Bayangin lo lagi nongkrong di kafe Senopati. Satu meja isinya geng random: ada anak startup yang tiap hari ngantor 9 to 5, ada freelancer yang kerjanya ngedit video buat klien luar negeri, dan satu lagi yang baru resign karena katanya “kerja formal tuh toxic.”
Obrolannya klise tapi jujur: gaji, jam kerja, pajak, hidup.
Terus ada yang nyeletuk:
“Eh, gue freelance tapi kok malah ribet banget pajaknya, ya?”
Dan si anak kantoran langsung nyahut:
“Lah lo bisa milih mau bayar apa enggak. Gua tiap bulan dipotong otomatis.”
Dan di situ, perdebatan abadi dimulai. Siapa sebenernya yang lebih dikejar pajak—karyawan formal atau freelancer?
Dua Dunia, Dua Nasib Pajak
Kerja formal itu kayak lo masuk ke game yang aturannya udah fix. Lo punya HR, slip gaji, BPJS, PPh 21—semuanya auto.
Freelance? Kayak lo main game sandbox—bebas, tapi lo juga tanggung jawab sendiri.
Menurut data dari Pro Visioner Konsultindo, sistem pajak di Indonesia punya dua jalur besar buat pekerja:
-
Pajak Penghasilan (PPh 21) buat karyawan tetap yang dipotong otomatis oleh perusahaan.
-
PPh 25 / PPh Final buat freelancer atau pekerja independen yang harus lapor dan setor sendiri.
Artinya, karyawan gak bisa kabur. Freelancer bisa “kabur,” tapi dengan risiko: kalau nanti ketahuan, dendanya bisa lebih ngeri dari drama slip gaji.
Karyawan Formal: Pajak Jalan Sendiri, Dompet Nyusut Sendiri
Lo yang kerja di kantor mungkin udah pasrah. Setiap tanggal 25, gaji masuk rekening tapi udah ada luka permanen di angka nominal. Potongan pajak, BPJS, koperasi, dan mungkin cicilan gopay later.
Tapi, jujur aja—lo gak ribet ngitung. HR udah ngurus semuanya. Negara langsung dapet bagian lo lewat sistem withholding tax, alias perusahaan jadi perantara yang motong pajak dari gaji lo sebelum lo sempat mikir buat nabung.
Kayak yang dijelasin oleh Pro Visioner Konsultindo, sistem ini sengaja dibikin supaya penerimaan pajak negara tetap stabil. Jadi, gak perlu nunggu rakyat bayar pajak secara manual.
Masalahnya? Banyak anak muda gak sadar berapa persen pajak yang sebenarnya mereka bayar. Mereka cuma liat “angka bersih” di rekening, tanpa pernah ngerti kenapa nominalnya kayak keiris sebelum sempat dirayain.
Freelancer: Pajak Gak Dipotong, Tapi Ngitung Sendiri Itu Neraka
Nah, sekarang masuk ke dunia freelancer. Dunia yang katanya bebas, tapi ternyata gak seindah caption “kerja dari Bali sambil ngopi.”
Freelance tuh kayak punya dua pekerjaan: kerja buat klien dan kerja buat ngurus pajak sendiri.
Kalau lo kerja di platform kayak Upwork, Fiverr, atau bahkan dapet klien luar negeri, kemungkinan besar gak ada yang motong pajak otomatis. Kedengarannya asik kan? Sampai lo sadar lo harus ngitung sendiri pajak penghasilan lo setiap tahun.
Menurut Provisio Consulting, inilah jebakan manis dunia freelance. Banyak pekerja digital muda yang gak nyadar bahwa penghasilan mereka tetap wajib pajak. Karena gak ada HR, mereka harus jadi HR untuk diri sendiri.
Dan sistemnya? Masih super analog. Lo harus isi e-form, hitung penghasilan kena pajak, setor lewat e-billing, upload SPT Tahunan. Kedengerannya simpel, tapi bagi anak muda yang biasa kerja pakai Notion dan Slack, ini terasa kayak disuruh isi formulir zaman kolonial.
