin, otak, serta camilan yang diklaim mengandung ASI dan keringat ketiak bayi. Konsep tersebut langsung menuai reaksi keras dari para ibu dan aktivis media sosial, yang kemudian membentuk gerakan #protesmakanmayit sebagai bentuk penolakan terhadap aksi seni yang dinilai tidak pantas.

Pameran seni yang diadakan di Jakarta ini sempat viral di media sosial, dengan berbagai unggahan foto dan video yang menampilkan makanan aneh seperti puding fetus dan roti sour dough yang diklaim dibuat dari keringat ketiak bayi. Namun, seiring waktu, banyak netizen mulai merasa tidak nyaman dengan konsep yang diusung, terutama karena adanya penggunaan elemen seperti ASI dan plasenta bayi dalam bentuk makanan. Reaksi ini menunjukkan bahwa seni yang ingin menyampaikan pesan kontroversial justru memicu kekhawatiran tentang etika dan sensitivitas terhadap isu-isu yang berkaitan dengan kehamilan, kelahiran, dan perawatan bayi.

Di tengah perselisihan ini, Tontey memberikan pernyataan melalui surat elektronik kepada theAsianparent Indonesia, menjelaskan bahwa tujuan utamanya adalah untuk membahas ketakutan secara global, termasuk bagaimana masyarakat menghadapi hal-hal yang dianggap tabu. Namun, banyak orang tetap merasa bahwa konsep seni yang diusung tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks budaya lokal, terutama karena beberapa elemen yang digunakan dinilai tidak relevan atau bahkan merendahkan nilai-nilai yang ada.

Kontroversi Pameran Seni “Makan Mayit”

Pameran seni yang disebut sebagai “Little Shop of Horrors” oleh Natasha Gabriella Tontey menjadi sorotan utama setelah berbagai bahan makanan yang diperkenalkan dianggap tidak sesuai dengan norma sosial. Dalam pameran ini, Tontey menciptakan hidangan yang terdiri dari campuran ASI, keringat ketiak bayi, dan bahan-bahan lain yang dianggap tidak biasa. Meskipun ia mengklaim bahwa semua bahan tersebut adalah hasil dari proses kreatif dan tidak melibatkan bayi nyata, banyak orang tetap merasa tidak nyaman dengan konsep tersebut.

Kritik terbesar datang dari para ibu dan aktivis media sosial yang merasa bahwa seni yang diusung Tontey tidak hanya tidak sensitif, tetapi juga bisa memicu kesalahpahaman tentang arti ASI dan peran ibu dalam masyarakat. Beberapa dari mereka bahkan menilai bahwa konsep seni ini justru melecehkan nilai-nilai yang sudah lama dipertahankan dalam budaya Indonesia, terutama dalam hal penghargaan terhadap kehidupan bayi dan ibu.

Selain itu, banyak netizen mengkritik cara Tontey dalam menyampaikan pesan seninya. Mereka menilai bahwa tidak ada penjelasan yang cukup jelas mengenai tujuan dan latar belakang pameran seni ini, sehingga membuat publik mudah salah paham. Hal ini memperkuat argumen bahwa seni yang ingin menyampaikan pesan kontroversial harus dilakukan dengan hati-hati dan didukung oleh riset yang mendalam.

Jasa Stiker Kaca

Tanggapan dari Para Ibu dan Aktivis Media Sosial

Reaksi dari para ibu dan aktivis media sosial terhadap pameran seni “Makan Mayit” sangat kuat. Banyak dari mereka yang merasa tersinggung dan menganggap bahwa konsep seni yang diusung Tontey tidak pantas. Salah satu yang menyampaikan kritik tajam adalah Deasy Elsara, seorang ibu sekaligus penulis lepas, yang menilai bahwa Tontey kurang memahami isu yang diangkat dalam pameran seninya. Menurutnya, menggunakan ASI sebagai “gimmick” dalam pameran seni tidak memiliki hubungan yang jelas dengan isu kanibalisme yang ingin ditanyakan.

Jasa Backlink

Selain Deasy Elsara, Chacha Thaib dan Poppy Septia juga turut mengkritik pameran seni ini. Chacha Thaib menyatakan bahwa konsep seni Tontey dianggap kebablasan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada. Sedangkan Poppy Septia menyoroti bahwa penggunaan atribut bayi dalam pameran seni ini bisa memengaruhi pemahaman generasi muda yang belum cukup matang. Ia juga khawatir jika anak-anak akan menganggap pameran seni ini sebagai hal yang wajar.

