Pada tahun 2019, wacana yang menggemparkan dunia politik dan sosial Indonesia adalah rencana pemerintah untuk memperbolehkan perwira tinggi TNI menempati jabatan sipil. Isu ini muncul setelah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengusulkan revisi Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Revisi tersebut dianggap sebagai langkah penting untuk meningkatkan efisiensi birokrasi, tetapi juga memicu kontroversi besar di kalangan masyarakat, terutama dari organisasi mahasiswa seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Dalam responsnya, Ketua Umum KAMMI Irfan Ahmad Fauzi menyampaikan penolakan terhadap rencana tersebut. Menurutnya, usulan ini berpotensi mengembalikan Dwi Fungsi ABRI, sebuah konsep yang telah ditinggalkan sejak era reformasi. Irfan menekankan bahwa militer dan sipil harus dipisahkan karena kekuatan yang dimiliki oleh TNI tidak dapat dibandingkan dengan lembaga sipil. Ia menilai bahwa pengajuan revisi UU TNI hanya akan memberikan keistimewaan bagi TNI, meskipun alasan yang diajukan adalah surplus personel.

Selain itu, Irfan juga menyoroti pentingnya menjaga prinsip demokrasi dan kebebasan yang telah diraih melalui perjuangan panjang selama masa reformasi. Ia menegaskan bahwa keberadaan TNI dalam struktur pemerintahan sipil bisa menjadi ancaman bagi stabilitas negara. Untuk itu, KAMMI secara tegas menolak usulan tersebut dan menyerukan agar TNI tetap berada di wilayah militer, sementara jabatan sipil harus diisi oleh warga sipil.

Latar Belakang Isu Militer Masuk Kementerian

Isu militer masuk kementerian bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Sejak era Orde Baru, TNI memiliki peran yang sangat signifikan dalam sistem pemerintahan, termasuk dalam posisi strategis di berbagai lembaga sipil. Namun, setelah reformasi 1998, upaya-upaya dilakukan untuk memisahkan antara militer dan sipil guna mencegah adanya campur tangan militer dalam urusan pemerintahan.

Pasal 47 UU TNI tahun 2004 awalnya ditulis dengan tujuan membatasi peran TNI dalam ranah sipil. Namun, usulan revisi yang diajukan oleh Marsekal Hadi Tjahjanto dinilai oleh banyak pihak sebagai langkah yang bertentangan dengan semangat reformasi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah personel TNI mencapai lebih dari 300.000 orang, sehingga isu surplus personel sering digunakan sebagai alasan untuk merevisi aturan tersebut. Namun, para aktivis dan akademisi menilai bahwa alasan ini tidak cukup kuat untuk mengubah struktur hukum yang telah berlaku selama lebih dari satu dekade.

Menurut laporan dari The Jakarta Post pada tahun 2025, beberapa ahli hukum dan politik menyatakan bahwa revisi UU TNI bisa berdampak pada kestabilan pemerintahan. Mereka khawatir bahwa jika TNI diberi akses lebih luas ke lembaga sipil, maka akan terjadi ketimpangan kekuasaan yang bisa mengancam demokrasi. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat dari mantan Menteri Pertahanan RI, Ryamizard Ryacudu, yang menyatakan bahwa TNI harus fokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai agen pemerintahan.

Jasa Stiker Kaca

Penolakan KAMMI dan Peran Organisasi Mahasiswa

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) adalah salah satu organisasi mahasiswa yang aktif dalam menyuarakan aspirasi masyarakat. Didirikan pada masa reformasi, KAMMI memiliki visi untuk membangun bangsa yang lebih adil dan demokratis. Oleh karena itu, penolakan terhadap rencana revisi UU TNI adalah bagian dari komitmen mereka untuk menjaga prinsip pemisahan militer dan sipil.

Jasa Backlink

Ketua Umum KAMMI Irfan Ahmad Fauzi menegaskan bahwa keberadaan TNI dalam struktur pemerintahan sipil bisa membawa risiko besar. Ia menilai bahwa jika TNI dibiarkan berada di lingkungan sipil, maka akan sulit untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam pemerintahan. Irfan juga menyoroti bahwa pengalaman masa lalu, seperti Orde Baru, menunjukkan bahwa campur tangan militer dalam urusan sipil bisa berujung pada kekacauan.

Lebih lanjut, Irfan menekankan bahwa surplus personel TNI bukanlah alasan yang cukup kuat untuk merevisi UU TNI. Ia menilai bahwa kebijakan seperti ini justru akan memberikan kesan bahwa TNI mendapatkan keistimewaan yang tidak seharusnya. Irfan juga mengajak masyarakat untuk tetap waspada dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang disampaikan oleh pihak tertentu.

Perspektif Masyarakat dan Akademisi

Tidak hanya KAMMI yang menolak rencana revisi UU TNI, tetapi banyak pihak lain juga menyampaikan pandangan serupa. Para akademisi dan aktivis hak asasi manusia menilai bahwa revisi ini bisa merusak prinsip demokrasi yang telah dipegang oleh Indonesia. Menurut Dr. Arifin Tan, seorang pakar politik dari Universitas Indonesia, revisi UU TNI bisa mengancam independensi lembaga sipil dan memicu konflik kekuasaan.

Dalam wawancara dengan Republika, Arifin menegaskan bahwa TNI seharusnya fokus pada tugasnya sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan. Ia juga menyarankan agar pemerintah mencari solusi lain untuk mengatasi surplus personel TNI, seperti memperluas program pengabdian masyarakat atau meningkatkan pelatihan teknis.

Selain itu, banyak mahasiswa dan pemuda yang turut menyuarakan penolakan terhadap rencana ini. Mereka menilai bahwa TNI seharusnya tidak ikut campur dalam urusan pemerintahan sipil, karena hal ini bisa mengurangi partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan.

Reaksi Pemerintah dan Masa Depan Isu Ini

Meski ada penolakan dari berbagai pihak, pemerintah tetap mempertimbangkan rencana revisi UU TNI. Namun, prosesnya tidak berjalan mulus. Beberapa anggota DPR mengecam usulan ini karena dianggap tidak sesuai dengan amandemen UUD 1945. Selain itu, Partai Demokrat dan Partai Golkar juga menyatakan penolakan terhadap rencana tersebut.

Menurut laporan dari Tempo, pada tahun 2025, Komite III DPR sedang melakukan evaluasi terhadap usulan revisi UU TNI. Meski belum ada keputusan resmi, namun banyak pihak berharap bahwa usulan ini akan ditolak. Mereka menilai bahwa keberadaan TNI dalam struktur pemerintahan sipil bisa memicu ketidakstabilan dan mengancam demokrasi.

Sementara itu, banyak organisasi masyarakat sipil seperti LBH Jakarta dan YLBHI terus mengawasi perkembangan isu ini. Mereka berharap pemerintah akan mempertimbangkan pandangan masyarakat dan menolak usulan yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.

Kesimpulan

Isu militer masuk kementerian adalah topik yang masih hangat dibahas oleh masyarakat Indonesia. Meski ada usulan untuk merevisi UU TNI, banyak pihak menolak karena khawatir akan mengancam prinsip demokrasi dan kestabilan negara. KAMMI, bersama dengan organisasi mahasiswa dan akademisi, berkomitmen untuk menjaga pemisahan antara militer dan sipil.

Seiring waktu, isu ini akan terus menjadi bahan diskusi dan evaluasi oleh berbagai pihak. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa keberadaan TNI dalam struktur pemerintahan sipil bisa berdampak besar pada kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk tetap waspada dan menjaga prinsip-prinsip dasar negara.