Penulis : Harry Yulianto, Akademisi STIE YPUP Makassar
“Seorang mahasiswa dengan getir bertanya, ‘Bagaimana saya harus percaya pada teori keadilan yang diajarkan di kelas, jika dosen yang mengajarkannya justru berlaku tidak adil dengan menjadi pelaku skandal yang mengganggu dan merusak rumah tangga orang lain?’ Pertanyaan sederhana ini menyimpan kebenaran pahit: fondasi pendidikan karakter sedang retak, dan penyebabnya adalah dekonstruksi keteladanan dari dosennya sendiri.”
Dosen dalam Perspektif Etika Profesi
Menurut pandangan hukum dan masyarakat, profesi dosen tidak pernah dimaknai hanya sebagai tenaga pengajar teknis. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dengan tegas menyebut dosen sebagai profesional yang berperan dalam “meningkatkan martabat bangsa” dan “mencerdaskan kehidupan bangsa“. Kata kunci di sini yakni “martabat“, sebuah nilai yang jauh melampaui transfer ilmu pengetahuan.
Harapan masyarakat terhadap figur dosen, dibangun di atas fondasi nilai tersebut. Masyarakat tidak hanya menuntut dosen untuk mencetak sarjana yang pintar, tetapi juga manusia yang berintegritas dan berbudi luhur. Dalam benak publik, gelar “dosen” melekat erat dengan konsep kebijaksanaan dan keluhuran akhlak. Masyarakat tidak hanya menuntut keahlian akademik, tetapi yang lebih penting adalah keluhuran akhlak dan integritas pribadi.
Dosen dipandang sebagai penjaga nilai-nilai luhur dan teladan dalam berperilaku, sehingga terciptalah kontrak moral yang tidak tertulis antara dosen dengan masyarakat. Setiap pelanggaran etika dosen, tidak lagi bisa diklaim sebagai urusan privat saja, karena menyangkut amanah publik yang diembannya. Dosen, dengan sadar, telah memilih untuk memikul tanggung jawab moral yang lebih besar dibandingkan dengan profesi lainnya.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia, di mana karakter tidak bisa diajarkan hanya melalui slide presentasi. Seperti diingatkan oleh tokoh pendidikan Brazil, Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, “Pendidikan tidak pernah netral, namun akan menjadi instrumen untuk memfasilitasi integrasi generasi muda ke dalam logika sistem yang ada dan menyesuaikan diri, atau menjadi ‘praktik kebebasan’, di mana manusia belajar untuk berpartisipasi dalam transformasi dunia mereka.” Setiap tindakan dosen, termasuk di kehidupan pribadinya, menjadi bagian dari “pendidikan” yang tidak netral.
Ketika seorang dosen terjatuh dalam skandal moral, maka yang retak bukan hanya reputasi pribadinya. Namun, yang terguncang adalah seluruh konstruksi peran yang diamanatkan oleh konstitusi maupun dipercayakan oleh masyarakat. Dosen sebagai manusia, dituntut untuk “menghidupi” nilai-nilai yang diajarkannya.
Falsafah “Ing Ngarso Sung Tuladha“
Konsep keteladanan dalam pendidikan Indonesia sebenarnya sudah sangat matang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam karya-karyanya (1930-an/1977). Falsafah “Ing Ngarso Sung Tuladha” menempatkan pendidik di posisi terdepan untuk memberikan teladan nyata dalam perilaku. Hal ini menjadi kontrak moral yang tidak terucap: seorang dosen harus hidup sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan di ruang kelas.
Pada konteks kekinian, prinsip ini justru semakin relevan di tengah masyarakat yang semakin kritis dan transparan. Dosen tidak bisa lagi bersembunyi di balik gelar akademis atau prestasi penelitiannya. Setiap tindakan di luar kampus, termasuk dalam ranah privat yang dianggap sensitif dan tabu, akan menjadi refleksi dari integritas profesionalnya. Mahasiswa zaman now adalah pengamat publik yang paling kritis dan analitis.
Proses pendidikan karakter sesungguhnya terjadi melalui replikasi dan internalisasi nilai dari figur yang dikagumi. Sebagaimana fondasi pemikiran yang diletakkan Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, “keunggulan adalah soal kebiasaan, bukan tindakan tunggal”. Seorang dosen yang menghargai komitmen dan kejujuran dalam hidupnya, artinya sedang membiasakan mahasiswanya pada keunggulan karakter.
