Kisah mengerikan seorang ibu muda yang menemukan kain kasa terjebak dalam rahimnya setelah melahirkan menjadi peringatan penting bagi semua calon ibu. Pengalaman ini tidak hanya mengguncang jiwa dan raga, tetapi juga mengingatkan akan risiko medis yang bisa terjadi selama proses persalinan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa konsekuensinya? Dan bagaimana cara mencegahnya? Artikel ini akan membahas secara lengkap tentang kejadian kain kasa tertinggal di dalam tubuh pasien, serta informasi terkini dari sumber-sumber kredibel.
Kisah ini bermula dari seorang ibu muda berusia 17 tahun asal Thailand bernama Tan. Setelah melahirkan anak pertamanya secara alami pada Juni 2018, ia merasa sakit dan tidak nyaman di area luka episiotomi. Dua bulan kemudian, tepatnya pada Agustus 2018, ia menemukan sepotong kain kasa hitam di dalam rahimnya. Kejadian ini memicu kepanikan dan kekhawatiran besar. Ia segera kembali ke rumah sakit, namun dokter awalnya mengira itu hanya infeksi biasa. Hingga akhirnya, kain kasa tersebut ditemukan dan dikeluarkan. Peristiwa ini akhirnya membuat pihak rumah sakit mengakui kesalahan medis dan meminta maaf kepada Tan.
Selain kasus di Thailand, ada juga laporan serupa dari Jepang. Seorang wanita berusia 42 tahun mengalami masalah kembung selama tiga tahun. Setelah menjalani CT scan, dokter menemukan dua massa di perutnya. Setelah operasi, mereka menemukan bahwa salah satu massa itu adalah spons bedah yang tertinggal. Spons tersebut diduga tertinggal setelah operasi caesar sebelumnya. Kejadian ini menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah kasus langka, meskipun jarang terjadi. Namun, dampaknya bisa sangat serius jika tidak segera diatasi.
Masalah benda-benda yang tersisa di dalam tubuh pasien setelah operasi disebut sebagai “retained surgical items” (RSI). Meski jarang terjadi, RSI bisa menyebabkan komplikasi serius seperti infeksi, abses, atau bahkan kematian. Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan oleh The New England Journal of Medicine pada 2025, insiden RSI terjadi sekitar 1 dalam 5.500 hingga 1 dalam 18.760 operasi. Namun, risiko lebih tinggi terjadi pada operasi ginekologi karena akses ke daerah panggul yang terbatas dan ruang sempit yang bisa menyimpan benda-benda kecil.
Gejala-gejala yang muncul bisa bervariasi, tergantung pada jenis benda yang tertinggal dan lokasi di tubuh. Beberapa gejala umum termasuk nyeri persisten di area operasi, demam, pembengkakan, atau keluarnya cairan dari luka. Jika benda tersebut menempel di organ vital seperti otak, jantung, atau paru-paru, efeknya bisa sangat berbahaya. Misalnya, sebuah studi yang dipublikasikan pada tahun 2024 oleh JAMA Surgery menemukan bahwa sebagian besar kasus RSI mengakibatkan infeksi berat atau komplikasi yang memerlukan intervensi tambahan.
Untuk mencegah kejadian seperti ini, banyak rumah sakit telah menerapkan metode baru. Salah satunya adalah penggunaan teknologi radiofrequency tagging (RFT), di mana setiap benda medis seperti kain kasa dilengkapi dengan chip kecil yang dapat dideteksi menggunakan alat khusus. Metode lain adalah barcode scanning, di mana staf medis memindai setiap benda sebelum dan sesudah operasi untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Teknologi ini telah terbukti meningkatkan akurasi dan mengurangi risiko kesalahan operasi.
Namun, meski teknologi berkembang, kesalahan manusia masih menjadi faktor utama. Dr. Fizan Abdullah, seorang ahli bedah anak, menjelaskan bahwa lingkungan operasi yang padat dan tekanan waktu bisa membuat staf medis lupa menghitung alat-alat yang digunakan. Untuk itu, beberapa rumah sakit kini menerapkan sistem pelaporan kecelakaan dan evaluasi internal agar bisa belajar dari kesalahan yang terjadi.
Pengalaman Tan dan kasus-kasus serupa menjadi peringatan bagi calon ibu dan pasien lainnya. Penting bagi para pasien untuk memilih rumah sakit yang memiliki reputasi baik dan profesional. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan gejala-gejala yang muncul setelah operasi dan segera berkonsultasi dengan dokter jika ada ketidaknyamanan yang tidak wajar.
Dalam konteks Indonesia, organisasi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan pedoman standar operasi dan protokol pencegahan RSI. Mereka menekankan pentingnya pelatihan staf medis dan penggunaan teknologi modern untuk meminimalkan risiko. Selain itu, lembaga-lembaga seperti theAsianparent Indonesia juga aktif memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya memilih fasilitas kesehatan yang terpercaya.
Meski kejadian RSI jarang terjadi, dampaknya bisa sangat serius. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak—dari pasien hingga tenaga medis—untuk bekerja sama dalam mencegah dan mengatasi masalah ini. Dengan kesadaran yang tinggi dan penerapan teknologi yang tepat, kita bisa memastikan bahwa setiap operasi dilakukan dengan aman dan tanpa risiko yang tidak perlu.