Pada tahun 2018, sistem penerimaan siswa baru (PPDB) di Indonesia menghadirkan sejumlah kebijakan yang memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat. Salah satu isu utama yang menjadi perhatian adalah penggunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sebagai salah satu syarat pendaftaran. Meski tujuannya untuk memberikan kesempatan yang sama bagi siswa dari keluarga kurang mampu, implementasi kebijakan ini justru menimbulkan berbagai masalah. Banyak warga tidak memahami secara lengkap bagaimana SKTM digunakan, dan hal ini membuat kebijakan tersebut rentan disalahgunakan.
Kebijakan zonasi sekolah juga menjadi sorotan. Tujuan dari sistem ini adalah agar distribusi siswa di sekolah negeri lebih merata. Namun, proses pelaksanaannya seringkali tidak transparan dan minim sosialisasi, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan orang tua dan siswa. Dampaknya, banyak orang tua merasa bahwa sistem ini justru membatasi akses pendidikan bagi anak-anak mereka, terutama yang tinggal di luar zona tertentu.
Masalah SKTM semakin memuncak ketika jumlah pendaftar yang menggunakan surat keterangan tersebut mencapai angka yang sangat tinggi. Di Jawa Tengah saja, hampir 150.000 siswa menggunakan SKTM dalam pendaftaran PPDB. Angka ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak sepenuhnya efektif dalam menjangkau sasaran yang tepat. Selain itu, banyak kasus ditemukan adanya pemalsuan SKTM, yang menimbulkan kerugian bagi siswa miskin yang sebenarnya membutuhkan bantuan.
Masalah Sosialisasi dan Penyimpangan dalam Penggunaan SKTM
Salah satu penyebab utama polemik SKTM adalah minimnya sosialisasi kepada masyarakat. Banyak orang tua dan siswa tidak memahami secara jelas apa yang dimaksud dengan SKTM dan bagaimana cara mengajukannya. Akibatnya, beberapa pihak memanfaatkan celah ini untuk menyusun dokumen palsu, sehingga mengurangi hak siswa miskin yang sebenarnya layak mendapatkan bantuan.
Dalam konteks ini, pemerintah daerah seperti Jawa Tengah mulai melakukan verifikasi terhadap SKTM yang diajukan. Proses ini melibatkan survei langsung ke rumah calon siswa, termasuk memeriksa kondisi ekonomi keluarga dan kekayaan yang dimiliki. Hasilnya, banyak SKTM yang dinyatakan tidak valid dan akhirnya dibatalkan. Contohnya, di SMAN 1 Ungaran, Kabupaten Semarang, seorang siswa dinyatakan tidak memenuhi syarat karena memiliki kendaraan pribadi dan rumah yang cukup besar.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyampaikan kekecewaannya terhadap praktik ini. Ia menegaskan bahwa para kepala sekolah harus lebih teliti dalam memverifikasi SKTM. Jika tidak, maka mereka akan dipecat dari jabatannya. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dan pentingnya tindakan tegas untuk mencegah penyalahgunaan SKTM.
Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Masalah SKTM
Untuk mengatasi masalah SKTM yang tidak sesuai, pihak sekolah dan dinas pendidikan melakukan berbagai langkah. Salah satunya adalah dengan meminta guru-guru untuk melakukan survei langsung ke rumah calon siswa. Selain itu, pihak sekolah juga mewajibkan calon siswa untuk menandatangani surat pernyataan bermaterai dan bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk menjelaskan konsekuensi hukum jika menggunakan data palsu.
Beberapa sekolah bahkan mengambil tindakan tegas, seperti mendiskualifikasi siswa yang terbukti menggunakan SKTM yang tidak sah. Misalnya, di SMAN 1 Ungaran, seorang siswa dinyatakan gugur setelah ditemukan fakta bahwa keluarganya tidak memenuhi syarat ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa sistem verifikasi yang dilakukan oleh pihak sekolah berhasil mengidentifikasi kecurangan dan memastikan bahwa hanya siswa yang benar-benar tidak mampu yang mendapat kesempatan belajar.
Selain itu, pemerintah juga mulai mempertimbangkan alternatif lain untuk memastikan bahwa siswa miskin tetap bisa mengakses pendidikan. Salah satu ide yang muncul adalah dengan memisahkan jalur seleksi untuk siswa tidak mampu. Dengan demikian, mereka tidak lagi bergantung pada SKTM yang rentan disalahgunakan. Jika diterapkan, kebijakan ini dapat memperkuat prinsip keadilan dalam pendidikan.
Tantangan dan Harapan untuk Masa Depan
Meskipun upaya pemerintah dan sekolah telah menunjukkan hasil positif, masih ada tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah kebutuhan untuk meningkatkan sosialisasi kebijakan SKTM dan zonasi sekolah. Dengan informasi yang lebih jelas dan transparan, masyarakat akan lebih mudah memahami proses pendaftaran dan menghindari kesalahpahaman.
Selain itu, perlunya sistem verifikasi yang lebih efisien dan akurat. Saat ini, proses verifikasi masih bergantung pada survei manual yang memakan waktu dan tenaga. Untuk itu, pemerintah dapat mempertimbangkan penggunaan teknologi digital, seperti sistem online yang mempermudah pemeriksaan data dan mengurangi risiko pemalsuan.
Tantangan lainnya adalah memastikan bahwa kebijakan pendidikan tetap inklusif dan tidak membatasi akses bagi semua siswa. Zonasi sekolah dan SKTM harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak mengabaikan kebutuhan siswa dari berbagai latar belakang. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi sarana yang sama-sama memberdayakan semua anak bangsa.
Kesimpulan
Polemik SKTM dalam pendaftaran sekolah pada tahun 2018 menunjukkan betapa kompleksnya sistem pendidikan di Indonesia. Meskipun tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua siswa, implementasinya sering kali tidak sesuai harapan. Dengan sosialisasi yang lebih baik, verifikasi yang lebih ketat, dan kebijakan yang lebih inklusif, diharapkan masa depan pendidikan Indonesia akan lebih adil dan merata.
Sumber: KOMPAS.com