Ketika seorang dosen melakukan pelanggaran moral seperti skandal perselingkuhan, yang terjadi bukan hanya penyimpangan personal. Namun, pengingkaran terhadap filsafat “Ing Ngarso Sung Tuladha” yang menjadi jiwa dan spirit pendidikan Indonesia. Dengan retaknya keteladanan ini, maka yang terancam adalah proses pembentukan kebiasaan berintegritas pada generasi penerus bangsa, yakni mahasiswa.
Krisis Kepercayaan
Skandal moral seorang dosen menciptakan retakan mendasar pada relasi akademik yang seharusnya dibangun di atas fondasi kepercayaan. Mahasiswa mulai mempertanyakan kredibilitas setiap nasihat etis dan penilaian akademik yang diberikan. Bagaimana mungkin mereka mempercayai penilaian seorang dosen tentang integritas karya ilmiah, jika integritas hidup pribadinya sendiri dipertanyakan?
Krisis integritas dan etika tidak akan berhenti pada individu dosen yang bersangkutan. Namun, dengan cepat meluas menjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Kampus yang diam atau dianggap lamban menangani permasalahan, akan ditafsirkan melakukan pembiaran secara terselubung. Mahasiswa akan belajar mata kuliah yang keliru mengenai: di dunia nyata, hipokrisi merupakan sesuatu yang bisa ditolerir, asalkan pelakunya memiliki posisi dan relasi kuasa.
Dampak psikologisnya sangat mendalam. Seperti diungkapkan Søren Kierkegaard (1843) dalam Concluding Unscientific Postscript, “Kehidupan hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang; tetapi harus dijalani dengan melihat ke depan.” Skandal ini dapat mendegradasi cara mahasiswa ‘membangun visi’ masa depan dan profesi mereka. Mahasiswa dibiarkan bertanya: apakah keberhasilan akademis harus dibayar dengan kompromi moral?
Hilangnya kepercayaan menjadi luka yang paling sulit disembuhkan, dan mengubah ruang kuliah dari tempat pencerahan menjadi ruang sinisme. Pendidikan akan kehilangan jiwanya, ketika mahasiswa datang bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk mengkonfirmasi kecurigaan mereka tentang kemunafikan dunia nyata.
Pembelajaran yang Terdistorsi
Di ruang kuliah, seorang dosen mungkin dengan fasih menerangkan teori moral sebagaimana dirumuskan Immanuel Kant dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785) tentang kategoris imperatif. Namun di luar ruangan, mahasiswa menyaksikan dosennya, mengabaikan prinsip universal tersebut untuk kepentingan hasratnya. Inilah yang disebut hidden curriculum, pelajaran terselubung yang justru lebih powerful dibandingkan silabus manapun. Mahasiswa belajar bahwa nilai-nilai luhur etika ternyata hanya menjadi komoditi akademik, bukan pedoman hidup.
Seperti dijelaskan dalam Social Learning Theory (Bandura, 1977), “Manusia belajar melalui observasi terhadap model”. Pada konteks lingkungan kampus, dosen sebagai model utama yang diamati secara kritis oleh mahasiswanya. Ketika seorang dosen menjadi model perilaku amoral, maka yang terjadi adalah observational learning yang terdistorsi. Mahasiswa tidak lagi merekam materi kuliah, tetapi merekam pesan bahwa kecerdasan intelektual dan hasrat personal dapat mengesampingkan integritasnya.
Seperti tercatat dalam The Analects of Confucius (sekitar abad ke-5 SM): “Dengarkanlah perkataan seseorang, tapi lihatlah perbuatannya.” Ketika perkataan dan perbuatan dosen bertolak belakang, maka mahasiswa secara instingtif akan lebih mempercayai apa yang dilihat. Pembelajaran etika di ruang kelas, berubah menjadi retorika kosong yang tidak memiliki tempat di kehidupan nyata.
Implikasinya yakni terbentuknya generasi yang sinis dan skeptis terhadap nilai-nilai moral. Setiap diskusi tentang integritas di ruang seminar, akan selalu dibayangi oleh citra hipokrisi yang mereka saksikan. Proses pendidikan karakter akan gagal total, karena fondasinya telah dikikis oleh keteladanan yang buruk dari dosennya sendiri.
