Pengembangan teknologi artificial intelligence (AI) terus mengalami perkembangan pesat, dengan salah satu perusahaan pionirnya adalah OpenAI. Salah satu produk unggulan mereka, ChatGPT, telah menjadi salah satu platform AI yang paling populer di dunia. Namun, meskipun popularitasnya tinggi, OpenAI menghadapi tantangan dalam upaya melindungi merek dagangnya. Pada tahun 2024, OpenAI gagal mendaftarkan merek dagang untuk istilah “GPT” karena alasan hukum yang terkait dengan regulasi merek dagang. Kejadian ini menarik perhatian banyak pihak, termasuk pelaku usaha dan pengacara di Indonesia, yang ingin memahami implikasinya terhadap proses pendaftaran merek dagang.

Pendaftaran merek dagang merupakan langkah penting bagi perusahaan untuk melindungi identitas merek dan mencegah pihak lain menggunakan nama atau logo yang sama. Dalam kasus OpenAI, kegagalan mereka mendaftarkan istilah GPT sebagai merek dagang menunjukkan bahwa tidak semua istilah dapat dilindungi secara hukum. Hal ini juga memberikan pelajaran berharga bagi pelaku bisnis di Indonesia, khususnya UMKM, tentang pentingnya analisis mendalam sebelum melakukan pendaftaran merek dagang. Dengan memahami aturan hukum yang berlaku, bisnis dapat menghindari risiko penolakan dan memastikan keberlanjutan merek mereka.

Kegagalan OpenAI juga menunjukkan bahwa istilah yang bersifat deskriptif atau umum sering kali tidak layak untuk didaftarkan sebagai merek dagang. Di Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menjelaskan bahwa sebuah merek tidak dapat didaftarkan jika memiliki kesamaan dengan merek yang sudah ada atau mengandung unsur yang bisa menipu publik. Oleh karena itu, para pelaku bisnis perlu memperhatikan aspek unik dari merek yang akan mereka daftarkan agar tidak terjadi persaingan tidak sehat di pasar.

Alasan Penolakan Pendaftaran Merek Dagang ChatGPT

OpenAI mencoba mendaftarkan istilah “GPT” sebagai merek dagang untuk melindungi merek ChatGPT. Namun, permohonan tersebut ditolak oleh United States Patent and Trademark Office (USPTO). Menurut USPTO, istilah “GPT” tidak cukup unik untuk dilindungi sebagai merek dagang karena dianggap sebagai istilah umum dalam industri AI. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan jenis model bahasa besar yang digunakan dalam chatbot seperti ChatGPT. Oleh karena itu, USPTO menyatakan bahwa istilah “GPT” tidak dapat dimonopoli oleh satu perusahaan saja.

Dalam surat resmi yang dikeluarkan USPTO, disebutkan bahwa “Generative Pre-trained Transformers, commonly known as GPTs, are a family of neural network models that use a transformer architecture and are an important advance in artificial intelligence (AI).” Ini menunjukkan bahwa istilah “GPT” sudah menjadi bagian dari jargon teknologi AI dan tidak lagi hanya milik OpenAI. Karena itu, USPTO memutuskan bahwa pendaftaran merek dagang untuk istilah tersebut tidak layak dilakukan.

Selain itu, OpenAI juga pernah mencoba mendaftarkan merek dagang untuk ChatGPT pada Mei 2023, tetapi hasilnya sama yaitu penolakan. Meskipun demikian, OpenAI masih memiliki kesempatan untuk mengajukan banding ke Trademark Trial and Appeal Board (TTAB). Proses banding ini bisa menjadi langkah penting bagi OpenAI untuk membuktikan bahwa istilah “GPT” memiliki sifat unik dan tidak bersifat deskriptif.

Jasa Stiker Kaca

Hubungan dengan Pendaftaran Merek Dagang di Indonesia

Kejadian ini memiliki relevansi yang signifikan bagi pelaku bisnis di Indonesia, khususnya dalam hal pendaftaran merek dagang. Di Indonesia, pendaftaran merek dagang harus dilakukan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) yang berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Aturan tentang merek dagang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016, yang menjelaskan bahwa sebuah merek tidak dapat didaftarkan jika memiliki kesamaan dengan merek yang sudah ada atau mengandung unsur yang bisa menipu publik.

Jasa Backlink

Dalam konteks ini, istilah “GPT” bisa dilihat sebagai contoh dari istilah yang tidak layak untuk didaftarkan sebagai merek dagang. Seperti yang terjadi di AS, istilah ini lebih bersifat deskriptif dan umum dalam industri teknologi. Oleh karena itu, pihak yang ingin mendaftarkan merek dagang harus memastikan bahwa merek yang diajukan memiliki sifat unik dan tidak bersifat umum.

Selain itu, Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 juga menjelaskan bahwa merek dagang tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, hukum, agama, atau norma kesopanan. Ini menunjukkan bahwa proses pendaftaran merek dagang di Indonesia tidak hanya berdasarkan keunikan merek, tetapi juga pada aspek sosial dan budaya.

Pentingnya Analisis Merek Sebelum Pendaftaran

Kasus OpenAI menunjukkan bahwa pendaftaran merek dagang tidak selalu mudah, terutama ketika istilah yang diajukan memiliki sifat umum atau deskriptif. Oleh karena itu, pelaku bisnis di Indonesia perlu melakukan analisis mendalam sebelum melakukan pendaftaran merek dagang. Analisis ini mencakup pemeriksaan apakah merek yang diajukan sudah ada atau memiliki kemiripan dengan merek yang sudah terdaftar.

Salah satu layanan yang bisa digunakan adalah analisis merek yang disediakan oleh Kontrak Hukum. Layanan ini membantu pelaku bisnis membandingkan merek yang ingin mereka daftarkan dengan data merek yang sudah terdaftar di Basis Data Kekayaan Intelektual (PDKI). Dengan demikian, pelaku bisnis dapat menghindari risiko penolakan dan menghemat waktu serta biaya yang dikeluarkan.

Selain itu, pelaku bisnis juga perlu memastikan bahwa merek yang diajukan memiliki sifat unik dan tidak hanya menggambarkan produk atau layanan yang ditawarkan. Hal ini sangat penting untuk memenuhi syarat hukum yang berlaku dan meningkatkan peluang pendaftaran merek dagang yang berhasil.

Kesimpulan

Kasus OpenAI yang gagal mendaftarkan merek dagang untuk istilah “GPT” memberikan pelajaran berharga bagi pelaku bisnis di Indonesia. Proses pendaftaran merek dagang tidak hanya berbasis pada keunikan merek, tetapi juga pada aspek hukum dan sosial. Oleh karena itu, pelaku bisnis perlu melakukan analisis mendalam sebelum melakukan pendaftaran merek dagang.

Di Indonesia, undang-undang tentang merek dagang menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar merek dapat didaftarkan. Dengan memahami aturan hukum yang berlaku, pelaku bisnis dapat menghindari risiko penolakan dan memastikan keberlanjutan merek mereka. Selain itu, layanan analisis merek seperti yang disediakan oleh Kontrak Hukum bisa menjadi solusi efektif untuk memastikan keberhasilan pendaftaran merek dagang.

Kasus ini juga menunjukkan bahwa istilah yang bersifat deskriptif atau umum sering kali tidak layak untuk didaftarkan sebagai merek dagang. Oleh karena itu, pelaku bisnis perlu memilih istilah yang unik dan tidak hanya menggambarkan produk atau layanan yang ditawarkan. Dengan demikian, merek yang diajukan akan memiliki peluang besar untuk diterima dan dilindungi secara hukum.