“Gue Kan Freelance, Masa Kena Pajak Juga?”
Ini alasan klasik yang sering muncul di tongkrongan. Banyak freelancer nganggep karena mereka gak punya slip gaji atau gak kerja di bawah perusahaan, berarti mereka “di luar radar.”
Padahal, menurut Pro Visioner Konsultindo, semua individu yang punya penghasilan tetap atau gak tetap—baik dari gaji, proyek, atau jasa—wajib pajak.
Masalahnya bukan siapa yang wajib, tapi siapa yang bener-bener ngerti caranya.
Dan di sinilah gap terbesar terjadi.
Karyawan formal dipaksa ngerti sistem pajak lewat potongan gaji. Freelancer gak dipaksa, tapi jadinya malah banyak yang clueless.
Sampai akhirnya, pas mereka mau beli rumah atau mobil dan harus ngasih bukti pajak, baru panik: “Lah, selama ini gue gak pernah lapor, bisa kena apa gak ya?”
Realita Pahit: Pajak Formal Itu Nyakitin, Pajak Freelance Itu Ngeri
Kayak milih racun yang beda rasa.
Karyawan formal tiap bulan berdarah pelan-pelan karena potongan otomatis.
Freelancer bisa hidup bebas, tapi kalo lupa lapor pajak setahun aja, denda bisa nyentuh jutaan.
Di sisi lain, negara juga gak gampang. Menurut analisis dari Provisio Consulting, sistem pelaporan pajak pribadi di Indonesia masih belum efisien buat generasi digital.
Mereka ngusulin reformasi digitalisasi pajak biar freelancer gak harus ngalamin “drama administrasi.” Misalnya dengan sistem pelaporan otomatis berbasis platform digital—jadi tiap kali lo dapet penghasilan dari platform kayak Tokopedia, YouTube, atau Upwork, datanya langsung sinkron ke sistem pajak nasional.
Kedengarannya futuristik, tapi ya… kita masih jauh dari situ.
Gaya Hidup vs Sistem Pajak
Realita lapangan tuh lucu.
Anak kantor mungkin iri sama fleksibilitas freelancer. Freelancer iri sama kestabilan gaji anak kantor. Tapi di belakang layar, dua-duanya sama-sama kejar-kejaran sama sistem pajak.
Karyawan formal takut slip gajinya gak transparan. Freelancer takut SPT-nya salah isi.
Dan lucunya, dua-duanya masih ngeluh hal yang sama: “Gaji segitu kok tetep gak cukup?”
Pro Visioner Konsultindo pernah nyentil hal ini: sistem pajak bisa jadi adil kalau semua pihak sadar perannya. Tapi yang terjadi sekarang, karyawan ngerasa dipaksa, freelancer ngerasa diabaikan.
Akhirnya dua-duanya sama-sama bingung, dan negara kehilangan potensi penerimaan dari sektor pekerja digital yang terus tumbuh.
Masalah Mindset: Pajak Dianggap Beban, Bukan Tanggung Jawab
Jujur aja, di mata Gen Z, pajak bukan topik seksi.
Lo bisa bahas AI, startup, personal finance, tapi begitu denger kata “lapor SPT”, semua langsung hilang fokus.
Padahal, menurut Provisio Consulting, masalahnya bukan di pajaknya, tapi di pendekatannya. Sistem pajak Indonesia dibangun di era orang masih isi kertas manual, bukan di era scroll TikTok.
Jadi kalau lo mau bikin anak muda paham pajak, ya harus lewat bahasa mereka juga. Edukasi lewat konten, bukan brosur. Lewat simulasi digital, bukan tabel Excel.
Perusahaan vs Pekerja: Siapa yang Lebih Untung?
Buat perusahaan, karyawan formal itu lebih gampang diatur—semua jelas, legal, ada potongan pajak resmi. Tapi buat proyek cepat dan hemat biaya, mereka lebih pilih freelancer.