Mendegradasi Fondasi Karakter
Pendidikan karakter bukanlah mata kuliah yang bisa diselesaikan dalam beberapa SKS. Namun, sebuah proses penyadaran yang ditularkan melalui keteladanan dan lingkungan akademik yang sehat. Ketika seorang dosen sebagai figur teladan justru menjadi cerminan buruk, yang runtuh bukan hanya kredibilitas individu, tetapi seluruh ekosistem pembentuk karakter. Fondasi yang seharusnya kokoh untuk membangun generasi berintegritas akan menjadi lapuk.
Tujuan pendidikan nasional sudah jelas, yakni: membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Namun bagaimana mungkin tujuan luhur ini tercapai, jika garda terdepannya justru mencederai nilai dasar tersebut? Skandal moral dosen ibaratkan virus yang menggerogoti DNA pendidikan karakter dari internal, serta menciptakan disorientasi nilai di kalangan mahasiswa yang sedang dalam masa pencarian jati diri.
Seperti ditegaskan John Dewey (1897) dalam My Pedagogic Creed, “Pendidikan bukan persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.” Setiap detik aktivitas di lingkungan kampus merupakan sebuah proses pendidikan “hidup”, termasuk ketika mahasiswa menyaksikan ketidakonsistenan moral dosennya. Pelajaran yang dapat dipetik adalah di kehidupan nyata, prinsip etis dapat dinegosiasikan untuk kepentingan hasrat personal.
Dampak jangka panjangnya sangat mengkhawatirkan, karena berisiko menghasilkan profesional yang pandai, tetapi minim etika, ataupun menghasilkan pemimpin yang cerdas, namun tidak berintegritas. Bukannya memperbaiki peradaban dunia pendidikan, namun justru berkontribusi pada dekadensi moral bangsa, ketika membiarkan keteladanan yang rusak terus bertahan di ekosistemnya.
Mengukuhkan dan Menerapkan Kode Etik yang Konkret
Banyak institusi pendidikan sudah memiliki kode etik dosen, namun seringkali dokumen itu hanya menjadi pajangan saja. Masalahnya, kode etik tersebut biasanya terlalu umum dan tidak menyentuh ranah moral personal yang berdampak sistemik. Diperlukan kode etik “hidup”, yang berani menjangkau wilayah privat, ketika perilaku dosen sudah merusak martabat institusi. Tanpa ini, maka aturan hanya akan menjadi retorika hampa.
Perselingkuhan sebagai bentuk pelanggaran moral berat yang melibatkan eksploitasi relasi kuasa harus memiliki konsekuensi nyata. Sanksinya tidak bisa lagi berhenti pada teguran lisan yang bersifat rahasia. Harus ada gradasi sanksi yang jelas, mulai dari penundaan promosi jabatan hingga pemberhentian tetap, tergantung beratnya pelanggaran. Transparansi dalam pemberian sanksi akan membangun budaya accountability di institusi pendidikan.
Seperti diperdebatkan Plato dalam Gorgias (sekitar 380 SM), “Bagi orang yang bersalah, hukuman yang terberat adalah ketika mereka tidak dihukum.” Membiarkan pelanggaran etika berat tanpa konsekuensi yang sebanding, justru akan mengikis seluruh atmosfer akademik. Hal ini menjadi sinyalemen bahwa integritas moral sebagai produk sekunder yang dapat dikorbankan.
Implementasinya tentu perlu bijaksana. Setiap kasus harus diteliti secara proporsional dengan tetap menghormati prinsip keadilan. Yang dibutuhkan bukanlah “polisi moral”, tetapi komitmen kelembagaan bahwa martabat profesi dosen harus dijunjung tinggi di segala aspek kehidupan. Kode etik dosen harus menjadi pagar pembatas yang melindungi integritas dunia pendidikan.
Membangun Sistem Pendukung yang Proaktif
Selain pengawasan, pendekatan preventif melalui sistem pendukung yang proaktif justru lebih penting. Beban kerja dosen yang tinggi, tekanan publikasi, dan tuntutan administratif, seringkali menciptakan kerentanan psikologis. Kampus perlu beralih dari paradigma penghukuman ke paradigma pemulihan, dengan menyediakan sistem untuk mengatasi akar masalah perilaku.
Program Employee Assistance Program atau layanan konseling khusus bagi dosen dapat menjadi solusi strategis. Layanan ini memberikan ruang aman bagi dosen untuk mengurai beban emosional dan mencari solusi tanpa merasa dihakimi. Namun, terkadang, perselingkuhan sebagai gejala dari ketidakmampuan mengelola stres atau krisis identitas yang tidak tertangani.