Beberapa dari mereka juga menilai bahwa Tontey tidak melakukan riset yang cukup sebelum menggelar pameran seni ini. Mereka menyarankan agar seniman seperti Tontey lebih peka terhadap konteks budaya lokal dan tidak mengabaikan aspek etika dalam karya seninya.

Peran Seni dalam Membahas Isu Tabu

Seni sering kali menjadi alat untuk menyampaikan pesan-pesan penting yang tidak bisa disampaikan melalui medium lain. Dalam kasus ini, Tontey ingin menggunakan seni untuk membahas isu-isu seperti ketakutan, moral, dan konstruksi sosial. Namun, meskipun tujuannya baik, cara penyampaiannya dianggap tidak sesuai dengan norma yang ada di masyarakat.

Menurut beberapa ahli seni, seni yang ingin menyampaikan pesan kontroversial harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat dan didukung oleh data serta penjelasan yang jelas. Jika tidak, maka seni tersebut justru bisa memicu reaksi negatif yang tidak diinginkan. Dalam kasus ini, Tontey tidak memberikan penjelasan yang cukup jelas mengenai tujuan dan latar belakang pameran seni yang diusungnya, sehingga membuat publik mudah salah paham.

Namun, di sisi lain, banyak seniman yang berpendapat bahwa seni seharusnya bebas dari batasan dan dapat mengangkat isu-isu yang dianggap tabu. Mereka menilai bahwa seni harus mampu membangkitkan diskusi dan memicu pemikiran kritis, bahkan jika konsepnya tidak selalu populer. Dengan demikian, seni yang diusung Tontey bisa menjadi contoh bagaimana seni bisa menjadi alat untuk mempertanyakan norma-norma yang ada di masyarakat.

Kritik terhadap Penggunaan ASI dalam Seni

Salah satu aspek yang paling kontroversial dalam pameran seni “Makan Mayit” adalah penggunaan ASI sebagai bahan makanan. Banyak orang merasa bahwa penggunaan ASI dalam bentuk makanan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, terutama karena ASI dianggap sebagai simbol cinta dan perlindungan ibu terhadap bayi.

Deasy Elsara, yang merupakan salah satu tokoh yang mengkritik pameran seni ini, menyatakan bahwa penggunaan ASI sebagai “gimmick” dalam pameran seni tidak memiliki hubungan yang jelas dengan isu kanibalisme yang ingin ditanyakan. Menurutnya, ASI seharusnya dihargai dan tidak boleh digunakan dalam bentuk makanan yang dianggap tidak pantas.

Selain itu, banyak ibu yang merasa bahwa penggunaan ASI dalam seni ini justru bisa memengaruhi persepsi masyarakat tentang manfaat ASI. Mereka khawatir jika anak-anak dan remaja akan menganggap ASI sebagai hal yang bisa dimakan, bukan sebagai nutrisi yang penting bagi bayi.

Dalam konteks ini, banyak ahli kesehatan dan ibu-ibu yang menyarankan agar seniman seperti Tontey lebih hati-hati dalam menggunakan elemen-elemen yang berkaitan dengan kehidupan bayi dan ibu. Mereka menilai bahwa seni yang ingin menyampaikan pesan penting harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih sensitif dan didukung oleh penjelasan yang jelas.

Kesimpulan

Pameran seni “Makan Mayit” yang diusung oleh Natasha Gabriella Tontey menjadi contoh bagaimana seni bisa menjadi alat untuk menyampaikan pesan-pesan penting, namun juga bisa memicu reaksi negatif jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Reaksi dari para ibu dan aktivis media sosial menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat sensitif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan bayi dan ibu.

Meskipun tujuan Tontey adalah untuk membahas ketakutan dan moral secara global, cara penyampaiannya dianggap tidak sesuai dengan norma yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, seniman seperti Tontey perlu lebih peka terhadap konteks budaya lokal dan memastikan bahwa karya seninya tidak hanya memicu diskusi, tetapi juga memperhatikan aspek etika dan sensitivitas.

Dalam dunia seni, setiap karya memiliki potensi untuk memengaruhi masyarakat, baik secara positif maupun negatif. Dengan demikian, seniman harus sadar bahwa setiap langkah yang diambil dalam menciptakan karya seni harus didasarkan pada riset, etika, dan pemahaman yang mendalam tentang isu yang diangkat.