Pernikahan dini masih menjadi isu yang sering muncul dalam masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Dalam beberapa kasus, pernikahan dini tidak hanya mengorbankan masa depan anak-anak, tetapi juga berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Salah satu contoh tragis adalah kisah seorang gadis berusia 15 tahun asal Indramayu, Jawa Barat, yang tewas akibat penganiayaan suaminya. Kasus ini menjadi peringatan penting tentang risiko pernikahan dini dan perlunya perlindungan hukum yang lebih kuat untuk anak-anak.
Kisah ini memicu warga dan organisasi anti-KDRT untuk menyuarakan pentingnya melindungi hak-hak anak, khususnya perempuan. Banyak pihak mengkritik sistem yang memungkinkan pernikahan dini terjadi, termasuk mekanisme dispensasi dari pengadilan agama. Selain itu, penelitian dan data menunjukkan bahwa angka pernikahan dini di Indonesia masih cukup tinggi, terutama di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur.
Meskipun UU Perkawinan tahun 1974 menetapkan batas usia minimal untuk menikah, yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, banyak orang masih melanggarnya. Kebijakan ini sedang direvisi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar batas usia menikah dinaikkan menjadi 18 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Namun, proses revisi ini masih membutuhkan waktu dan dukungan luas dari masyarakat serta lembaga terkait.
Perkembangan Pernikahan Dini di Indonesia
Pernikahan dini masih menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di daerah-daerah dengan akses pendidikan terbatas dan budaya patriarki yang kuat. Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sekitar 10% perempuan di bawah usia 20 tahun sudah menikah. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata global.
Di Jawa Barat, khususnya di Indramayu, pernikahan dini sering kali dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan kepercayaan masyarakat akan pentingnya menikah muda. Sejumlah studi menunjukkan bahwa pernikahan dini meningkatkan risiko KDRT, kehamilan dini, dan kurangnya akses pendidikan. Hal ini membuat banyak anak perempuan kehilangan kesempatan untuk berkembang secara intelektual dan sosial.
Menurut data dari Pengadilan Agama Indramayu, jumlah dispensasi pernikahan dini mencapai ratusan setiap tahun. Misalnya, pada tahun 2017, ada 287 pasangan yang diberikan dispensasi, sedangkan pada 2016 jumlahnya mencapai 354. Ini menunjukkan bahwa pernikahan dini masih marak terjadi meskipun telah diatur oleh hukum.
Dampak Negatif Pernikahan Dini
Pernikahan dini memiliki dampak jangka panjang bagi kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak. Anak perempuan yang menikah muda cenderung tidak menyelesaikan pendidikan mereka, sehingga mengurangi peluang karier di masa depan. Selain itu, kehamilan dini meningkatkan risiko komplikasi medis, seperti persalinan prematur dan kelahiran bayi dengan berat badan rendah.
Selain itu, pernikahan dini sering kali disertai dengan KDRT. Seperti dalam kasus Y, seorang gadis 15 tahun di Indramayu, yang tewas akibat penganiayaan suaminya. Dalam laporan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), sekitar 44% dari perempuan yang menikah di bawah usia 19 tahun mengalami KDRT. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga berdampak pada masyarakat secara keseluruhan.
Revisi UU Perkawinan dan Upaya Perlindungan Anak
UU Perkawinan tahun 1974 telah menjadi dasar hukum dalam menentukan batas usia menikah. Namun, karena adanya diskriminasi terhadap perempuan, UU ini sedang direvisi melalui Perppu. Tujuan utama dari revisi ini adalah untuk melindungi anak-anak, khususnya perempuan, dari risiko pernikahan dini.
Menurut Indry Oktaviani, Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), UU sebelum direvisi memberikan ruang bagi praktik pernikahan anak. “Ketentuan usia menikah yang terlalu rendah memicu pernikahan dini, yang kemudian berdampak pada KDRT dan pembatasan hak-hak perempuan,” ujarnya.
Selain itu, revisi UU Perkawinan juga akan membahas pemberian dispensasi dari pengadilan agama. Misiyah Misi, Direktur Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan, menjelaskan bahwa revisi ini akan dilakukan bersamaan dengan pembahasan tentang dispensasi. “Kami berharap, dengan revisi ini, anak-anak bisa mendapatkan perlindungan hukum yang lebih baik,” tambahnya.
Kebijakan dan Kepedulian Masyarakat
Selain upaya hukum, perlu adanya perubahan dalam pola pikir masyarakat. Banyak orang masih percaya bahwa menikah muda adalah cara untuk menghindari zina atau memenuhi harapan keluarga. Namun, hal ini justru berisiko besar bagi kesejahteraan anak.
Organisasi seperti KPI dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) terus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pernikahan dini. Mereka juga melakukan kampanye edukasi dan pelatihan kepada orang tua, guru, dan pemimpin daerah.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan akses pendidikan dan program kesehatan bagi remaja. Dengan demikian, anak-anak bisa memiliki kesempatan untuk berkembang tanpa terjebak dalam pernikahan dini.
Tantangan dan Harapan Masa Depan
Meskipun ada upaya untuk mengurangi pernikahan dini, tantangan masih sangat besar. Budaya patriarki, akses pendidikan yang terbatas, dan ketidaksetaraan gender masih menjadi penghalang. Namun, dengan kebijakan yang lebih progresif dan kesadaran masyarakat yang meningkat, harapan untuk mengurangi pernikahan dini semakin besar.
Kasus tragis seperti Y menjadi pengingat bahwa pernikahan dini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga berpotensi mengancam nyawa. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam melindungi hak-hak anak dan memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda.
Sumber Referensi
Artikel ini didasarkan pada informasi dari sumber-sumber terpercaya seperti Kompas dan data dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Untuk informasi lebih lanjut tentang pernikahan dini dan KDRT, Anda dapat mengunjungi situs resmi KPI di https://www.kpi.or.id.