Sebagaimana disampaikan Nelson Mandela dalam pidatonya di Tantyn College (2003), “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Namun, senjata itu harus dipegang oleh pribadi yang sehat secara mental dan emosional. Investasi pada kesehatan mental dosen bukanlah terkait biaya, melainkan modal untuk menjaga kemurnian misi pendidikan.
Langkah ini bersifat humanis dan visioner. Dengan membantu dosen mengatasi tantangan hidupnya, sesungguhnya sedang melindungi mahasiswa dari dampak negatif keteladanan yang destruktif. Hasilnya berupa ekosistem akademik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, namun sehat secara psikologis dan kuat secara integritas.
Revitalisasi Kultur Akademik
Semua aturan dan program pendukung harus bermuara pada perubahan kultur yang berkelanjutan. Perlu dibangun lingkungan akademik, di mana integritas menjadi napas sehari-hari, bukan hanya pajangan di dinding. Hal tersebut akan membangun kultur yang saling mengingatkan dan saling memperkuat, bukan saling menjatuhkan. Kultur seperti ini yang mampu mencegah permasalahan sebelum terjadinya skandal.
Setiap pertemuan formal dosen seharusnya menyisakan ruang untuk refleksi nilai-nilai etika dalam praktik keseharian. Diskusi tidak boleh terpaku pada capaian akademik saja, tetapi juga pada tantangan moral yang dihadapi. Sebagaimana tercatat dalam Plato’s Apology (sekitar 399 SM), Socrates menyatakan, “Hidup yang tidak teruji, tidak layak dijalani,” maka praktik etika dalam kehidupan akademik harus secara kontinyu diuji dan diperbaharui.
Membangun komunitas akademik yang peduli menjadi kuncinya. Di lingkungan yang sehat, dosen yang sedang mengalami permasalahan akan mencari pertolongan sebelum terjerumus ke dalam perilaku desktruktif. Revitalisasi kultur pada hakikatnya mengembalikan rasa kebersamaan sebagai satu komunitas yang punya tanggung jawab moral bersama.
Transforming culture memang pekerjaan berat yang membutuhkan konsistensi. Namun, seperti kata pepatah dalam African Wisdom: 365 Days of Proverbs and Inspiration (Mensa, 2010), “Jika ingin berjalan cepat, berjalanlah sendirian. Jika ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama-sama.” Membangun kultur akademik yang berintegritas merupakan perjalanan jauh yang harus ditempuh bersama, demi masa depan pendidikan yang tetap menjunjung tinggi martabat dan keteladanan.
Memulihkan Luka yang Terciderai
Kita harus berani jujur bahwa skandal moral dosen, bukan hanya urusan privat saja. Seorang dosen yang jatuh ke dalam pelanggaran etika, maka yang terserang adalah jantung dari misi pendidikan itu sendiri. Pendidikan karakter yang gagal ternyata dimulai dari dosennya terlebih dahulu, dan ini menjadi kenyataan pahit yang harus diakui bersama.
Memilih menjadi profesi dosen bukan hanya memilih karier, melainkan memikul tanggung jawab moral dan etika yang lebih berat. Sebagaimana ditegaskan Nelson Mandela dalam pidatonya di Johannesburg (2003), “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia.” Namun senjata itu harus dipegang oleh tangan yang bersih dan hati yang terjaga integritasnya. Pilihan untuk menjadi teladan merupakan bentuk konsekuensi logis dari profesi dosen.
Memulihkan keteladanan yang retak menjadi pekerjaan berat, sehingga membutuhkan konsistensi seluruh civitas akademika. Sebagaimana diajarkan pepatah dalam African Religions and Philosophy (Mbiti, 1969), “Banyak hal kecil yang dilakukan di banyak tempat kecil, oleh banyak orang kecil yang akan mengubah wajah dunia.” Perubahan kultur akademik harus dimulai dari komitmen masing-masing individu dosen untuk menjaga martabat profesinya.
Kredibilitas dunia pendidikan dipertaruhkan bukan hanya di papan tulis dan ruang kelas, melainkan di setiap tindakan keseharian dosennya. Lebih berat membiarkan generasi penerus bangsa belajar dari contoh yang salah, dibandingkan memperbaiki keteladanan yang retak. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ashr: 1-3, “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran,” mengenai tanggung jawab untuk saling menasihati dalam kebenaran (integritas akademik). Mari jadikan krisis moral dan etika akademisi sebagai momentum untuk membangun ekosistem akademik yang tidak hanya cerdas, namun juga bermartabat, berintegritas, dan berdampak.