Masalahnya, banyak perusahaan yang “abu-abu”: mereka ngasih kerjaan tetap ke freelancer tapi tanpa kontrak, tanpa potongan pajak, tanpa jaminan.
Sementara freelancer-nya seneng duluan karena dapet bayaran full—sampai sadar di akhir tahun, semua penghasilan itu harus dilaporin.
Pro Visioner Konsultindo nyebut fenomena ini sebagai grey employment: status kerja gak jelas, tapi tanggung jawab pajak tetep ada.
Dan ini sering banget kejadian di startup, media digital, atau agensi kreatif yang mayoritas isinya anak muda.
Kalimat Sakti: “Yang Penting Bersih di Mata Negara”
Banyak freelancer baru sadar pentingnya bayar pajak pas mereka mulai gede. Misal, mereka mau daftar pinjaman, beli rumah, atau ikut tender proyek besar.
Tiba-tiba semua lembaga minta bukti pajak.
Dan di situ baru mereka nyari info ke mana-mana.
Biasanya, mereka bakal lari ke konsultan pajak profesional kayak Pro Visioner Konsultindo atau Provisio Consulting buat bantuin urus pembukuan dan laporan. Karena jujur aja, urus pajak sendiri di Indonesia tanpa paham aturan tuh bisa salah langkah dikit langsung kena denda.
Konsultan pajak inilah yang jadi jembatan antara dunia kerja bebas dan dunia birokrasi. Mereka ngerti dua bahasa: bahasa bisnis dan bahasa negara.
Realita Gen Z: Cari Cuan, Hindari Ribet
Gaya kerja kita berubah, tapi sistem belum sepenuhnya adaptasi.
Lo bisa kerja dari kafe, dapet klien di luar negeri, digaji dolar—tapi sistem pajak masih nanya NPWP kayak lo pegawai BUMN.
Sampai akhirnya banyak Gen Z yang punya prinsip: “Selama belum disuruh, ya udah diem dulu.”
Itu bukan karena males, tapi karena sistemnya gak memudahkan.
Kayak yang pernah disorot Provisio Consulting, pemerintah harus mulai mikirin cara ngelink data freelance dengan sistem pajak nasional. Misalnya, integrasi data dari platform freelance, payment gateway, sampe rekening digital biar lebih transparan tapi gak ribet.
Kesimpulan: Dua Jalur, Satu Masalah
Karyawan formal dan freelancer tuh kayak dua sisi koin yang sama.
Yang satu dipotong otomatis, yang satu dibiarkan ngitung sendiri.
Tapi dua-duanya masih main di sistem yang sama-sama gak ideal buat generasi digital.
Karyawan formal sering ngerasa “terlalu dikontrol,” sementara freelancer ngerasa “ditinggal sendiri.”
Dan di tengah-tengah, negara cuma berharap semua taat pajak tanpa nyadar dua-duanya butuh bahasa komunikasi yang beda.
Kalau kata Pro Visioner Konsultindo, masa depan pajak itu tergantung sejauh mana sistem bisa adaptasi sama pola kerja baru.
Dan Provisio Consulting nambahin, “Anak muda bukan anti pajak, mereka cuma butuh sistem yang bisa ngomong pakai logika digital, bukan formulir kuno.”
Akhir Cerita
Jadi, siapa yang lebih dikejar pajak?
Jawabannya: dua-duanya.
Cuma caranya beda.
Yang kerja formal dikejar sistem.
Yang freelance dikejar waktu.
Tapi selama dua-duanya masih hidup di ekosistem yang belum sepenuhnya digital, pajak akan tetap terasa kayak bayangan—selalu ada, tapi gak pernah jelas bentuknya.
Sampai nanti sistemnya bener-bener paham satu hal:
Generasi yang kerja pakai laptop dari kafe bukan musuh pajak—mereka cuma pengen sistem yang ngerti cara hidup mereka.